Noah sudah berhasil merangsek ke tengah kerumunan para tamu undangan yang sedang menyimak sambutan dari Luther. Noah menatap tajam pria yang tengah berdiri di podium itu. Dia juga melihat anak gadisnya tengah ada di belakang Luther.Noah tersenyum menyeringai. "Pintar juga putriku yang jalang itu menggoda pria sekelas Luther. Boleh juga kemampuannya."Virginia berdiri bersebelahan dengan Noah. Dia juga terus menatap Lola dengan tatapan yang tak suka. "Untuk itu, kami resmi meresmikan kawasan Hunter Point South di Long Island City ini." Luther menutup sambutannya pada pesta peresmian kawasan baru itu.Seluruh tamu undangan kemudian memberikan tepukan tangan yang meriah untuk Luther. Luther bersama para wanitanya pun turun dari podium. Mereka duduk di kursi kehormatan untuk menyimak dan mengikuti rangkaian acara selanjutnya.Beberapa pihak lain yang terkait seperti Tuan Leo yang merupakan dewan kota New York City, lalu juga Tuan Samad dari Samad Land bergantian naik ke podium untuk mem
Noah melotot pada Luther, tak habis pikir dengan segala yang telah diucapkan pria itu padanya."Apa yang kau katakan tadi? Kau memfitnahku?" Noah mulai naik darah.Luther menanggapinya dengan tawa yang meremehkan. "Jangan kau lupa jika aku memiliki informan hebat yang bekerja di belakang layar untuk mengorek segala informasi mengenai kejahatanmu! Lihat saja waktunya nanti, kau akan segera masuk penjara."Noah tertawa hambar. Seolah rasa percaya dirinya belum habis. "Kau tidak akan bisa menyeretku ke dalam penjara!""Oh ya? Sepertinya kau begitu yakin?" Luther meremehkan Noah. "Kita lihat saja siapa yang akhirnya akan menang!""Huh! Kau pasti akan menyesali semuanya!" ancam Noah. Pria paruh baya itu segera bangkit dari tempatnya dan meninggalkan Luther sendirian.Luther kini mulai gelisah, Dia mencari di mana Lola berada karena takut Virginia merencanakan sesuatu yang buruk terhadap Lola."Lola. di mana kau?" desahnya putus asa.Luther langsung menghubungi Jeremy pada saat itu juga."J
Setelah menunggu cukup lama, dokter yang ditunggu oleh Luther akhirnya datang. Dokter langsung memeriksa kondisi Lola. Luther menunggu dengan harap-harap cemas."Bagaimana keadaannya, Dok?"Dokter memberikan senyumannya pada Luther. "Anda tidak perlu terlalu khawatir. Dia hanya perlu memulihkan diri paska tenggelam. Badannya sedang dalam fase demam. Saya akan memberikan obat penurun demam dan vitamin untuknya."Luther diberikan arahan berapa dosis obat yang harus diberikan untuk Lola. Setelah menyelesaikan tugasnya, dokter segera meninggalkan kamar hotel itu. Luther kini duduk di samping ranjang. Ditatapnya wajah Lola dengan lekat."Lola, kuharap kau bisa segera pulih kembali."Luther terpaksa membangunkan Lola yang masih setengah sadar itu untuk meminum obat dan vitaminnya. Lola sudah mengganjal perutnya dengan sedikit roti."Lola, apakah masih terasa dingin?" tanya Luther penuh perhatian.Lola terlihat menggeleng. "Tidak. Sudah agak hangat. Aku ... mengantuk."Luther pelan-pelan mem
Lola membuka matanya. Kepalanya masih terasa sedikit pusing. Dirinya terkejut saat mendapati Luther tengah tertidur di sisi ranjangnya."Luther? Apakah aku ... diselamatkan olehnya?"Luther mengerang sedikit. Perlahan dia juga membuka matanya. Sebuah senyuman muncul di wajahnya pada saat melihat Lola yang sudah terbangun."Lola ... syukurlah kau sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?""Aku ... sudah merasa lebih baik. Kau yang kemarin menyelamatkanku?"Luther membalasnya hanya dengan sebuah senyuman yang penuh ketulusan dan kelegaan. Jantung Lola mendadak terasa berhenti berdetak. Ada angin yang berdesir di antara mereka, membawa rasa hangat di dalam dada."Bagaimana kau ... sungai itu sangat dalam! Kau bisa-bisa membahayakan nyawamu sendiri," sergah Lola khawatir."Dasar bodoh! Harusnya kau mengkhawatirkan nyawamu sendiri! Bukan mengkhawatirkan aku yang sudah terbiasa menyelam di lautan!" Luther balas menepuk pelan kepala Lola. "Syukurlah kau sudah sehat kembali."Lola merasakan rasa pa
Gadis itu bisa merasakan udara panas yang berhembus ke tengkuknya. Tak lama, dirinya juga merasakan sebuah kecupan lembut di bagian tengkuknya itu. Lola sama sekali tak bergerak di tempatnya. Dia malah sibuk menahan air matanya agar tidak mengalir di depan pria itu."Lola, kenapa kau ada di sini? Aku sejak tadi mencarimu," rengek Luther seperti seorang anak kecil yang mencari ibunya. "Ayo temani aku tidur di kamar."Masih membisu, Lola hanya dapat menuruti keinginan Luther. Pria manja itu menggiringnya sampai ke kamar. Ketika Luther sudah berada dalam posisi berbaring, dirinya menepuk sisi sebelahnya. Memberikan kode pada Lola agar mau tidur di sampingnya juga.Lola justru tetap berdiri mematung sambil menatap Luther dengan tatapan nanar. Setiap melihat wajah pria itu, hatinya malah begitu sakit. Terbayang senyuman Luther hanya untuk wanita asing itu, bukan untuk Lola."Lola, ayo tidur di sini."Lama-lama kesabaran Luther sudah habis. Dia langsung menarik Lola hingga wanita tu terjung
Lola berbaring di samping Luther pada malam itu. Mereka baru saja kembali menghabiskan malam dengan saling menghangatkan diri di ranjang. Dirinya diliputi rasa bahagia yang kian lama kian memenuhi hatinya.Luther masih mendekap tubuh polosnya dengan sangat gentle. Setelah mereka saling memadu kasih di hotel Long Island sebelumnya, hubungan mereka menjadi semakin erat. Luther sudah tak segan lagi mencumbu gadisnya, begitu pun sebaliknya dengan Lola yang tak segan mengajak Luther untuk bercinta."Apa yang sedang kau pikirkan, Lola?"Lola menatap atap dengan menerawang jauh."Tidak apa-apa. Aku hanya ... merasa bahagia sekarang. Aku berharap kebahagiaan ini akan tetap utuh dan bertahan selamanya."Luther mengecup puncak kepala Lola. "Kita akan senantiasa bahagia, Lola. Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk membahagiakanmu. Hanya perlu satu hal lagi untuk menjaga kebahagiaan ini bertahan selamanya."Lola berpaling menatap Luther di keremangan kamar tidurnya."Apa itu?"Luther hany
Barbara masih terlihat terguncang. Ekspresi kesedihan selalu terlihat dari wajahnya. Lilian bisa mengerti dengan perasaan Barbara yang tentunya pada saat ini sedang bingung dengan nasibnya. Ketika mereka berdua sedang saling terdiam, dokter terlihat masuk menghampiri mereka."Nyonya Barbara. Hasil tes darah sudah muncul. Anda benar-benar sedang mengandung. Usia kehamilan sudah 13 minggu."Lilian menganga kaget, begitu juga dengan Barbara. Dokter melanjutkan kembali perkataannya."Nyonya tidak boleh merasa tertekan karena ini akan berpengaruh pada kondisi janin. Lalu untuk sementara, semua konsumsi obat-obatan anti depresan dihentikan ya.""Iya, Dok." Barbara setuju dengan anjuran dokter.Setelah selesai memeriksa kondisi terkini Barbara, dokter meninggalkan ruangan. Kini hanya ada Lilian dan Barbara berdua saja di dalam kamar itu. Lilian menatap sedih wanita yang sedang terbaring lemah di tempat tidur itu."Barbara, kau yakin bisa melanjutkan ini semua? Kau yakin masih ingin membesar
Barbara begitu murung di tempatnya. Dia sedih karena rencananya harus gagal dikarenakan Luther malah tidak pulang ke mansion dan tidak diketahui keberadaannya sekarang. Beberapa kali wanita itu terlihat menghela napasnya dengan berat.Lilian yang terus memperhatikan Barbara semakin merasa prihatin dengan hal ini. Apalagi dia tahu jika Luther pasti sedang menghabiskan waktunya bersama dengan Lola."Barbara, makanlah. Kau tidak ingin bayimu kekurangan nutrisi, bukan? Masalah Luther bisa kita tunggu lagi dia nanti.""Tapi ... aku sudah tidak sabar ingin sekali memberitahunya tentang bayi ini." Barbara kini terlihat sangat merajuk, tidak seperti dirinya yang biasa.Giliran Lilian yang kini menghela napas berat. "Ya, aku paham. Tapi kau juga harus makan. Ayo, makanlah. Mungkin sebentar lagi dia akan kembali.""Kau benar!" Barbara mendadak ceria. Moodnya berubah menjadi baik. "Oke, aku akan segera makan."Barbara kini menyuap makanannya dengan sangat lahap, bahkan terlihat bagaikan sedang
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka