Pagi ini tubuhku rasanya sangat segar, tidurku juga nyaman semalam. Meski lalu lalang kendaraan terdengar cukup berisik namun tak membuat tidurku terganggu.Masih kuingat percakapan kemarin dengan Mas Reyhan. Mata itu menyiratkan kesedihan dan juga kemarahan ketika aku bertanya siapa sosok itu padanya.[Seseorang Alina, seseorang yang sangat kusayangi. Dia adalah adikku. Adik perempuanku, Jenitha.]Setelah mengucapkan kalimat itu ponselnya tiba tiba berdering, untuk beberapa saat ia menjauh menerima panggilan teleponnya. Tak lama iapun pamit pada kami karena lupa jika ia mengundang seorang teman kerumahnya.Aku dan Nisa berterima kasih atas bantuannya hari ini, sebelum pergi ia berpesan agar aku tak perlu sungkan meminta bantuan padanya, sekali lagi aku berterima kasih atas kebaikan dan perhatiannya. Aku menoleh dan memandang Nisa, seolah tahu apa yang ada dalam benakku, Nisa kemudian bertanya."Aku tahu kau ingin bertanya apa yang terjadi pada Jenitha, kan
"Alina!" Aku langsung menghentikan langkah saat mendengar pekik seseorang memanggil namaku dari belakang, ketika baru saja menginjakkan kaki dilantai dua mall ini, segera saja kubalikkan badan, mencari tahu siapa gerangan.Wanita itu menatapku tajam, nafasnya masih terengah-engah dengan satu tangan diletakkan di atas dada, menandakan dirinya baru saja berlari dengan maksud mengejarku. Mata itu masih menyiratkan kebencian padaku. Sebisa mungkin aku berusaha bersikap tenang dihadapannya, meski sesungguhnya aku terkejut melihat keberadaannya disini."Kania, kau ... ada apa memanggilku?" Tanyaku."Kenapa kau tak pergi saja, sejauh mungkin dari kota ini, Alina?" Untuk sekian detik aku tertegun mendengar ucapan yang begitu lancang, siapa dia, dengan berani mengaturku?Aku menghela nafas panjang, aku tak ingin amarah yang seketika menjalar ini, akan membuatku terbakar. "Kita bicara disana, aku tak ingin menarik perhatian banyak orang disini," ajakku
"Apa!""Kau bilang kemarin bertemu dengan pelakor itu, Alina?" Tanya Nisa dengan membeliakkan mata padaku."Iya, kami juga sempat bicara," jawabku santai sambil mengunyah sebutir apel."Lalu?""Apa?""Yah, kau tak menjambaknya, menamparnya, atau apalah tindakan bar bar yang biasa dilakukan istri sah pada pelakor seperti dalam cerita cerita novel pelakor?" Cecar Nisa."Tidak, kami hanya bicara," jawabku."Ah, coba kalau aku, sudah aku Jambak, kutampar, bila perlu bikin video biar bisa di Viralkan," gerutu Nisa."Dasar otak bar bar, kau lupa jika aku hamil, mau janinku kenapa kenapa, hah? Aku masih waras, lagipula, jika aku bertindak kasar seperti itu, sama saja seperti aku berharap ingin kembali pada Mas Bayu." "Ah, iya. Aku lupa jika kau hamil, Alina."" Jujur saja, aku tak bisa membaca jalan pikiranmu." "Maka tak perlu dibaca, nanti kau bisa tersesat dalam pikiranku. Sudahlah, lama lama omonganmu ngelantur, Nisa." Aku melotot padan
"Kenapa kau tetap bertahan menikahinya jika sejak awal kau tahu ia sering berbuat kasar seperti ini padamu. Mbak?""Karena aku mencintainya, mbak Alina."Aku menghela nafas, lagi lagi cinta yang menjadi alasan. Alasan yang sama denganku, alasan yang membuatku selama ini bertahan dengan Mas Bayu. Kulirik Desi masih meringis menahan rasa sakit. Sejenak terpikir olehku, apa yang dialami Desi, juga terjadi dibeberapa wanita lainnya. Entah mengapa, ada rasa syukur dihatiku, meskipun Mas Bayu tidak mencintaiku tetapi Ia tak pernah menyakiti fisikku."Kau akan bertahan dengannya meskipun kau akan sering menerima kekerasan seperti ini?" Tanyaku."Aku sudah menikah dengannya, Mbak, dan sebisa mungkin aku akan bertahan, aku tak ingin membuat malu kedua orang tuaku. Apa kata orang jika baru saja menikah kami sudah bercerai? Aku tidak ingin membuat malu kedua orang tua karena masalah rumah tanggaku."Lagi lagi, aku menghela nafas. Mengapa selalu seperti ini, mengap
Aku tak mungkin salah mengenali, sosok yang berdiri di samping Jeni benar benar Kania.Haruskah aku bertanya pada Bu Maryam, apa hubungan mereka berdua, dan dimana Jeni sekarang berada?**Kupandangi wajah itu berulang kali, memastikan jika penglihatanku tidak salah, aku tak menyangka jika Kania dan Jeni ternyata saling mengenal.Kebetulan kah ini?Bu Maryam masih menceritakan kilas balik saat Jeni kuliah. Entah mengapa, ada getar kesedihan yang kutangkap saat ia bercerita.Aku dan Mas Reyhan, tak menyela sepatah kata pun ketika Bu Maryam bercerita, kulirik Mas Reyhan menatap sendu ibunya, lalu mengenggam tangan ibunya."Ma, mama tak apa apa?"Kulihat, mata Bu Maryam berkaca kaca, membuatku merasa bersalah, Karena lancang telah membuatnya menceritakan sesuatu yang mengiris hatinya, sesuatu yang ingin dilupakannya."Maaf Bu, saya tidak bermaksud ...""Tidak apa apa, bukan salah nak Alina, saya hanya teringat saja," cepat, Bu Maryam me
"Apa yang terjadi pada Jeni setelah pengkhianatan Kania terbongkar, apakah Kania yang menjadi penyebab Kematiannya. Entahlah, yang jelas aku tetap akan meminta Mas Reyhan untuk melanjutkan ceritanya padaku. Rasa penasaran ini harus kupuaskan.**"Maaf mbak, aku jadi merepotkan," lirih Desi terisak."Tak apa apa, aku justru mengkhawatirkan kandunganmu, mbak.""Tak apa apa," jawabnya.Aku memintanya untuk berbaring dikamarku. Aku tahu saat ini yang dibutuhkannya adalah berpikir jernih. Kutinggalkan ia sebentar karena kudengar langkah kaki di teras depan.Beberapa warga bergerombol, melihat Syarief yang masih mengoceh dan memaki Mas Reyhan karena ikut campur dalam urusannya, membuat salah seorang warga kesal hingga memukulnya."Dinginkan dulu kepalamu, baru mulutmu itu boleh memaki lagi. Dasar pemabuk. Kau tak tahu siapa Mas Reyhan.""Sudah Mas, usir saja orang ini dari sini, bikin malu saja.""Laki laki beraninya mukulin istri, dasar
Sehari sebelum akad nikah.PoV Kania.Kupandangi kebaya pengantinku. Yang tergantung di sebelah meja rias ini. Kebaya yang didesain oleh seorang perancang busana favorit selebriti itu terlihat sangat memukau. Kebaya dengan kilauan permata Swarovski di bagian dadanya ini, benar benar terlihat mewah dan elegan.Aku duduk menatap wajahku dicermin. Suara suara sumbang yang mengutukku itu sebentar lagi akan menghilang. Semua kutukan itu tak akan terjadi padaku. Karena esok adalah hari pernikahanku.Sejak kemarin sore aku, mama dan Keysa, sudah berada di hotel ini. Hotel yang terdekat dengan lokasi pernikahanku.Sudah satu jam aku menunggu kabar dari Mas Bayu. Tadi siang, ia memberi kabar padaku dan mengatakan bahwa dirinya bersama beberapa orang kerabat, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung.Pernikahan kami memang akan digelar di Bandung. Konsep pernikahan outdoor menjadi pilihanku, dan kota Bandung kupilih karena ini adalah kota dimana hampir seluruh
Aku tersenyum puas ketika memandang koperku, persiapan untuk berlibur ke Jogja sudah hampir selesai, tinggal menunggu besok akan berangkat.Seminggu berlalu setelah kejadian yang menimpa Desi. Namun, kisruh rumah tangganya masih sesekali terdengar dibicarakan warga. Sedang suaminya pergi setelah warga mengusir dan memarahinya. Insiden seminggu yang lalu itu, cukup viral, banyak warga yang akhirnya datang ke komplek kontrakan ini sekedar untuk mencari bahan gosip. Mas Reyhan bahkan sempat menegur seorang ibu yang terlalu memaksa bertanya padaku mengenai kejadian itu, ketika ia datang mengambil copy KTP ku.Cuaca hari ini cukup cerah, secerah hatiku saat ini, perasaanku mulai ringan. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa melepas sosok Mas Bayu. Meski sesekali kadang masih terpikir bagaimana keadaannya sekarang, namun, hatiku tak begitu sesak kala pikiran itu melintas.Kisah Jeni benar benar menguras emosiku. Aku bisa mengerti mengapa ibu mertuaku dulu menolak keras
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R