Setelah kemarahannya dia habiskan semalam, dan menghabiskan sekotak tisu, pagi ini Lun abangun dengan suasana hati yang lebih baik, bukan karena sudah bisa menerima kalau Laks masih sering teringat mantan pacarnya, tapi penjelasan suaminya itu membuat hatinya sedikit lega. ingat hanya sedikit.
Laksa memang tidak mengatakan sudah melupakan Raya sepenuhnya, bagaimanapun hubungan mereka yang berlasung bertahun-tahun tak bisa hilang tanpa bekas begitu saja, akan tetapi Laksa bersumpah kalau dia tidak akan kembali lagi pada Raya, dan bagi Laksa, Luna adalah masa sekarang dan masa depannya. Cukup realistis memang, meski tidak melegakan, apalagi membahagiakan. Luna bersiap membersihkan dirinya dan menyiapkan pakaian untuk suaminya, lalu dia akan membangunkan laki-laki itu. nasehat dari mama mertuanya membuat Luna berusaha lebih baik lagi menjadi istri yang baik. Sekarang dia bukan hany putri kesayangan ayahnya yang bisa selalu bermanja-manja, tapLuna menarik-narik ujung blousenya dengan tidak nyaman, bukan karena pakaiannya yang kekecilan tapi perutnya terasa sedikit mulas, entah kenapa setiap kali ke tempat ini selalu perdebatan yang menyambut mereka, apa setiap hari di sini selalu saja ada pedebatan seperti ini, padahal pintu apartemen saja belum diketuk tapi suaranya sudah terdengar dai luar, apa tidak ada peredam suara yang dipasang di apartemen mewah ini. Setelah makan siang mereka, Laksa memang mengajak Luna untuk mengunjungi ibunya dan mengantarkannya ke ruamh wanita itu yang baru, Luna tahu meski sikap suaminya sangat dingin dan kaku pada sang ibu tapi tetap saja, Laksa tidak akan tega membiarkannya pergi sendiri. Kalau begini caranya sangat kasihan tetangga dia kanan kirinya, yang ikut tidak bisa tidur dengan tenang. “Kak,” panggil Luna pada suaminya yang hanya diam saja. Baru saja Laksa menguatkan tekadnya untuk memperlakukan ibunya lebih baik, meski mereka tak akan tingg
Jalanan beraspal bahkan telah habis mereka lalui, sekarang mereka mulai memasuki jalanan berbatu. Jalanan berkelok-kelok juga sudah mereka lewati tapi belum terlihat juga tempat yang mereka tuju, tempat apa sebenarnya yang akan mereka tuju? Luna jadi makin penasaran di buatnya. Luna kembali menengok ke belakang, mobil itu masih mengikuti mobil mereka dengan tenang, bisa Luna bayangkan ibu kandung Laksa yang dari tadi sok itu mengomel di sana, dia hanya berharap sang sopir punya telinga yang cukup tebal, agar tidak melempar penumpangnya ke luar jendela. Jahat memang, tapi Luna bahkan tak bisa menahan cengirannya saat membayangkan itu semua. “Kamu baik-baik saja, Luna? Apa kita perlu berhenti?” Luna mengerutkan kening mendengar pertanyaan Laksa. “Memangnya kita sudah sampai, Kak?” “Bukan maksudku kita bisa berhenti dulu, jika kamu capek atau butuh waktu untuk beristirahat.” “Tidak perlu apa masih jauh rumahnya?”
Mereka memasuki sebuah hotel yang tidak bisa dikatakan mewah tapi juga bukan kelas melati, yang mereka temui di dalam perjalanan pulang. Laksa memutuskan membelokkan mobilnya kemari, mereka berdua butuh istirahat setelah perjalanan panjang yang mereka lalui, mobil ini memang didesain sangat nyaman tapi bagaimanapun akan lebih enak tidur di dalam sebuah kamar supaya bisa meregangkan seluruh otot-otot tubuh, lagi pula hari sudah malam, dan mereka butuh makan. “Kita akan menginap di sini malam ini?” tanya Luna. “Iya, besok pagi kita lanjutkan perjalanan, ini bukan hotel mewah memang semoga fasilitasnya cukup bagus.” Luna mengamati sejenak hotel yang akan menjadi tempat mereka menginap, terlihat bersih dan rapi, para pegawai hotel yang berlalu lalang juga ramah dan berpakaian rapi. Sejujurnya dia tidak masalah di mana dia harus tidur, bahkan meski Laksa memutuskan membangun tenda saja, Luna bisa menerima, dulu juga dia sering mengik
Pagi sekali mereka bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda, sejak semalam sang mama sudah berkali-kali menghubungi mereka, khawatir karena sampai larut malam tak kunjung pulang, juga tidak memberi kabar sedikit pun. Meski Laksa sedikit mengomel karena sang mama masih saja memperlakukannya seperti anak kecil, tapi tak urung juga dia langsung tersenyum cerah saat melakukan panggilan video dengan sang mama. Perhatian yang sungguh membuat Luna iri, dulu dia juga begitu, sebesar apapun dirinya bundanya tetap menganggapnya anak kecil yang harus selalu beliau perhatikan, agak risih sebenarnya, tapi Luna sadar itu adalah cara para ibu untuk mengungkapkan kasih sayangnya pada anak-anaknya.“Kamu tidak ingin mampir ke mana pun?” tanya Laksa yang sudah bersiap di balik kemudi mobilnya. “Ke mana? Bukankah kita sudah makan pagi?” “Bukan makan pagi maksudku, tapi makanan ringan atau mungkin kamu ingin membeli oleh-oleh untuk orang rumah.” Daerah yang mereka lewati memang ban
Laksa mengepalkan tangannya dengan geram , dia baru saja mengecek akun media sosial miliknya dan mendapati banyak sekali DM yang masuk ke ponselnya. Dia memang bukan orang yang selalu update di media sosial, dia memiliki media sosial hanya untuk urusan pekerjaan saja, isi media sosialnya pun sangat membosankan, hanya ada nama-nama kolega bisnisnya juga beberapa nama badan amal yang biasa dia kunjungi. Bahkan dia baru berteman dengan akun media sosial Luna sebelum pesta pernikahannya, itu pun karena sang mama yang protes karena akan menimbulkan spekulasi yang lain. Akan tetapi tak pernah sekali pun media sosialnya dibanjiri oleh DM seperti ini, dan itu karena postingan seseorang yang mentag namanya. “Seorang ibu akan selalu merindukan anaknya, meski sang anak tidak menganggapnya.” Dan postingan itu langsung viral, banyak akun yang menanyakan apa hubungan sang ibu dengannya, dan apa maksudnya ini semua. Sungguh sangat licik, ternyata ancaman Laksa yang
Seperti hari-hari sebelumnya saat sarapan pagi bersama, Luna akan mengambilkan nasi dan lauk pauk yang diinginkan suaminya setelah itu dia akan melangkah ke meja paling ujung di mana kepala keluarga ini duduk, lalu mengambilkan makanan untuknya juga, dulu sebelum Luna menjadi bagian dari keluarga ini para asisten rumah tangga atau sang mama mertua yang melakukannya. Waktu itu Luna hanya kasih karena sang kepala keluarga yang lumpuh dan duduk di kursi roda itu harus kesulitan mengambil makanan yang diinginkannya. “Terima kasih, Nak.” “Sama-sama, Opa.”Luna lalu kembali ke tempat duduknya dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri, suasana makan yang hening tanpa adanya percakapan menjadi hal yang biasa terjadi di sini, berbeda dengan saat dia di rumah ayahnya saat menggunakan waktu makan untuk bercerita satu sama lain. Yah meski makan sambil bicara bukan hal yang baik, tapi itu tak mengubah rasa hangat yang tercipta. “Aku ingin bicara pada semuanya setalah in
Luna bukan anak orang kaya pekerjaan ayahnya yang hanya seorang guru, tidak memungkinkan keluarganya hidup mewah, apalagi saat dia masih kecil dulu, ayahnya yang hanya seorang guru honorer dengan gaji minim, yang hanya cukup untuk makan mereka saja. Saat tanggal gajian tiba, ibunya membeli ayam atau telur sebagai teman makan nasi, tapi saat tanggal gajian telah lama terlewat mereka harus rela makan nasi garam, tapi Luna tak pernah mengeluh, kedua orang tuanya adalah sosok idolanya, yang tidak pernah berputus asa dalam menjalani kehidupan sulit mereka, sampai ayahnya diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan gaji yang sangat lumayan, bahkan mereka bisa membeli rumah sendiri dan sebuah mobil tua yang kadang terbatuk di tengah jalan. Tapi kasih sayang yang diberikan kedua orang tuanya tak pernah luntur untuknya, dan mendapati interaksi Laksa dengan kedua orang tuanya yang bahkan lebih kaku dari pada kepala sekolah galak jaman dia masih sekolah membuatnya sedikit heran
"Kok baju yang itu, Sayang?" Luna menoleh ke arah suaminya yang masih memakai handuk di pinggangnya untuk menutupi area pribadinya, hal yang biasa Luna lihat akhir-akhir ini, tidak ada lagi adegan menjerit seperti saat awal mereka menikah dulu, Luna bahkan sudah hapal semua lekuk tubuh Laksa, begitu juga sebaliknya. Luna melangkah menggampiri kemeja warna salem yang dia siapkan untuk Laksa, mengamati sejenak kemeja itu, lalu melihat Laksa. Tidak ada yang salah dengan kemeja ini? "Memangnya kenapa?" tanya Luna tak mengerti, tumben sekali suaminya ini protes, biasanya apa yang Luna siapkan selalu dipakai sang suami tanpa berprotes lagi, hari ini dia memang sengaja memilihkan baju yang bukan biasa Laksa pakai, baju sebegitu banyak sayang banget kalau yang dipakai itu-itu saja. Laksa menghela napas, dia tak mungkin bukan mengatakan kalau baju ini dibelikan Raya, meski menggunakan uangnya, saat mereka jalan-jalan ke Singapura tahun lalu, Luna pasti ngambek dan Laksa tidak mau itu.
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun
Luna menyadarkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa di kursi penumpang, di sampingnya Laksa menyetir mobil dengan wajah keruh, membuat Luna enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Beberapa saat yang lalu memang Laksa menjemputnya di sanggar saat dia sedang ngobrol dengan Vano di halaman belakang dan tentu saja hanya berdua karena Vira benar-benar tak muncul sampai akhir. "Hhh." Helaan napas panjang dan lelah Luna bahkan tak membuat Laksa menoleh laki-laki itu masih fokus dengan kemudinya. Luna tak tahu apa sebenarnya kesalahannya sehingga Laksa berubah dingin seperti ini. Apa karena Luna menemui mantan kekasih suaminya itu? Atau karena di pergi ke sanggar? Tapi Luna sudah minta Izin dan kalau ternyata Laksa terlambat membukanya itu bukan salahnya kan. Kenapa Laksa marah? "Kakak sudaah makan siang?" tanya Luna mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya meski dia sedikit ngeri sendiri dengan sikap Laks
"Maaf, kak. Aku kira tidak ada orang," kata Luna tak enak hati. "Masuklah, sudah lama kamu tidak kemari." Luna bimbang di dalam sana hanya ada Vano yang sedang melakukan entah apa, tapi kalau dia langsung pergi rasanya juga tidak sopan bagaimanapun Vano juga orang yang sangat berjasa untuknya. "Apa kabar kak?" sapa Luna sedikit sungkan. Vano mengangkat alisnya dengan senyum mengejek. "Baik. Setidaknya aku tidak menangis hari ini," kata Vano menyebalkan. Luna mengerucutkan bibirnya, Vano masih tetap sama menyebalkanya seperti dulu."Aku tidak menangis." "Percaya." Jawaban yang makin mempertegas kalau laki-laki itu hanya sedang ingin mengejek Luna. "Kakak ngapain di ruangan Vira?" tanya Luna sebal sendiri. "Bumil habis nangis otaknya ikut eror juga. Kamu tidak lupa kan kalau aku pemilik tempat ini dna bisa bebas berada di mana saja yang aku suka." Ish sebel banget Luna dikatain seperti itu, dia yang sudah duduk di sofa langsung bangkit dan melangkah pergi. Lebih baik dia jalan
Luna keluar dari cafe dengan kaki yang bergetar hebat, dia tak pernah suka bertengkar dengan orang lain. Saat akan berkonfrontasi dengan orang lain Luna lebih memilih mengatakan apa yang memang perlu dikatakan lalu pergi begitu saja, tanpa mau menoleh lagi. Terkesan pengecut memang tapi seperti itulah Luna. JIka hari ini dia mampu berkonfrontasi dengan Raya, itu semata-mata karena rasa cemburu yang mendominasi pikirannya. Dia mencintai Laksa dengan tulus dan laki-laki itu juga mengatakan kalau hanya Luna yang akan menjadi masa depannya, meski tanpa ada kata cinta, tapi bagi Luna itu sudah cukup. Dia jadi punya keberanian untuk melawan. "Mbak Luna baik-baik saja?" tanya sopir yang mengantarkan Luna. Dia menatap khawatir menantu majikannya ini. Luna terlihat pucat dan lemas. "Saya baik-baik saja, Pak." Luna memberi senyum sebahai ucapan terima kasih, si bapak membukakan pintu mobil untuknya. "Kita langsung pulang, mbak?" tanya sang sopir. Luna menimbang sejenak, dia tak
Tanpa menunggu dipersilahkan Luna meanrik kursi dan duduk di sana. Perutnya yang besar memang membuatnya tak betah untuk berdiri terlalu lama. "Mau pesan apa?" tanya Raya yang telah mampu menguasai dirinya. Sepertinya beberapa bulan menjadi istri Laksa membuat wanita lebih berani tak sepolos dan sepengecut dulu. LUna melihat buku menu dan dia langsung menginginkan oreo milkshake dan brownies yang terlihat menggoda di sana. "Kamu cukup berani juga memesan minuman itu padahal tubuhmu sudah gendut," Komentar Raya saat Luna menyebutkan pesanannya. Wah bodyshaming ini. "Sya memang sedang hamil jadi wajar kalau tubuh saya berisi, justru kalau kurus suami saya akan khawatir." "Hati-hati. Laki-laki tidak suka dengan wanita gendut," kata Raya sok menasehati. Luna tersenyum mendengar nasehat 'baik hati' dari mantan kekasih Laksa ini. "Mungkin, Tapi suami saya bilang lebih suka memeluk saya yang lebih berisi d