Aku memandang Mas Reyhan cukup dalam, entah mengapa ia terlihat berbeda pagi ini, meski wajahnya selalu mengulas senyum dan berbicara dengan kalimat yang manis dan lembut padaku. Tetap saja aku merasa seakan ada sesuatu yang mengganjal kala melihat sikapnya.Aku yakin ia tak akan mungkin berbohong padaku, cerita tentang masa lalunya bersama Aisyah dan Erika adalah sebuah kejujuran. Namun, melihat gelagat anehnya saat ini membuatku yakin ada sesuatu yang tengah direncanakan dalam kepalanya. Hanya saja aku takut untuk menanyakannya.Mas Reyhan memang sosok yang begitu perhatian. Mungkin aku harus berterima kasih pada tuhan seumur hidupku karena telah memiliki dirinyaWajahnya masih terlihat datar, di meja makan ini ia juga bersikap seperti biasa. Sekilas memang tak ada yang berbeda. Memuji Diyara, atau menggodaku hingga wajahku memerah akibat gombalannya. Tetap saja, instingku mengatakan lain.Ponselnya berbunyi, ia masih terlihat tenang meski sekilas dahinya nampak berkerut ketika memb
"Ayo nona. Kami tidak punya waktu banyak." Bentak kasar salah seorang dari mereka, membuatku terkejut."Siapa yang menyuruh kalian?" Aku membalas bentakannya."Anda akan tahu sendiri nanti. Karena itu ikut dengan kami dan berjalanlah ke arah mobil hitam di depan sana, jika tidak ingin kami bersikap kasar pada anda." Kembali tangannya menunjuk ke mobil minibus hitam di depan.****PoV ErikaAku melempar tatapan tajam pada mereka berdua. Tubuh kekar kedua pria ini benar benar menghalangi semua akses jalan kabur yang ku punya. Rasa takut masih membuat kedua kakiku gemetar, hingga menyulitkanku untuk berpikir cepat.Mobil hitam itu masih diam disana dan tak akan bergerak sebelum aku masuk. Sebisa mungkin aku masih mencoba berusaha untuk lari dari mereka. Jika saja aku bisa mengambil ponsel dan menekan tombol panggilan cepat yang sudah terprogram ke nomor mama. Tentu perasaanku akan sedikit lebih baik. Tapi, bagaimana caranya mengelabui mereka, karena sepertinya kedua pria ini adalah prem
"Beri aku satu bulan, Jeng Evelyn." Mama terdengar mengajaknya bernegosiasi."Aku sudah memberikan waktu satu minggu padamu. Jangan mencoba berkelit kali ini Nora karena aku tidak main main dengan ancamanku. Jika kau tak segera membayarnya, akan kulempar putrimu pada pria hidung belang yang haus bercinta itu.""Baiklah, akan kuusahakan, tapi kumohon jangan sakiti dia." Mama kembali memohon padanya.****PoV. Erika"Jika kau tidak ingin aku menyakiti putri kesayanganmu ini, maka cepat bayar hutangmu." Meski terdengar tenang namun, suara Tante Evelyn begitu menyakitkan di telingaku.Setelah mengatakan kalimat itu, wanita dengan rambut sebahu itu memutus sambungan teleponnya. Seringai tipis terlukis di wajahnya, seakan ingin memberitahu padaku akan kekesalannya."Tante!" Wajah Tante Evelyn mendongak, mengabaikan panggilanku, tatapan dingin ia perlihatkan, untuk sesaat kurasakan kakiku gemetar kembali kala melihat aura kejam yang seolah ingin diperlihatkannya dari balik sorot matanya yan
Sungguh, aku tak habis pikir kemana saja mama menghamburkannya?Mama benar-benar keterlaluan.Aku tak mau menjadi jaminan hutang mama, secepatnya aku harus mencari cara untuk kabur dari mereka. Apapun caranya mama harus menyelesaikan sendiri hutangnya karena aku tak mau jika nantinya hidupku akan berakhir menjadi mainan para lelaki hidung belang.***"Bu Alina, ini laporan penjualan dan daftar pesanan para reseller bulan ini." Lapor salah seorang staf kantorku siang ini."Oh, letakkan saja di sana, nanti akan kuperiksa." Jawabku singkat."Ada lagi?" Tanyaku karena kulihat ia masih berdiri di hadapanku."Ehm ... Anu bu." Ia tampak ragu."Kau ingin bicara sesuatu?" Aku menghentikan aktivitasku sejenak layar komputer ini dan segera mengalihkan pandangan padanya."Katakan!""Anu bu ... Bolehkah saya mengajukan pinjaman uang ke kantor. Saya akan mencicilnya setiap bulan." Mendengar perkataannya membuatku langsung mengerutkan kening. Wanita ini baru tiga bulan bekerja di kantorku dan sekar
Ia mengeluarkan ponselnya, kembali mengetik pesan disana. Entah mengapa, sedari tadi kulihat ia terus menerus gelisah.Aku masih memperhatikan dirinya. Risa nampak begitu gelisah, berkali kali kulihat ia mencengkram erat ponselnya, seakan ingin menghancurkannya. Hingga tanpa kusadari ketika mobilku berbelok, ada sebuah motor yang ditunggangi oleh dua orang pria bertubuh besar tiba tiba berhenti di depan dan menghentikan laju mobilku.****PoV. Reyhan."Terima kasih, akan ku cek email dari mu nanti, Fikri," Ucapku lalu memutuskan sambungan telepon.Baru saja hendak meletakkan ponsel ke atas meja, benda pipih itu kembali berdering. Spontan membuatku melirik demi mencari tahu siapa yang menghubungi selanjutnya.Sebuah pesan WA masuk secara bersamaan dengan panggilan telepon. Kulirik dilayar, sebuah nomor asing tertera disana. Meski hati penuh tanya. Namun, aku memilih menjawabnya.[Halo]" aku menyapa lebih dulu.[Aku ingin bicara denganmu, Reyhan. Satu jam lagi datanglah ke rumahku. Aku
"Apa yang sebenarnya terjadi, mas?" Melihat tubuh Alina yang berguncang. Aku meraihnya dalam dekapanku. Mengelus lembut punggungnya adalah hal yang selalu kulakukan untuk menenangkannya.""Tidak ada apa apa. Ayo kita pulang, sayang." Ucapku lembut lalu mengecup pucuk kepalanya.Melihat tubuh Alina yang masih gemetar, segera kugendong tubuhnya. Wanitaku ini tidak bicara apapun lagi. Sepertinya, kejadian yang barusan menimpanya, masih membuatnya shock. Melihat tubuhnya yang masih gemetar, tanpa sadar membuat tanganku kembali mengepal.****PoV Reyhan.Aku memandang Tante Nora tanpa berkedip, dadaku kembang kempis menahan murka. Rasanya ingin kupatahkan tangannya karena telah berani memanfaatkan istriku. Wajah wanita tua itu sedikit berubah pucat ketika aku keluar dari kamar ini sambil menggendong Alina, ia memalingkan wajahnya ketika pandangan mataku begitu intens menyerangnya.Ia masih berdiri dengan sisa keangkuhan yang tersisa dalam dirinya. Dalam hati aku mengutuk keadaan. Andai s
"Jika aku membantumu. Lalu, apa yang kudapat?""Apapun yang kau inginkan.""Baiklah, bagaimana jika yang kuinginkan adalah kepalamu. Apa kau akan memberikannya padaku?" Aku tersenyum miring. ****PoV Reyhan."Apa yang baru saja kau katakan?" Tanya Tante Nora spontan."Ke-kepala?""K-kau inginkan kepalaku?" Ucapnya seakan tak percaya.Mata Tante Nora menyipit tajam setelah mendengar perkataanku, mungkin ia tak menyangka jika ucapan sad!s seperti itu keluar dari mulutku. Ekor mataku melihat tangannya yang saling meremas dan wajah yang mulai menunjukkan rasa takut dan ketidak-nyamanan.Suasana ruangan seketika berbeda, ketegangan yang sudah terasa sejak tadi seakan bertambah tensinya. Aku tahu ucapanku tadi pasti membangkitkan emosinya.Dua orang pria yang diutus Bahar masih berdiri ditempatnya dalam posisi siaga. Menunggu tugas apapun yang akan kuberikan. Beberapa kali mereka melirik berharap agar aku bisa mengeluarkan satu perintah yang akan mereka lakukan.Tante Nora masih berdiri di
PoV Reyhan."Kau tidak apa-apa, sayang? Bagaimana dengan kepalamu? Apakah ada bagian yang sakit atau pusing?" Tanyaku begitu meletakkan tubuh Alina di kamar.Alina menggeleng pelan." Aku baik baik saja, mas.""Baguslah.""Nanti akan kuminta Bi Lastri untuk membawakan makanan untukmu. Istirahatlah, aku tahu kau begitu lelah hari ini." Ucapku sambil menarik selimut lalu mengecup lembut dahinya."Jangan pikirkan apapun. Aku hanya ingin kau beristirahat," ku ulang kembali ucapanku.Aku menggeser tubuh dari sisi Alina dan beranjak perlahan dari ranjang, membiarkan tubuhnya nyaman. Namun, baru saja membalik badan, suara Alina menginterupsi langkahku."Mas, kau mau kemana?" Pertanyaan Alina membuatku seketika menoleh. Wajahnya yang sayu dengan tatapan mata penuh tanya kini ia lemparkan padaku."Aku hanya ingin mandi. Kau mau ikut? Kita bisa mandi bersama, berendam bersama sekalian menghabiskan malam panas di bawah shower," Jawabku lembut sambil tersenyum penuh arti.Mendengar jawaban darik
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R