Pagi ini Luna sudah menyiapkan sarapan di atas meja makan, rutinitas yang selalu dia lakukan sebelum menikah dengan Laksa dulu, dan Luna sangat menyukainya, berasal dari keluarga sederhana dan sudah tak memiliki sosok ibu memaksanya harus mandiri di usianya yang masih tergolong muda.
Tapi pagi ini sedikit berbeda, dia juga harus menyiapkan sarapan untuk suaminya dengan masakan hasil buatan tangannya, meski bukan hal yang mudah untuk Luna, kehamilan yang baru saja dia ketahui secara pasti kemarin membuat satu persatu gejala kehamilan bermunculan.“Jadi ada yang ingin kamu katakan padaku?” tanya Laksa saat mereka telah menyelesaikan sarapan pagi bersama, sang ayah juga sudah berangkat ke sekolah, meninggalkan Luna dan Laksa hanya berdua saja di rumah ini.“Apa?” tanya Luna tak mengerti.Laksa menghela napas dalam, Luna memang sangat memperhatikan kebutuhan fisiknya selama mereka menikah, wanita itu menyiapkan semua kebutuhannya dari bangun tidur sampai tidur kembaLaksa sengaja mengambil cuti hari ini untuk mengantar Luna pergi ke dokter kandungan. Hal itu Luna ketahui setelah mereka sarapan pagi, sebenarnya Luna akan lebih senang kalau diantar oleh ayahnya atau dia pergi sendiripun bukan masalah yang besar. Bukan tidak senang jika sang suami yang menemaninya, istri mana yang tidak mau ditemani suaminya saat periksa ke dokter kandungan, Luna hanya ingin menjaga hatinya saja, dia tak ingin semakin berharap pada Laksa. Apalagi setalah tahu kalau Luna sedang hamil, Laksa malah bersikap sangat baik padanya, dan itu membuat Luna takut. Sangat takut. Hatinya benar-benar rapuh. “Apa tidak sebaiknya Kak Laksa kerja saja, aku bisa berangkat sendiri,” kata Luna. “Aku tidak punya jadwal penting pagi ini, jadi mengantarmu sebentar bukan masalah.” “Tapi kak-“ “Kenapa kamu terlihat keberatan aku antar ke dokter, apa ada yang kamu sembunyikan dariku?” kata Laksa dengan pandangan curiga. Luna tentu saja gelagapan dia t
Laksa sesekali melirik kepada Luna yang masih diam membisu setalah kecupan yang dia berikan tadi, dalam hati laki-laki itu merasa geli sendiri, entah setan mana yang merasukinya sampai membuatnya berbuat begitu. Luna terlihat lebih diam dari biasanya dan juga menjaga jarak. “Kita sudah sampai, apa kamu sudah selesai mencatat semuanya?’ tanya Laksa pada Luna yang masih diam membisu. “Luna,” panggilnya lagi karena Luna ada diam saja. “Eh, apa, kak?” “Kamu kenapa diam saja, aku tanya.” Luna memandang Laksa dengan melotot. “Masak tadi ada yang kecup bbir aku sembarangan, nggak ada permisi lagi.” “Wah siapa? Biar aku gampar orangnya berani sekali dia berbuat begitu pada istriku.” Luna semakin kesal dengan jawaban Laksa. “Tau ah kenapa kak Laksa jadi menyebalkan begini.” Laksa menggaruk rambutnya salah tingkah. “Siapa suruh kamu ngomong terus.” “Dasar modus.” “Mending modus sama istri sendiri dari pada istri orang.” Suasana langs
Tidak ada yang bicara dalam perjalanan mereka ke hotel kali ini, Luna terlihat sekali tak nyaman. Ditatapnya Laksa yang mengemudikan mobilnya dalam diam.Apa Laksa sengaja mengajaknya ke hotel tempatnya bekerja dulu? Bukankah dia tahu kalau mereka memusuhi Luna? Masih teringat jelas hinaan mereka, predikat wanita murahan, perebut kekasih orang, sampai wanita gila harta pernah disematkan padanya saat itu, yang makin membuat Luna sakit hati teman-teman dekatnya, yang biasa makan dan bercanda bersama dengannya juga ikut menghujatnya, seolah Luna memang bangkai busuk yang pantas dibuang. Luna marah dan kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa, dia tak punya bukti untuk menyangkal dan sekarang dia harus bersiap sekali lagi untuk menghadapi hal itu.Lagi-lagi dia melirik Laksa, meski beberapa hari ini sikap Laksa sangat baik padanya, tapi tetap saja mereka hanya orang asing yang terpaksa terikat perkawinan hanya untuk sebuah alasan."Apa tidak sebaiknya aku pulang
“Kamu dari mana?” tanya Laksa menatap Luna penuh selidik. “Ehm...kamar mandi, Kak.” Laksa semakin memandang Luna heran. “Kenapa dari luar di sini juga ada kamar mandi?” Dia memang tadi meninggalkan Luna sebentar untuk menemui seseorang, dan berjanji akan kembali secepatnya, tapi saat kembali dia bahkan tak mendapati Luna ada di ruangan ini membuatnya cemas, apalagi dia tahu kalau sebagian besar karyawan di sini memusuhi Luna.Luna datang bersamanya dan saat ini juga statusnya sebagai istrinya, sudah pasti sedapat mungkin Laksa melindungi Luna. Laksa berdiri dan memperhatikan Luna lebih dekat lagi, Lalu menyentuh bagian pundak Luna yang basah. “Kamu mandi?”“Eh, enggak, Kak, ini tadi tidak sengaja terciprat air.” Laksa menatap Luna curiga, tapi memutuskan untuk membiarkan semuanya, apalagi dilihatnya beberapa karyawan mengawasi mereka. Dulu dia memang memilih kaca tembus pandang supaya lebih memudahkan koordinasi, tapi sekarang tampaknya di
Luna ikut meringis saat Laksa akan menyuapkan soto ke dalam mulutnya, bukan karena Laksa membenci soto, tapi ini pertama kalinya laki-laki itu makan di warung kaki lima seperti ini. Terlahir dengan suapan sendok emas, membuat Laksa tak pernah merasakan kehidupan masyarakat kecil yang sering makan dengan berteman debu dan asap kendaraan. “Kak Laksa kalau nggak yakin, mending jangan, nanti sakit perut,” kata Luna dengan suara tertahan karena tak enak kalau ada yang medengar. “Kamu bilang sering makan di sini, dan baik-baik saja.” “Aku sudah biasa makan di sini.” “Memang harus terbiasa dulu kalau mau makan di sini?’ Luna meletakakn sendoknya. “Bukan, kak Laksa tidak pernah makan ditempat seperti ini, aku hanya takut kakak sakit.” “Tubuhku punya daya tahan tubuh yang baik, jangan khawatir, lagi pula mulai sekarang aku akan sering jajan di kaki lima.” “Kenapa? Apa kakak tidak punya uang lagi?” Laksa memandang Luna gemas. “Kalau aku tidak
Ini keempat kalinya Laksa sudah ke kamar mandi. Luna melongok jam dinding yang sudah menunjukakan angka sepuluh malam, dia menghela napas pelan, tangannya saling meremas gugup. Sejak kapan aku jadi sepengecut ini, batin Luna mengejek dirinya sendiri.Tapi kali ini dia sangat merasa bersalah pada Laksa, meski bukan sepenuhnya salah Luna karena laki-laki itu bahkan tak mau mendengarkan omongannya. Setelah makan soto yang sangat pedas tadi siang, malam ini Laksa makan dua piring nasi dengan lauk gudeg buatan neneknya dan jangan lupakan sambal yang lagi-lagi menemani makannya, padahal Laksa sendiri yang bilang dia tak terlalu kuat makan makanan pedas, tapi laki-laki itu tetap saja nekad. “Kak! Kak Laksa baik-baik saja?” tanya Luna memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi tempat Laksa bertapa selama hampir setengah jam. Terdengar bunyi pintu yang terbuka pelan. Dan Laksa muncul dari sana dengan wajah sepucat mayat dan... lemas. “Kakak baik-baik
Dia harus berjuang keras untuk mencapai lemari pakaian Laksa dan mengambilkan baju ganti untuk laki-laki itu, kakinya sudah seperti Jeli yang sulit untuk digerakkan. “Aku... mau buatkan bubur untuk Kak Laksa,” kata Luna dengan terbata, setelah memberikan baju pada Laksa. “Lho dalamannya mana, Lun?” tanya Laksa dengan tampang kalem. Tuhan kenapa cobaan darimu berat sekali. “Kak Laksa bisa pilih sendiri, di laci,” “Kenapa kamu tidak mengambilkan sekalian.” “Ih Kak Laksa ya karena aku nggak mau,” kata Luna kesal setengah mati, mukanya sudah seperti kepiting rebus. “Wah apa kamu malu melihat pakaian dalamku, bukankah kamu sudah lihat isinya juga,” kata Laksa jahil yang dijawab Luna dengan bantingan pintu kamarnya. Sungguh Luna tak biasa dengan guyonan ala laki-laki dewasa seperti itu, dadanya berdegup sangat kencang. “Laksa sia- ups... tak boleh mengumpat aku tidak boleh mengajari anakku mengumpat, apalagi mengumpati ayahnya,” gumam Luna yan
Mengingat insiden tadi pagi Luna rasanya tak punya muka bahkan untuk melihat bayangan Laksa. Dia yakin otaknya memang sudah konslet karena hanya memikirkan kejadian tadi pagi saja, sialnya bahkan dia bisa melihat dengan jelas penampakan Laksa tanpa sehelai kainpun –meski ini bukan yang pertama– tapi tetap saja dalam konteks yang berbeda. Pikirannya terus saja menyalahkan laki-laki itu, kenapa tak mengunci pintu? Mengapa tidak ganti baju di kamar mandi saja?Setelah menganalisa dan menimbang beberapa lama di depan pintu kamar Laksa, Luna akhirnya memutuskan untuk mengetuk lagi kamar laki-laki itu, jujur saja dia khawatir dengan Laksa kalau dia masih sakit perut. “Kak! Aku masuk ya?” Luna menunggu beberapa saat sampai terdengar sahutan dari dalam. Luna segera membuka pintu begitu terdengar suara Laksa. Dilihatnya laki-laki itu malah berbaring lagi di atas tempat tidur dengan muka pucat. Seketika rasa khawatir mengalahkan rasa malu dalam hati Luna. “Kakak
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun
Luna menyadarkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa di kursi penumpang, di sampingnya Laksa menyetir mobil dengan wajah keruh, membuat Luna enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Beberapa saat yang lalu memang Laksa menjemputnya di sanggar saat dia sedang ngobrol dengan Vano di halaman belakang dan tentu saja hanya berdua karena Vira benar-benar tak muncul sampai akhir. "Hhh." Helaan napas panjang dan lelah Luna bahkan tak membuat Laksa menoleh laki-laki itu masih fokus dengan kemudinya. Luna tak tahu apa sebenarnya kesalahannya sehingga Laksa berubah dingin seperti ini. Apa karena Luna menemui mantan kekasih suaminya itu? Atau karena di pergi ke sanggar? Tapi Luna sudah minta Izin dan kalau ternyata Laksa terlambat membukanya itu bukan salahnya kan. Kenapa Laksa marah? "Kakak sudaah makan siang?" tanya Luna mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya meski dia sedikit ngeri sendiri dengan sikap Laks
"Maaf, kak. Aku kira tidak ada orang," kata Luna tak enak hati. "Masuklah, sudah lama kamu tidak kemari." Luna bimbang di dalam sana hanya ada Vano yang sedang melakukan entah apa, tapi kalau dia langsung pergi rasanya juga tidak sopan bagaimanapun Vano juga orang yang sangat berjasa untuknya. "Apa kabar kak?" sapa Luna sedikit sungkan. Vano mengangkat alisnya dengan senyum mengejek. "Baik. Setidaknya aku tidak menangis hari ini," kata Vano menyebalkan. Luna mengerucutkan bibirnya, Vano masih tetap sama menyebalkanya seperti dulu."Aku tidak menangis." "Percaya." Jawaban yang makin mempertegas kalau laki-laki itu hanya sedang ingin mengejek Luna. "Kakak ngapain di ruangan Vira?" tanya Luna sebal sendiri. "Bumil habis nangis otaknya ikut eror juga. Kamu tidak lupa kan kalau aku pemilik tempat ini dna bisa bebas berada di mana saja yang aku suka." Ish sebel banget Luna dikatain seperti itu, dia yang sudah duduk di sofa langsung bangkit dan melangkah pergi. Lebih baik dia jalan
Luna keluar dari cafe dengan kaki yang bergetar hebat, dia tak pernah suka bertengkar dengan orang lain. Saat akan berkonfrontasi dengan orang lain Luna lebih memilih mengatakan apa yang memang perlu dikatakan lalu pergi begitu saja, tanpa mau menoleh lagi. Terkesan pengecut memang tapi seperti itulah Luna. JIka hari ini dia mampu berkonfrontasi dengan Raya, itu semata-mata karena rasa cemburu yang mendominasi pikirannya. Dia mencintai Laksa dengan tulus dan laki-laki itu juga mengatakan kalau hanya Luna yang akan menjadi masa depannya, meski tanpa ada kata cinta, tapi bagi Luna itu sudah cukup. Dia jadi punya keberanian untuk melawan. "Mbak Luna baik-baik saja?" tanya sopir yang mengantarkan Luna. Dia menatap khawatir menantu majikannya ini. Luna terlihat pucat dan lemas. "Saya baik-baik saja, Pak." Luna memberi senyum sebahai ucapan terima kasih, si bapak membukakan pintu mobil untuknya. "Kita langsung pulang, mbak?" tanya sang sopir. Luna menimbang sejenak, dia tak
Tanpa menunggu dipersilahkan Luna meanrik kursi dan duduk di sana. Perutnya yang besar memang membuatnya tak betah untuk berdiri terlalu lama. "Mau pesan apa?" tanya Raya yang telah mampu menguasai dirinya. Sepertinya beberapa bulan menjadi istri Laksa membuat wanita lebih berani tak sepolos dan sepengecut dulu. LUna melihat buku menu dan dia langsung menginginkan oreo milkshake dan brownies yang terlihat menggoda di sana. "Kamu cukup berani juga memesan minuman itu padahal tubuhmu sudah gendut," Komentar Raya saat Luna menyebutkan pesanannya. Wah bodyshaming ini. "Sya memang sedang hamil jadi wajar kalau tubuh saya berisi, justru kalau kurus suami saya akan khawatir." "Hati-hati. Laki-laki tidak suka dengan wanita gendut," kata Raya sok menasehati. Luna tersenyum mendengar nasehat 'baik hati' dari mantan kekasih Laksa ini. "Mungkin, Tapi suami saya bilang lebih suka memeluk saya yang lebih berisi d