Barbara masih terlihat terguncang. Ekspresi kesedihan selalu terlihat dari wajahnya. Lilian bisa mengerti dengan perasaan Barbara yang tentunya pada saat ini sedang bingung dengan nasibnya. Ketika mereka berdua sedang saling terdiam, dokter terlihat masuk menghampiri mereka."Nyonya Barbara. Hasil tes darah sudah muncul. Anda benar-benar sedang mengandung. Usia kehamilan sudah 13 minggu."Lilian menganga kaget, begitu juga dengan Barbara. Dokter melanjutkan kembali perkataannya."Nyonya tidak boleh merasa tertekan karena ini akan berpengaruh pada kondisi janin. Lalu untuk sementara, semua konsumsi obat-obatan anti depresan dihentikan ya.""Iya, Dok." Barbara setuju dengan anjuran dokter.Setelah selesai memeriksa kondisi terkini Barbara, dokter meninggalkan ruangan. Kini hanya ada Lilian dan Barbara berdua saja di dalam kamar itu. Lilian menatap sedih wanita yang sedang terbaring lemah di tempat tidur itu."Barbara, kau yakin bisa melanjutkan ini semua? Kau yakin masih ingin membesar
Barbara begitu murung di tempatnya. Dia sedih karena rencananya harus gagal dikarenakan Luther malah tidak pulang ke mansion dan tidak diketahui keberadaannya sekarang. Beberapa kali wanita itu terlihat menghela napasnya dengan berat.Lilian yang terus memperhatikan Barbara semakin merasa prihatin dengan hal ini. Apalagi dia tahu jika Luther pasti sedang menghabiskan waktunya bersama dengan Lola."Barbara, makanlah. Kau tidak ingin bayimu kekurangan nutrisi, bukan? Masalah Luther bisa kita tunggu lagi dia nanti.""Tapi ... aku sudah tidak sabar ingin sekali memberitahunya tentang bayi ini." Barbara kini terlihat sangat merajuk, tidak seperti dirinya yang biasa.Giliran Lilian yang kini menghela napas berat. "Ya, aku paham. Tapi kau juga harus makan. Ayo, makanlah. Mungkin sebentar lagi dia akan kembali.""Kau benar!" Barbara mendadak ceria. Moodnya berubah menjadi baik. "Oke, aku akan segera makan."Barbara kini menyuap makanannya dengan sangat lahap, bahkan terlihat bagaikan sedang
"Tak perlu melakukan itu!" tolak Luther cepat. "Aku percaya kau hamil. Hasil USG ini memang sudah membuktikannya. Tapi ... kau bilang jika kau mengandung anakku. Aku sama sekali tak percaya dengan hal itu!"Barbara terkekeh sekarang. "Masa kau melupakan malam panas kita berdua sekitar sebulan lalu? Oh, iya. Memang saat itu kau sedang mabuk. Padahal jika kau bisa mengingatnya, kau juga pasti akan merasakan betapa nikmatnya gelora asmara kita pada saat itu."Wajah Lola kian merah pada saat itu. Perasaannya begitu campur aduk dan sulit untuk dijelaskan. Dia hanya bisa terdiam menahan rasa amarah yang tidak dapat meluap. Sebelumnya dia merasa kecewa karena Luther masih belum bisa melupakan masa lalunya, sekarang dia kembali harus menelan kekecewaan karena Luther membuat Barbara hamil. Karena merasa tak bisa membendung emosi, Lola memutuskan pergi meninggalkan kedua orang itu."Lola!" panggil Luther cepat. Dia sangat tak mau Lola salah paham tentang dirinya.Barbara menghalangi Luther unt
Lola melotot di tempatnya. "Apa ... maksudmu? Mengapa Luther yang .... "Barbara berdecak. "Ck ck! Kasihan sekali kau. Mau-maunya dibohongi oleh pria itu. Haruskah aku katakan semua hal yang sebenarnya kepadamu mengenai kematian Abigail?"Lola berpaling menatap Barbara dengan tatapan serius dan mengiba. "Katakan semuanya! Aku ingin mengetahui semua!"Barbara tertawa lagi. "Ceritanya cukup panjang. Aku hanya akan menceritakan intinya saja. Jadi Luther dan Abby memiliki hubungan rahasia yang istimewa. Mereka sengaja merahasiakan hubungan itu agar karir Abby yang sedang bersinar tidak redup.""Lalu?" Lola kian penasaran dengan cerita Barbara."Ketika itu, Abby disandingkan dengan seorang aktor tampan asal Inggris bernama Ludwig. Mereka sering sekali terlibat project bersama. Hal ini membuat Luther cemburu dan berniat untuk menikahi Abby. Tapi wanita itu menolak bahkan tak memberikan jawaban pasti mengenai pinangan Luther."Lola mengerti akan hal itu. Apalagi dia sempat membaca email Luthe
Luther merasa harus meluruskan hal ini. Dia berniat berbicara empat mata dengan Barbara esok hari, sebelum mereka sarapan bersama. Dia ingin menuntaskan semua kesalahpahaman ini agar hubungannya dengan Lola bisa kembali harmonis.Akhirnya ketika sebelum makan siang, Luther menemui Barbara di kamarnya. Barbara terkejut dengan kedatangan Luther yang sudah lama tak pria itu lakukan."Luther? Akhirnya kau datang menemuiku." Wajah wanita itu dihiasi oleh senyuman yang merekah.Berbeda dengan Barbara, saat itu wajah Luther begitu menekuk. Tak nampak rona kebahagiaan di wajahnya."Aku tak mau berbasa-basi denganmu. Katakan padaku yang sebenarnya. Dengan siapa saja kau pernah bercinta dalam waktu terakhir ini."Kebahagiaan di wajah Barbara mendadak hilang tergantikan raut wajah yang gelisah. Dia sama sekali tak menyangka jika Luther akan menanyakan hal seperti ini padanya."A ... apa maksudmu? Aku ... hanya bercinta denganmu saja, Luther!"Luther menyeringai meremehkan wanita itu. "Kau pasti
Lilian meminta izin untuk mengikuti Barbara. Kini dia sampai di kamar Barbara dan melihat Barbara hampir sudah selesai mengemas semua barangnya. Lilian menatap wanita itu dengan sangat iba."Barbara, kau yakin akan pergi dari sini? Bagaimana kehidupanmu di luar sana? Mengapa tidak kau katakan saja siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Luther pasti akan memaafkanmu.""Tidak semudah itu, Lilian!" sergah Barbara cepat. Matanya terlihat begitu sembab saat itu. "Hal ini tidak semudah yang kau kira. Bukan berarti dengan aku mengaku pada Luther, semua masalah akan selesai! Justru nantinya malah akan menambah masalah baru."Lilian hanya bisa menunduk sedih. Dia sama sekali tak mengerti dan tak mengetahui beban yang dipikul oleh Barbara."Lalu ... ke mana kau akan pergi? Kau akan tinggal bersama ayah dari bayi itu? Apa yang kau butuhkan? Biar aku bisa membantumu!" Lilian bersikeras ingin mengetahui rencana Barbara setelah meninggalkan mansion."Aku tidak tahu. Mungkin aku akan kembali ke apar
Lola awalnya ragu apakah dia harus bercerita atau tidak kepada Jhonatan. Dia khawatir Jhonatan akan terbawa emosi dan bertindak nekat kepada Luther. Tapi karena Jhonatan terus memaksanya untuk menceritakan semua, Lola akhirnya menyerah juga."Apa? Dia melakukan hal itu padamu? Tak kusangka pria itu begitu jahat!" Jhonatan mengomentari dengan menggebu-gebu.Lola kini merasa semakin sedih. Bagaimana pun juga, Luther adalah sosok pria yang sempat dia cintai."Makanya aku memutuskan untuk berpisah dan pergi dari sisinya. Apakah aku terlalu jahat melakukan hal ini terhadapnya?""Tidak! Kau sudah melakukan hal yang tepat. Justru jika kau tetap bertahan di sampingnya, kau akan menderita dan menyesal seumur hidupmu," ujar Jhonatan yang mendukung langkah Lola sekarang."Oh, begitu ya." Lola sedikit tersenyum lega. Meskipun begitu, dia belum merasakan kelegaan sepenuhnya. Ada sisi di mana dia merasa sedih karena harus berpisah dengan Luther.Jhonatan tiba-tiba menyenggol Lola, membuat gadis itu
"Kakak, kau bercanda, 'kan?" Lola sedikit tertawa menanggapi ucapan Jhonatan."Tidak, aku serius, Lola. Kupikir ini adalah hal yang bagus untuk kita sekarang. Tempat ini sudah tidak aman lagi. Ancaman dari Ayah bisa datang kapan saja. Belum lagi mungkin dalam waktu cepat kita bisa terusir dari sini." Jhonatan menjelaskan panjang lebar.Lola kini termenung. Ucapan Jhonatan memang ada benarnya. Selama Noah berkeliaran bebas, pria tua itu pasti akan mudah datang lagi ke Wichita. Bisa jadi dia akan melakukan tindakan yang sama atau mungkin lebih berbahaya lagi untuk ibunya."Jhonatan .... " Anneliese terlihat ragu dengan usul putra sambungnya."Ibu, tidak usah mengkhawatirkan apa pun. Di Singapura, aku sudah memiliki usaha sendiri yang sedang dalam proses ekspansi agar bisa lebih besar. Aku juga memiliki tempat tinggal yang cukup nyaman untuk kita semua," tambah Jhonatan, berusaha meyakinkan ibunya."Kalau kalian pindah ke Singapura, bagaimana dengan nasibku?" Joyce tiba-tiba terlihat pas
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka