Sehari sebelum akad nikah.PoV Kania.Kupandangi kebaya pengantinku. Yang tergantung di sebelah meja rias ini. Kebaya yang didesain oleh seorang perancang busana favorit selebriti itu terlihat sangat memukau. Kebaya dengan kilauan permata Swarovski di bagian dadanya ini, benar benar terlihat mewah dan elegan.Aku duduk menatap wajahku dicermin. Suara suara sumbang yang mengutukku itu sebentar lagi akan menghilang. Semua kutukan itu tak akan terjadi padaku. Karena esok adalah hari pernikahanku.Sejak kemarin sore aku, mama dan Keysa, sudah berada di hotel ini. Hotel yang terdekat dengan lokasi pernikahanku.Sudah satu jam aku menunggu kabar dari Mas Bayu. Tadi siang, ia memberi kabar padaku dan mengatakan bahwa dirinya bersama beberapa orang kerabat, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung.Pernikahan kami memang akan digelar di Bandung. Konsep pernikahan outdoor menjadi pilihanku, dan kota Bandung kupilih karena ini adalah kota dimana hampir seluruh
Aku tersenyum puas ketika memandang koperku, persiapan untuk berlibur ke Jogja sudah hampir selesai, tinggal menunggu besok akan berangkat.Seminggu berlalu setelah kejadian yang menimpa Desi. Namun, kisruh rumah tangganya masih sesekali terdengar dibicarakan warga. Sedang suaminya pergi setelah warga mengusir dan memarahinya. Insiden seminggu yang lalu itu, cukup viral, banyak warga yang akhirnya datang ke komplek kontrakan ini sekedar untuk mencari bahan gosip. Mas Reyhan bahkan sempat menegur seorang ibu yang terlalu memaksa bertanya padaku mengenai kejadian itu, ketika ia datang mengambil copy KTP ku.Cuaca hari ini cukup cerah, secerah hatiku saat ini, perasaanku mulai ringan. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa melepas sosok Mas Bayu. Meski sesekali kadang masih terpikir bagaimana keadaannya sekarang, namun, hatiku tak begitu sesak kala pikiran itu melintas.Kisah Jeni benar benar menguras emosiku. Aku bisa mengerti mengapa ibu mertuaku dulu menolak keras
PoV. Kania.Pagi pun menjelang, namun, aku masih diam terpaku menatap wajahku dicermin. Wajah itu sembab dengan mata yang masih memerah karena menangis.Sejak tadi Keysa menemaniku. Mama yang memintanya agar tidak meninggalkan ku sendiri, karena mama pergi kerumah sakit tempat Mas Bayu dirawat.Aku masih geram dan marah atas semua yang terjadi. Mengapa semua ini harus menimpaku? Pernikahanku tak mungkin bisa diundur. Semua persiapan sudah rampung hanya tinggal menunggu pelaksanaannya saja.Sudah pukul enam pagi, namun, mama belum juga memberikan kabar. Apa saja yang dikerjakan mama disana hingga belum juga bisa mengabariku?Mas Bayu belum mati, ia hanya kecelakaan. Bukankah gampang langsung mengajaknya kesini saja? Apa perlu aku sendiri yang mendorong kursi rodanya hingga kehadapan penghulu?Berkali kali aku berdecak kesal, kuremas rambutku mengingat semua kesialan ini, tanganku mengepal kuat. Aku marah. Kesal. Semua perasaan bercampur aduk jadi satu.
PoV. Kania."Kania, sejak kapan kau disini? Apakah kau mendengar semua pembicaraan kami?" Aku tertegun mendengarnya pertanyaan mama. Kulihat mama memintaku untuk duduk.Pembicaraan? Pembicaraan apa? Sebenarnya apa yang mereka sedang mereka bicarakan?**"Duduklah dulu." Pinta mama sambil menarik kursi dihadapannya. Meski bingung dengan sikap mama, akupun menuruti keinginannya dengan memindahkan bobot tubuhku keatas kursi ini, lalu memandang mama dengan tatapan penuh tanya."Apa yang kalian bicarakan, ma. Kenapa mama terlihat cemas seperti itu?" "Kau sudah lama berdiri dipintu tadi, Kania?" "Tidak ma, aku baru saja datang," Jawabku.Kualihkan pandanganku kearah Mas Bayu, mencoba mencari jawabannya. Begitu pandangan mata kami bertemu, wajah itu menyunggingkan senyum tipis padaku."Bagaimana keadaanmu, mas. Kau baik-baik saja kan?" Tanyaku pada Mas Bayu."Iya, dokter bilang tak apa apa, hanya tulang kering pada kaki kan
"Kau ingin membatalkan pernikahan kita, Jangan mimpi mas, kau tak tahu berapa banyak yang sudah kukorbankan demi menunggu hari ini tiba."**PoV. Kania.Aku pulang ke hotel dengan pikiran kalut, sepanjang perjalanan dari rumah sakit, mama berusaha membuatku tenang. Sungguh, pemikiran Mas Bayu untuk membatalkan pernikahan ini benar benar membuatku marah.Begitu tiba dihotel, aku bergegas melempar asal tasku. Aku kesal, marah. Emosi ku sudah mencapai ubun-ubun. Mama bilang ia sudah meminta dua orang berjaga didepan kamar rawat Mas Bayu. Jika perlukan, akan kuminta mereka untuk menyeret Mas Bayu hadir ke acara akad nikah kami."Mbak, persiapkan saja segala perlengkapannya. Aku akan mandi sebentar. Rencananya tidak akan berubah, akad nikahku akan digelar hari inii. Kuharap kau bisa membuatku secantik mungkin. Aku tak mau kecewa karena aku membayar mahal jasamu." Ketusku pada Suri, make up artist yang kupesan."Iya, mbak Kania."Keysa menatapku
PoV. Kania."Kau terlihat sangat cantik, mbak. Kalau begini wajah lampirmu itu tak kelihatan. Kau seperti Nyi Roro kidul sekarang," sindir Keysa sambil meletakkan sendal didekat Kaki ku.Aku terkekeh geli mendengar sindirannya. Meskipun begitu aku senang ia menyandingkanku dengan kecantikan Sang Ratu Penguasa Laut Selatan Jawa itu."Kenapa, kau baru tahu bahwa aku cantik?""Iya, karena kau selalu menampakkan wajah lampirmu yang menyebalkan itu," jawab Keysa asal."Apa Mas Bayu bisa hadir kesini? Bukankah katanya tulang kakinya retak?" Tanya Keysa."Tentu saja Ia akan hadir. Mama bilang sudah mengurus izin dari dokternya untuk membawa Mas Bayu ke acara akad nikah nanti. Mas Bayu hanya retak tulang saja, bukan lumpuh. Lagipula yang dibutuhkan saat akad adalah mulut saja untuk mengucapkan ikrar pernikahan," sahutku enteng.Mbak Suri masih mengoleskan lipstik berwarna merah muda ini ke bibirku. Lipstik 'ombre' yang di olesnya, kini membuat bibirku terlih
"Mbak Alina, kau tak apa apa? Wajahmu terlihat pucat."Ucap seseorang yang tiba-tiba menghampiri dan menepuk pundakku pelan. Aku yang sedang menikmati barang barang peninggalan sejarah di keraton ini refleks langsung menoleh padanya.Seorang wanita dengan kartu identitas yang tergantung di lehernya, sedang menatapku cemas. Aku mengulas senyum padanya. Menandakan jika saat ini aku baik baik saja."Aku tak apa apa, Mbak, mungkin karena cuaca cukup terik membuat wajahku terlihat pucat," Ucapku berkilah."Jika mbak Alina ingin istirahat, Tolong beri tahu saya, sebentar lagi kita akan break untuk makan siang dan sholat," sahutnya sambil melirik arloji di tangannya."Iya, terima kasih," jawabku singkat.Ia tersenyum lalu berlalu, aku kembali menikmati aktivitas ku, mengamati dan mengagumi beberapa barang peninggalan sejarah ini. Meski mataku menatap kedepan, tapi pikiranku menerawang jauh. Ting.Ponselku kali ini berbunyi. Sebuah pesan WA terkirim kep
Sudah hampir satu jam aku menunggu disini, Pak penghulu juga sudah bertanya keberadaan Mas Bayu yang masih belum juga tiba. Kulihat beberapa tamu juga sudah mulai gelisah. Menanti acara yang belum juga dimulai.Mama berulang kali kulihat sibuk dengan ponselnya. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Marah, kesal semua bercampur aduk jadi satu.Tatapan mata penuh tanya para tamu kini mulai terasa, beberapa diantara dari mereka bahkan menanyakannya langsung pada mama.Aku meminta Keysa mengambil ponselku, di iringi tatapan pasang mata, aku memilih menjauh dari para tamu.Aku mencoba menghubungi Mas Bayu, namun, belum sempat menggeser layarnya. Dari arah depan kulihat beberapa orang tiba. Aku langsung tersenyum saat kupastikan yang berada di kursi roda itu adalah Mas Bayu.Rasanya ingin berlari menyambutnya. Namun, aku ingat saat ini aku adalah pengantin. Sang tokoh utama dalam acara pernikahan ini. Tak mungkin rasanya aku mempermalukan diri seperti itu di
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R