Share

42. Merantau

Penulis: Yetti S
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setibanya di rumah Hana, Andhika memapah sang istri masuk ke dalam rumah. Dia juga menemani Hana di dalam kamar. Andhika mencoba untuk menggenggam jemari istrinya, namun dengan cepat Hana menepis tangannya.

“Kamu sebaiknya pulang, Mas. Aku mau ganti baju dan istirahat supaya pusingku ini segera hilang, setelah aku tidur.”

“Kalau mau ganti baju, silakan saja! Aku kan suami kamu, Han. Lagi pula aku sudah tahu kok isi di balik kebaya itu,” sahut Andhika dengan senyum nakal terbit dari bibirnya.

Hana langsung melempar guling ke arah suaminya seraya berkata, “Jangan ungkit soal itu lagi! Anggap saja semua itu sebuah mimpi. Aku ini kan seorang jalang, wanita murahan yang kebetulan terikat perjanjian nikah kontrak sama kamu!”

Hati Andhika mencelos mendengar penuturan Hana. Dia menghela napas panjang dan menatap Hana dengan tatapan sendu.

“Sekali lagi, aku minta maaf. Aku menyesal telah melontarkan kata-kata itu padamu. Aku sangat emosi saat itu, Han. Tolong maafkan aku.”

“Sudahlah, Mas. Lebi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Wanita Untuk Sang CEO   43. Mual

    Hana dan Mutia sudah tiba di Singapura. Mereka langsung menuju ke apartemen yang sudah Mutia sewa untuk satu tahun lamanya.“Wah, Mbak Mutia keren banget. Menyewa apartemen sebagus ini,” ucap Hana ketika mereka sudah tiba di apartemen.“Aku kan gerak cepat, Han. Setelah kamu hubungi, aku langsung ke Singapura. Makanya aku nggak bisa datang di acara wisuda kamu. Kamu suka kan dengan apartemen ini?” sahut Mutia.“Suka dong, Mbak. Semoga kita betah di sini. Oh ya, mengenai uang sewanya bagaimana? Apa sudah lunas atau dibayar setengahnya dulu? Aku akan ganti uangnya Mbak Mutia,” ucap Hana serius.“Aku bayar setengahnya dulu, nanti sisanya setelah kita tinggal di sini. Ini tanda terimanya, Han.” Mutia lalu membuka tas miliknya dan merogoh secarik kertas, kemudian dia perlihatkan pada Hana.Hana memperhatikan secarik kertas itu yang merupakan tanda terima pembayaran sewa apartemen. Dia mengangguk dan menyerahkan kembali kertas itu pada Mutia.“Seperti biasa, Mbak Mutia saja yang simpan, ya,

  • Wanita Untuk Sang CEO   44. Pingsan

    Mutia akhirnya mengalah. Dia menuruti saja kemauan Hana. Mungkin saat ini Hana masih sakit hati pada suaminya, sehingga sulit untuk melunak hatinya. Mungkin suatu saat nanti, pikiran Hana akan berubah. Bukankah setiap manusia bisa saja berubah hati dan pikirannya? Begitu setidaknya menurut Mutia.“Ok deh, Han. Aku ikuti saja apa mau kamu. Aku berharap kamu mendapatkan yang terbaik. Aku sudah selesai sarapan. Sekarang cepat kamu selesaikan sarapannya, supaya kita bisa berangkat sekarang,” ucap Mutia yang diangguki oleh Hana.Hana berusaha menghabiskan sarapannya walaupun rasanya sulit, karena dia selalu mual apabila makanan masuk ke dalam mulutnya.“Aku nggak bisa habiskan sarapannya, Mbak. Maaf kalau hanya separuh saja, karena aku takut keluar lagi makanan yang sudah aku makan. Jadi terasa sia-sia saja nanti,” sahut Hana, yang lantas mendorong piring menjauh darinya.“Ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting perut kamu ada isinya. Sini biar aku buang sisanya. Sisanya tinggal sedikit juga

  • Wanita Untuk Sang CEO   45. Positif

    Keadaan di studio foto seketika menjadi panik. Dua orang staf agensi itu segera membopong tubuh Hana ke sebuah sofa. Sedang pengarah gaya, memberi instruksi untuk menghentikan aktivitas sementara waktu. Dia lalu melangkah keluar studio menuju ruangan David, dan mengetuk pintu ruangan itu.“Masuk!” terdengar suara David dari dalam ruangannya.Pengarah gaya itu masuk dan duduk di kursi di depan meja pemilik agensi itu.“Pak David, model yang baru bergabung dengan kita, pingsan di saat pemotretan sedang berlangsung,” ucap pengarah gaya itu.Wajah David tampak menegang. “Siapa yang pingsan?”“Hana.”David tanpa berkata lagi, langsung beranjak dari kursi kebesarannya dan melangkah menuju pintu.Pengarah gaya yang ditinggalkan begitu saja oleh David merasa bingung, karena sikap David yang tak seperti biasanya.“Aneh sikap si bos. Biasanya kalau ada yang sakit atau pingsan, selalu memerintahkan agar segera membawa ke rumah sakit. Tapi, sekarang ini dia turun tangan secara langsung,” gumam pe

  • Wanita Untuk Sang CEO   46. Pelajaran

    Noval tiba di kantor Andhika tiga puluh menit setelah sambungan telepon mereka berakhir. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke ruangan pria itu. Tiba di depan pintu, dia sudah disambut oleh sekretaris Andhika.“Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu dari tadi oleh Pak Dhika.”“Terima kasih,” sahut Noval. Dia lalu membuka pintu ruangan Andhika, dan terkejut mendapati seorang pria duduk di kursi di hadapan Andhika.“Eh, Noval. Masuk sini dan duduk di kursi itu! Aku sudah menyiapkan untuk kamu,” titah Andhika.Noval tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia lalu melangkah ke dalam ruangan, kemudian duduk di kursi yang ditunjuk oleh Andhika.“Ada apa, Pak Dhika? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Noval setelah dia duduk di kursi, bersebelahan dengan Romi.“Iya. Kamu harus membantu aku dengan menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan dengan jujur!” tegas Andhika dengan tatapan tajam tertuju pada Noval.Noval yang ditatap Andhika dengan tatapan tajam, merasa grogi juga. Rasa bersalah

  • Wanita Untuk Sang CEO   47. Kecewa

    Dalam sekejap, Bagus sudah tiba di ruangan Andhika. Pria itu menghela napas panjang melihat Noval yang babak belur. Dia lalu melangkah mendekati Andhika.“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bagus.“Tolong kamu urus untuk mengambil alih perusahaan jasa keamanan atas nama si brengs*k ini. Aku dulu yang memberi dia modal untuk merintis perusahaan itu bersama temannya. Tapi, dia nggak tahu diri. Sudah ditolong malah menikamku dari belakang,” sahut Andhika dengan tatapan tajam terarah pada Noval yang masih menundukkan kepalanya.“Baik, Pak. Saya akan hubungi notaris dan mengadakan rapat dengan pemegang saham lainnya. Setelah itu, akan saya umumkan kalau perusahaan tersebut sudah diambil alih oleh Pak Dhika dari Pak Noval,” ucap Bagus, yang diangguki oleh Bagus.“Iya, segera kamu urus semuanya!” titah Andhika, yang diangguki oleh Bagus.“Ok, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”Selanjutnya, Bagus melangkah meninggalkan ruangan Andhika.Sepeninggal asisten pribadinya, Andhika kembal

  • Wanita Untuk Sang CEO   48. Usaha Andhika

    Andhika menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah toko bunga. Dia berniat membeli buket bunga cantik untuk sang istri.“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya seorang pegawai toko bunga.“Iya, saya mau cari bunga mawar pink.” Andhika menjawab tanpa menatap ke pegawai toko bunga. Matanya tetap fokus ke arah deretan aneka bunga.“Di sebelah sini, Pak. Ini ada bunga mawar pink, yang baru dipetik dari kebun. Masih segar sekali. Kalau kue, fresh from the oven,” ucap pegawai toko bunga itu.Andhika terkekeh mendengar perumpamaan yang diucapkan oleh wanita itu.“Mbak bisa saja menyamakan bunga dengan kue,” celetuk Andhika.Wanita itu hanya tersenyum menanggapi penuturan Andhika barusan. Langkahnya terhenti di pojok ruangan toko.“Ini bunga mawar pink-nya,” tunjuk wanita itu.“Ok, saya mau yang ini. Tolong segera dirangkai ya, Mbak. Saya tunggu,” ucap Andhika.“Siap. Ada kata-kata mutiara yang bisa diselipkan di rangkaian bunga ini?” tanya wanita itu.“Oh iya, ada. Bisa minta kertas dan pulpenn

  • Wanita Untuk Sang CEO   49. Dilema

    Sementara itu di Singapura.Hana yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, kini termangu di kamar apartemennya. Dia yang kini sedang berbaring, mengangsurkan tangannya ke perutnya yang masih rata.“Ada anak Mas Dhika di rahimku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin kembali padanya. Aku sangat membencinya, dan aku sangat terhina dengan ucapannya. Biarlah anak ini aku rawat sendiri di sini. Mas Dhika nggak perlu tahu. Tapi, apa keputusanku ini adil untuk anakku ini?” gumam Hana seorang diri. Tak terasa cairan bening mulai membasahi kelopak matanya.Posisi Hana yang memunggungi pintu, tak menyadari kalau Mutia tengah memperhatikan dari ambang pintu. Kakak sepupu sekaligus managernya itu, dapat melihat kalau kini Hana tengah menangis karena punggung Hana tampak berguncang.Mutia lalu melangkah mendekati Hana dan duduk di tepi tempat tidur. Dia mengusap lembut lengan adik sepupunya itu, berusaha untuk menenangkan.“Han, aku sudah ngomong tadi sama Pak David dan berneg

  • Wanita Untuk Sang CEO   50. Kunjungan David

    Hana yang meragu dengan yang Andhika tulis di kartu itu, lantas menutup aplikasi pesan berwarna hijau itu. Dia lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur.Mutia yang melihat reaksi adik sepupunya itu menjadi heran.“Han, kok kamu cuek begitu sih?”“Memangnya aku harus apa, Mbak? Apa aku harus tersenyum karena senang telah membaca tulisan Mas Dhika? Aku saja nggak tahu apakah dia menuliskan itu semua dengan tulus, atau hanya trik saja supaya aku mau memaafkan dia?” sahut Hana dengan bibir yang mengerucut.“Astaga, Hana! Kenapa kamu keras kepala begini sih? Pak Dhika itu seorang yang nggak main-main dalam bertindak lho, Han. Kalau dia menuliskan kata itu, artinya dia sungguh-sungguh. Coba kamu tengok lagi tentang kesepakatan kalian. Pak Dhika menikahi kamu sah secara hukum agama maupun negara. Kalau dia mau, bisa saja dia menikahi kamu secara siri. Jadi kalau mau berpisah, nggak usah repot mengurus ke pengadilan agama. Kalau menurutku sih, sebenarnya dari awal Pak Dhika sudah tertarik sa

Bab terbaru

  • Wanita Untuk Sang CEO   121. Extra Part

    Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja

  • Wanita Untuk Sang CEO   120. Extra Part

    Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo

  • Wanita Untuk Sang CEO   119. Extra Part

    Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k

  • Wanita Untuk Sang CEO   118. Extra Part

    Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari

  • Wanita Untuk Sang CEO   117. Extra Part

    Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi

  • Wanita Untuk Sang CEO   116. Extra Part

    Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya

  • Wanita Untuk Sang CEO   115. Extra Part

    Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng

  • Wanita Untuk Sang CEO   114. Extra Part

    Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau

  • Wanita Untuk Sang CEO   113. Extra Part

    Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me

DMCA.com Protection Status