Pak Erwin memasuki rumahnya dengan kening berkerut, bau pisang goreng menyeruak sampai ruang tamu rumahnya, senyum lebar langsung mengembang di bibirnya saat tahu siapa yang ada di rumah.
“Kamu harus membuat banyak pisang goreng untuk dibagikan pada tetangga, satu RT bisa mencium harum baunya,” katanya saat melihat Luna yang sibuk dengan sutil dan penggorengan di depan kompor.“Ayah, kok aku nggak dengar ayah datang.” Luna langsung meletakkan peralatan perangnya dan mengecup punggung tangan sang ayah.“Ayah sudah mengucap salam tadi begitu mencium bau pisang goreng,” kata sang ayah.“Benarkah?”“Sejak kapan ayah suka berbohong pada putri ayah yang cantik ini.”Luna memberikan segelas air putih pada ayahnya yang langsung menghabiskannya begitu dia duduk di kursi.“Kamu kapan datang, Nak?”Luna yang kembali sibuk di depan kompor, menoleh pada sang ayah. “Pagi tadi, Yah, kebetulan aku tidak ada jadwal mengajar hari ini.”Sang ayah memang sudahSeharusnya malam ini Luna bisa menuntaskan rasa rindunya pada kamar yang selama ini dia tempati dengan puas, kamar yang banyak memiliki kenangan untuk Luna. Kamar ini memang jauh lebih kecil dari kamar yang dia tempati di kamar Laksa, tapi tetap saja bagi Luna kamar ini adalah kamar paling nyaman yang pernah ada. Tapi keinginan temu kangen itu harus gagal karena Laksa menyusul kemari dan tentu saja mau tak mau mereka harus berbagi tempat di kamar yang sempit ini.“Ranjangku memang kecil, itu hanya cukup untukku saja.” Laksa terdiam terlihat sedang berpikir. Dia pasti akan langsung pulang karena tak biasa dengan tempat yang tidak nyaman. Batin Luna bersorak. Toh Luna tidak pernah mengajak Laksa untuk menginap di rumahnya, laki-laki itu sendiri yang tiba-tiba datang kemari dan memaksa menginap. “Aku tidak masalah tidur di bawah.”“Eh?”“Lantainya sangat dingin kalau malam hari.” “Bukan masalah aku biasa pake pendingin ruangan saat tidur.
Pagi ini Luna sudah menyiapkan sarapan di atas meja makan, rutinitas yang selalu dia lakukan sebelum menikah dengan Laksa dulu, dan Luna sangat menyukainya, berasal dari keluarga sederhana dan sudah tak memiliki sosok ibu memaksanya harus mandiri di usianya yang masih tergolong muda. Tapi pagi ini sedikit berbeda, dia juga harus menyiapkan sarapan untuk suaminya dengan masakan hasil buatan tangannya, meski bukan hal yang mudah untuk Luna, kehamilan yang baru saja dia ketahui secara pasti kemarin membuat satu persatu gejala kehamilan bermunculan.“Jadi ada yang ingin kamu katakan padaku?” tanya Laksa saat mereka telah menyelesaikan sarapan pagi bersama, sang ayah juga sudah berangkat ke sekolah, meninggalkan Luna dan Laksa hanya berdua saja di rumah ini. “Apa?” tanya Luna tak mengerti. Laksa menghela napas dalam, Luna memang sangat memperhatikan kebutuhan fisiknya selama mereka menikah, wanita itu menyiapkan semua kebutuhannya dari bangun tidur sampai tidur kemba
Laksa sengaja mengambil cuti hari ini untuk mengantar Luna pergi ke dokter kandungan. Hal itu Luna ketahui setelah mereka sarapan pagi, sebenarnya Luna akan lebih senang kalau diantar oleh ayahnya atau dia pergi sendiripun bukan masalah yang besar. Bukan tidak senang jika sang suami yang menemaninya, istri mana yang tidak mau ditemani suaminya saat periksa ke dokter kandungan, Luna hanya ingin menjaga hatinya saja, dia tak ingin semakin berharap pada Laksa. Apalagi setalah tahu kalau Luna sedang hamil, Laksa malah bersikap sangat baik padanya, dan itu membuat Luna takut. Sangat takut. Hatinya benar-benar rapuh. “Apa tidak sebaiknya Kak Laksa kerja saja, aku bisa berangkat sendiri,” kata Luna. “Aku tidak punya jadwal penting pagi ini, jadi mengantarmu sebentar bukan masalah.” “Tapi kak-“ “Kenapa kamu terlihat keberatan aku antar ke dokter, apa ada yang kamu sembunyikan dariku?” kata Laksa dengan pandangan curiga. Luna tentu saja gelagapan dia t
Laksa sesekali melirik kepada Luna yang masih diam membisu setalah kecupan yang dia berikan tadi, dalam hati laki-laki itu merasa geli sendiri, entah setan mana yang merasukinya sampai membuatnya berbuat begitu. Luna terlihat lebih diam dari biasanya dan juga menjaga jarak. “Kita sudah sampai, apa kamu sudah selesai mencatat semuanya?’ tanya Laksa pada Luna yang masih diam membisu. “Luna,” panggilnya lagi karena Luna ada diam saja. “Eh, apa, kak?” “Kamu kenapa diam saja, aku tanya.” Luna memandang Laksa dengan melotot. “Masak tadi ada yang kecup bbir aku sembarangan, nggak ada permisi lagi.” “Wah siapa? Biar aku gampar orangnya berani sekali dia berbuat begitu pada istriku.” Luna semakin kesal dengan jawaban Laksa. “Tau ah kenapa kak Laksa jadi menyebalkan begini.” Laksa menggaruk rambutnya salah tingkah. “Siapa suruh kamu ngomong terus.” “Dasar modus.” “Mending modus sama istri sendiri dari pada istri orang.” Suasana langs
Tidak ada yang bicara dalam perjalanan mereka ke hotel kali ini, Luna terlihat sekali tak nyaman. Ditatapnya Laksa yang mengemudikan mobilnya dalam diam.Apa Laksa sengaja mengajaknya ke hotel tempatnya bekerja dulu? Bukankah dia tahu kalau mereka memusuhi Luna? Masih teringat jelas hinaan mereka, predikat wanita murahan, perebut kekasih orang, sampai wanita gila harta pernah disematkan padanya saat itu, yang makin membuat Luna sakit hati teman-teman dekatnya, yang biasa makan dan bercanda bersama dengannya juga ikut menghujatnya, seolah Luna memang bangkai busuk yang pantas dibuang. Luna marah dan kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa, dia tak punya bukti untuk menyangkal dan sekarang dia harus bersiap sekali lagi untuk menghadapi hal itu.Lagi-lagi dia melirik Laksa, meski beberapa hari ini sikap Laksa sangat baik padanya, tapi tetap saja mereka hanya orang asing yang terpaksa terikat perkawinan hanya untuk sebuah alasan."Apa tidak sebaiknya aku pulang
“Kamu dari mana?” tanya Laksa menatap Luna penuh selidik. “Ehm...kamar mandi, Kak.” Laksa semakin memandang Luna heran. “Kenapa dari luar di sini juga ada kamar mandi?” Dia memang tadi meninggalkan Luna sebentar untuk menemui seseorang, dan berjanji akan kembali secepatnya, tapi saat kembali dia bahkan tak mendapati Luna ada di ruangan ini membuatnya cemas, apalagi dia tahu kalau sebagian besar karyawan di sini memusuhi Luna.Luna datang bersamanya dan saat ini juga statusnya sebagai istrinya, sudah pasti sedapat mungkin Laksa melindungi Luna. Laksa berdiri dan memperhatikan Luna lebih dekat lagi, Lalu menyentuh bagian pundak Luna yang basah. “Kamu mandi?”“Eh, enggak, Kak, ini tadi tidak sengaja terciprat air.” Laksa menatap Luna curiga, tapi memutuskan untuk membiarkan semuanya, apalagi dilihatnya beberapa karyawan mengawasi mereka. Dulu dia memang memilih kaca tembus pandang supaya lebih memudahkan koordinasi, tapi sekarang tampaknya di
Luna ikut meringis saat Laksa akan menyuapkan soto ke dalam mulutnya, bukan karena Laksa membenci soto, tapi ini pertama kalinya laki-laki itu makan di warung kaki lima seperti ini. Terlahir dengan suapan sendok emas, membuat Laksa tak pernah merasakan kehidupan masyarakat kecil yang sering makan dengan berteman debu dan asap kendaraan. “Kak Laksa kalau nggak yakin, mending jangan, nanti sakit perut,” kata Luna dengan suara tertahan karena tak enak kalau ada yang medengar. “Kamu bilang sering makan di sini, dan baik-baik saja.” “Aku sudah biasa makan di sini.” “Memang harus terbiasa dulu kalau mau makan di sini?’ Luna meletakakn sendoknya. “Bukan, kak Laksa tidak pernah makan ditempat seperti ini, aku hanya takut kakak sakit.” “Tubuhku punya daya tahan tubuh yang baik, jangan khawatir, lagi pula mulai sekarang aku akan sering jajan di kaki lima.” “Kenapa? Apa kakak tidak punya uang lagi?” Laksa memandang Luna gemas. “Kalau aku tidak
Ini keempat kalinya Laksa sudah ke kamar mandi. Luna melongok jam dinding yang sudah menunjukakan angka sepuluh malam, dia menghela napas pelan, tangannya saling meremas gugup. Sejak kapan aku jadi sepengecut ini, batin Luna mengejek dirinya sendiri.Tapi kali ini dia sangat merasa bersalah pada Laksa, meski bukan sepenuhnya salah Luna karena laki-laki itu bahkan tak mau mendengarkan omongannya. Setelah makan soto yang sangat pedas tadi siang, malam ini Laksa makan dua piring nasi dengan lauk gudeg buatan neneknya dan jangan lupakan sambal yang lagi-lagi menemani makannya, padahal Laksa sendiri yang bilang dia tak terlalu kuat makan makanan pedas, tapi laki-laki itu tetap saja nekad. “Kak! Kak Laksa baik-baik saja?” tanya Luna memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi tempat Laksa bertapa selama hampir setengah jam. Terdengar bunyi pintu yang terbuka pelan. Dan Laksa muncul dari sana dengan wajah sepucat mayat dan... lemas. “Kakak baik-baik
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak