"Mbak Alina, kau tak apa apa? Wajahmu terlihat pucat."Ucap seseorang yang tiba-tiba menghampiri dan menepuk pundakku pelan. Aku yang sedang menikmati barang barang peninggalan sejarah di keraton ini refleks langsung menoleh padanya.Seorang wanita dengan kartu identitas yang tergantung di lehernya, sedang menatapku cemas. Aku mengulas senyum padanya. Menandakan jika saat ini aku baik baik saja."Aku tak apa apa, Mbak, mungkin karena cuaca cukup terik membuat wajahku terlihat pucat," Ucapku berkilah."Jika mbak Alina ingin istirahat, Tolong beri tahu saya, sebentar lagi kita akan break untuk makan siang dan sholat," sahutnya sambil melirik arloji di tangannya."Iya, terima kasih," jawabku singkat.Ia tersenyum lalu berlalu, aku kembali menikmati aktivitas ku, mengamati dan mengagumi beberapa barang peninggalan sejarah ini. Meski mataku menatap kedepan, tapi pikiranku menerawang jauh. Ting.Ponselku kali ini berbunyi. Sebuah pesan WA terkirim kep
Sudah hampir satu jam aku menunggu disini, Pak penghulu juga sudah bertanya keberadaan Mas Bayu yang masih belum juga tiba. Kulihat beberapa tamu juga sudah mulai gelisah. Menanti acara yang belum juga dimulai.Mama berulang kali kulihat sibuk dengan ponselnya. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Marah, kesal semua bercampur aduk jadi satu.Tatapan mata penuh tanya para tamu kini mulai terasa, beberapa diantara dari mereka bahkan menanyakannya langsung pada mama.Aku meminta Keysa mengambil ponselku, di iringi tatapan pasang mata, aku memilih menjauh dari para tamu.Aku mencoba menghubungi Mas Bayu, namun, belum sempat menggeser layarnya. Dari arah depan kulihat beberapa orang tiba. Aku langsung tersenyum saat kupastikan yang berada di kursi roda itu adalah Mas Bayu.Rasanya ingin berlari menyambutnya. Namun, aku ingat saat ini aku adalah pengantin. Sang tokoh utama dalam acara pernikahan ini. Tak mungkin rasanya aku mempermalukan diri seperti itu di
Mama masih bersitegang dengan kedua kakak beradik itu. Beberapa orang berusaha melerai. Sayang, Kemarahanku sudah tak bisa lagi untuk ku bendung. Kulempar microphone ini keras kearah wajah Mas Bayu, membuat perdebatan sengit mereka akhirnya terhenti."Kania!" Pekik mama.***Mama langsung menghampiriku, mencoba untuk mencegahku, namun, segera kutepis tangan mama yang berniat ingin merangkulku. "Jangan coba untuk menghentikanku kali ini, ma! Karena aku tak akan bisa diam diperlakukan seperti ini!" Hardikku"Kania, mama mohon tenanglah, nak." Wajah mama terlihat menahan tangis. Memohon padaku. Aku tak menggubris ucapan mama, ku alihkan pandanganku dari wajah mama, lalu memandang tajam ke arah wajah Mas Bayu. Aku berteriak dan memakinya kasar. Mengeluarkan semua hal yang ingin kukatakan. "Apa maksud semua ini mas? Kenapa kau tega mempermainkan perasaanku seperti ini? Pecundang!""Cuih." Aku meludah dihadapannya."Katakan mas! Kau se
Diam kau mas, aku tak butuh penjelasan dan rasa bersalahmu itu. Dengarkan aku baik baik, selama aku masih hidup, aku tak akan membiarkanmu bahagia. Hari ini kau sudah mempermalukanku, kau merusak kebahagiaanku. Aku berjanji semua perbuatanmu ini akan kubalas." Geramku.Aku menatapnya nyalang, tanganku mengepal kuat."Kau tak akan pernah bisa kembali lagi pada Alina, mas. Aku bersumpah, selama aku masih hidup, tak akan kubiarkan kau bahagia dengannya."****PoV. Kania.Aku melangkah cepat menyusuri lorong hotel ini menuju kamarku. Nafasku tersengal, dadaku naik turun, masih menahan sesak amarah didada. Akibat perbuatan Mas Bayu.Beberapa pasang mata karyawan hotel melihat kearahku dengan berbagai macam tatapan. Sungguh, aku sama sekali tak suka cara mereka memandangku seakan aku sebuah badut yang tengah berjalan.Dadaku masih bergemuruh hebat, penghinaan dan rasa malu yang disebabkan oleh perbuatan Mas Bayu ini terlalu berat untuk kutanggung. Mengapa
PoV Bayu."Kau tak apa apa?" Tanya Mas Bayu yang nampak mengkhawatirkanku."Tak apa apa." Jawabku sambil menahan perih akibat luka bekas pukulan Kania dengan stand microphone tadi."Sebaiknya, kita segera kembali kerumah sakit. Kelihatannya lukamu cukup serius. Harus segera dirawat.""Iya,"Mas Adi mendorong kursi rodaku cepat, menuju mobilnya yang diparkir tak begitu jauh dari lokasi acara ini. Rasa nyeri membuatku tak begitu peduli dengan tatapan para tamu saat kami melintas di depan mereka.Masih sempat kulirik Kania yang mengumpatku disana. Dua orang memegang dan menahannya agar tenang dan diam, untunglah mas Adi bergerak cepat, segera memapah tubuhku masuk kedalam mobil.Aku dan Mas Adi akhirnya sudah tiba kembali kerumah sakit. Sesungguhnya, rasa sakit dan nyeri yang kurasakan dikepala dan kaki tak seberapa jika aku mengingat semua kesalahanku selama ini pada Alina. Seorang dokter langsung merawat lu
"Mbak Alina! Kau melamun." Tegur seseorang.Aku menoleh cepat melihat siapa yang baru saja bicara. Disampingku duduk seorang gadis yang kini sedang tersenyum menatapku."Oh, maaf. Ada apa?" Aku memperhatikannya dengan seksama."Aku tadi bertanya, bisakah kuminta sedikit minyak kayu putih yang sedang kau pegang, mbak. Entah mengapa, tiba tiba perutku rasanya mual," Tuturnya."Oh, ini silakan." Aku menyerahkan minyak kayu putih yang kupegang ini padanya."Terima kasih."Bis ini telah melaju meninggalkan area wisata Taman Sari, tempat terakhir tujuan wisata kami hari ini. Aku tak menyadari kehadirannya di sampingku, karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Untuk sejenak, aku mengerutkan kening, mengingat ibu Lily yang seharusnya duduk disebelahku, lalu kenapa sekarang berubah menjadi gadis ini? Apakah mereka sengaja bertukar tempat duduk?"Apa kau tahu, kemana Bu Lily?" Tanyaku penasaran."Oh, ibu Lily ada didepan, mbak. Ia minta bertukar temp
PoV. Kania.Pesawat ini akhirnya menukik tajam, tak lama lagi akan mendarat di bandara Sukarno Hatta, perjalanan melelahkan ini akan segera berakhir. Terdengar suara seorang awak kabin pesawat kembali mengingatkan agar para penumpang tetap duduk dan mengencangkan sabuk pengaman karena beberapa menit lagi pesawat ini akan mendarat.Aku tersenyum lega, ketika pesawat ini akhirnya mendarat dengan baik di landasan pacu Bandara Sukarno Hatta ini. Aku menatap keluar jendela sambil menunggu pesawat ini benar benar berhenti."Terima kasih," ucapku kepada seorang pramugari yang membantuku mengambil paper bag yang tersangkut diantara koper penumpang. Tak lama akupun akhirnya keluar dari dalam lambung pesawat ini.Hufft!Aku menarik nafas panjang, menghirup udara di negara kelahiranku kembali. Wajahku kini menyungging senyum. Tak lama lagi semua bayang bayang kelam dan ilusi masa lalu ini akan segera kutuntaskan semua."Syukurlah pesawatmu tepat waktu, mbak. Jika t
"Habiskan makanannya, nak. Tak baik menyisakan makanan." Aku membujuk gadis kecilku yang masih asyik dengan mainannya.Aku duduk menemani Diyara yang sedang asyik bermain di taman komplek perumahan ini. Tak hanya kami, banyak anak anak lain juga bermain disini. Taman yang sengaja dibuat sebagai tempat bermain anak-anak ini hanya berjarak kurang lebih setengah kilometer dari rumahku. Mengajak Diyara kesini sambil menyuapinya makan adalah agenda yang wajib kulakukan setiap libur kerja.Mbak Sita memang menginap dirumahku, Namun, selalu pulang setiap hari Sabtu untuk menjenguk kedua orang tuanya dan akan datang kembali kerumahku Minggu sore. Bagiku tak masalah yang penting saat aku membutuhkan jasanya ia selalu ada. Terkadang, saat aku libur, Bu Maryam pun sering memintaku membawa Diyara kerumahnya. Aku bisa mengerti rasa sayangnya pada anakku, karena sejak Diyara lahir, beliaulah yang mengurusnya.Perkataan Mbak Sita kemarin kembali mengusik pikiranku, aku tak menyang
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R