PoV. Kania.Pesawat ini akhirnya menukik tajam, tak lama lagi akan mendarat di bandara Sukarno Hatta, perjalanan melelahkan ini akan segera berakhir. Terdengar suara seorang awak kabin pesawat kembali mengingatkan agar para penumpang tetap duduk dan mengencangkan sabuk pengaman karena beberapa menit lagi pesawat ini akan mendarat.Aku tersenyum lega, ketika pesawat ini akhirnya mendarat dengan baik di landasan pacu Bandara Sukarno Hatta ini. Aku menatap keluar jendela sambil menunggu pesawat ini benar benar berhenti."Terima kasih," ucapku kepada seorang pramugari yang membantuku mengambil paper bag yang tersangkut diantara koper penumpang. Tak lama akupun akhirnya keluar dari dalam lambung pesawat ini.Hufft!Aku menarik nafas panjang, menghirup udara di negara kelahiranku kembali. Wajahku kini menyungging senyum. Tak lama lagi semua bayang bayang kelam dan ilusi masa lalu ini akan segera kutuntaskan semua."Syukurlah pesawatmu tepat waktu, mbak. Jika t
"Habiskan makanannya, nak. Tak baik menyisakan makanan." Aku membujuk gadis kecilku yang masih asyik dengan mainannya.Aku duduk menemani Diyara yang sedang asyik bermain di taman komplek perumahan ini. Tak hanya kami, banyak anak anak lain juga bermain disini. Taman yang sengaja dibuat sebagai tempat bermain anak-anak ini hanya berjarak kurang lebih setengah kilometer dari rumahku. Mengajak Diyara kesini sambil menyuapinya makan adalah agenda yang wajib kulakukan setiap libur kerja.Mbak Sita memang menginap dirumahku, Namun, selalu pulang setiap hari Sabtu untuk menjenguk kedua orang tuanya dan akan datang kembali kerumahku Minggu sore. Bagiku tak masalah yang penting saat aku membutuhkan jasanya ia selalu ada. Terkadang, saat aku libur, Bu Maryam pun sering memintaku membawa Diyara kerumahnya. Aku bisa mengerti rasa sayangnya pada anakku, karena sejak Diyara lahir, beliaulah yang mengurusnya.Perkataan Mbak Sita kemarin kembali mengusik pikiranku, aku tak menyang
"Aku dan Mas Bayu tidak jadi menikah. Mas Bayu membatalkan pernikahan kami saat akad nikah kami sudah di depan mata." Ucapnya getir.Ada perasaan tak percaya ketika mendengar kenyataan itu dari mulut Kania. Benarkah itu? Berarti mereka tidak jadi menikah? Haruskah aku merasa bahagia?***Entahlah.Kutatap lekat wajah Kania yang nampak menyunggingkan senyum tipis padaku. Sungguh, aku tak merasa apa-apa. Tidak juga bahagia saat mendengarnya. Namun, aku yakin Kania saat ini tidak sedang berbohong, karena ada perasaan kecewa dan kemarahan yang kutangkap dari nada bicaranya."Kenapa bisa seperti itu? Bukankah kalian berdua sangat ingin menikah. Saat itu, aku bahkan sangat cemburu padamu, Kania. Sekuat apapun aku berusaha untuk mengalihkan perasaan Mas Bayu kepadaku, tetap saja tak berhasil, karena cinta Mas Bayu hanya untukmu saja," ungkapku.Kembali, ia tersenyum getir. Mata itu kini terlihat berkilat, ia juga mengepal kuat tangannya. Untuk sesaat,
Mas Reyhan masih berdiri di dekat pintu, masih mendelik tajam pada Kania. Kulihat Kania masih terdiam disana. Kucoba mencairkan suasana kaku ini dengan meminta Kania duduk kembali."Wajahmu terlihat tegang, Kania. Duduklah dulu, tolong buat dirimu nyaman disini. Kau adalah tamuku, aku tak mau kau terlihat tak nyaman selama berada dirumahku." Pintaku padanya. ***Setelah berkata seperti itu pada Kania Aku pamit meninggalkan mereka sebentar untuk meletakkan paperbag ini ke dekat Diyara bermain. Lalu membalikkan badan kembali memandang kearah Kania."Aku rasa kau sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu tadi, Kania."Kania menoleh padaku, memandangku penuh tanya, sepertinya dia lupa mungkin harus kuingatkan saja."Kau tadi bertanya padaku bukan, apakah aku sudah menikah lagi?""Sejak kepergianku meninggalkan Mas Bayu, Aku tak menikah lagi. Meskipun kami tidak tinggal bersama, Aku dan Mas Bayu masih terikat pernikahan. Aku tahu perbuatanku
PoV Kania"Apa yang terjadi, Kania? Kenapa kau berjalan tergesa seperti itu?"Tanya mama ketika baru saja aku melangkahkan kaki masuk kedalam rumah. Aku tak menanggapi pertanyaan mama karena hatiku sangat kesal saat ini.Aku hanya melirik saja, sambil terus melanjutkan langkah menuju kamar. Hari ini, suasana hatiku memburuk. Pertemuan dengan Mas Reyhan tadi sore dirumah Alina seperti menyiram air garam pada luka lama yang sudah mengering, luka yang hampir kulupakan.Argghh ....Kulempar tasku keras hingga membentur sandaran ranjang, lalu melepas sepatu dan menendangnya kuat. Aku berjalan cepat ke arah meja riasku, kembali melempar semua kosmetik yang tertata rapi diatasnya. Semua barang yang terjangkau oleh tanganku kini sudah berhamburan tak tentu arahnya. Bahkan ada beberapa kosmetikku yang retak bahkan pecah.Aku masih berdiri didepan cermin ini menatap pantulan wajahku dengan nafas yang memburu. Kuusap kasar wajahku, lalu meremas kuat rambut dengan k
PoV. KaniaTok ... tok!"Mbak Kania, ditunggu Ibu dan Mbak Keysa di meja makan untuk makan malam bersama."Ketukan pintu disertai dengan suara panggilan dari salah seorang dari Asisten Rumah Tangga yang bekerja dirumahku akhirnya membuyarkan lamunanku. Aku tak mengerti, mengapa ingatan itu tak bisa hilang dari dalam benakku, meskipun sudah sekuat tenaga kucoba untuk melupakannya. Ingatan menyakitkan itu seolah melekat kuat di kepalaku.Bahuku bergetar meski saat ini aku sedang tak bergerak. Wajah Jeni seolah-olah menari didepan mataku."Tidak, aku bukan penyebab kematianmu, Jeni. Kau kecelakaan," aku bergumam lirih.Tubuhku akhirnya lunglai di lantai ini. Entah mengapa tenagaku seolah menghilang, sambil menyeka pelan air mata, perlahan aku bangkit dan berdiri."Bawa saja makanannya kekamar, bilang pada mama jika aku sedang tak enak badan, dan tak ingin diganggu," aku berucap lirih.Kuseret langkah ke ranjang tidurku. Kubaringkan perlahan tubuhku.
[Pulanglah, Alina. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku sungguh menyesal karena pernah mensia-siakan dirimu. Tolong berikan aku kesempatan untuk membahagiakanmu]Kuusap pelan wajahku. Entah mengapa hatiku tak begitu merespon baik ungkapan penyesalan Mas Bayu. Tiga tahun tanpa kehadirannya, membuatku kini terbiasa hidup tanpa dirinya. Dan sekarang, disaat Mas Bayu ingin memperbaiki hubungan kami, mengapa hatiku tak bahagia?****Drrtttt ....Ponselku bergetar, kulirik cepat layar pipih itu, nama Mas Bayu yang tertera disana. Seolah kebetulan, orang yang sejak tadi kupikirkan, saat ini tiba-tiba meneleponku.Dengan perasaan ragu akhirnya aku memutuskan untuk menerima panggilannya, kugeser perlahan gambar telepon berwarna hijau ini. Tak lama suara Mas Bayu pun terdengar.[Alina, aku akan menjemputmu pulang, katakan saja dimana alamatmu sekarang?]Aku diam beberapa saat. Pikiranku kini tak menentu, hingga akhirnya panggilan Mas Bayu membuatku tersadar
Suaraku kini tercekat di tenggorokan, perasaanku kini bercampur aduk. Bukan aku tak menghargai perasaan Mas Reyhan, tapi ada aturan yang harus aku patuhi mengingat statusku yang masih terikat pernikahan.Aku bangkit dan berdiri, ku tundukkan wajahku dan dengan hati hati aku memintanya agar segera pulang."Pulanglah dulu mas. Sudah malam, tak baik dilihat tetangga. Maaf, mulai sekarang aku minta padamu, tolong agar menjauh dulu dariku."****Hening.Udara malam kini terasa menampar dipipi, aku menunduk, menyesali perkataan Mas Reyhan, tak ada suara hanya gesekan ranting dari bunga Bougenville yang terdengar karena tiupan angin."Aku minta maaf, Alina.""Pulanglah, mas. Nanti Bu Maryam mencarimu," aku mengulang perkataanku.Ia bangkit dari duduknya. Sorot matanya terlihat sendu. Aku tahu ia kecewa atau mungkin marah padaku, tapi aku harus tegas, jika tidak, kami berdua bisa terseret dalam dosa besar."Aku tak bermaksud buruk, Alina. Aku tahu in
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R