"Jho, apa kabarmu?" Lilian memberikan diri menelepon sang pujaan hati setelah sekian lama tidak menghubungi."Hai, Lily. Maaf ya aku jarang menghubungimu. Kau tahu sendiri 'kan jika sejak saat itu aku sibuk merawat ibuku." Jhonatan terdengar menyesal dari ujung telepon.Lilian tetap mencoba untuk tersenyum walaupun sebenarnya hatinya sangat sedih."Tidak apa-apa, Jho. Aku bisa mengerti. Oh iya, apa yang sedang kau lakukan?""Aku sedang mengecek laporan perusahaan. Sejujurnya karena aku untuk sementara tinggal di Amerika, pekerjaanku di Singapura jadi terbengkalai."Lilian cukup terkejut. Dia berpikir jika Jhonatan tinggal di Amerika. Dirinya baru mengetahui perihal Jhonatan yang sebenarnya tinggal di Singapura."Oh, jadi kau selama ini bekerja di Singapura?""Iya. Aku belum pernah menceritakannya ya padamu?"Lilian merutuki kebodohannya. Dia yang salah karena tidak bertanya secara detail mengenai Jhonatan."Belum. Mungkin karena kita belum sempat mengobrol banyak. Umm ... kapan kau ad
Lilian merasakan kehampaan di hatinya semenjak bertemu dengan Jhonatan hari itu. Mereka berpisah dengan akhir yang sudah pasti, yaitu tak akan pernah bisa bersatu. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di kamar hotel, meluapkan rasa kecewa."Tuhan, mengapa nasib percintaanku seperti ini?"Walaupun dirinya sudah yakin untuk kembali ke Hungaria, tapi sejujurnya ada sedikit keraguan di sana. Dia takut ibunya menjodohkannya dengan sembarang pria yang tak sesuai dengan kriterianya.Bahkan akhir-akhir ini, ibunya selalu mengirimkan profil laki-laki kandidat jodoh untuk Lilian. Lilian diminta untuk memberikan keputusan secepatnya."Ya ampun, tidak bisakah aku bernapas dulu, Ibu?"Dari sekian banyak profil pria yang akan dijodohkan dengannya, ada satu yang menurutnya cukup masuk ke dalam kriterianya. Pria itu berusia tak terlalu jauh dengannya. Profesinya sebagai seorang model dan pegiat fashion.[Kau memilih dia? Baiklah, Nak. Ibu akan atur pertemuan kalian ya. Kau harus segera kembali. Ibu menu
Barbara terkejut dengan ucapan yang dilontarkan oleh Daniel."Da ... dari mana kau mengetahui soal itu?"Daniel tertawa renyah. "Kau lupa jika aku adalah seorang wartawan? Aku adalah paparazi handal. Mencari informasi mengenaimu tidak sulit untukku."Barbara tak dapat berkata-kata. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikan diri serapi mungkin, juga tentang kehamilannya. Salah dirinya karena memutuskan untuk tinggal di apartment lamanya dengan Abby dulu."Jadi ... mengapa kau begitu yakin aku mengandung anakmu? Jangan-jangan ... kau sudah merencanakan semuanya? Iya?"Daniel tersenyum simpul. "Kan sudah kukatakan jika aku akan bertanggung jawab. Aku juga sudah sejak lama menginginkanmu. Syukurlah keberuntungan berpihak padaku sekarang.""Apa maksudmu?" Barbara memandang Daniel dengan tatapan yang sengit."Sepertinya ... kau telah dicampakkan oleh Luther ya?" Daniel sedikit menyindir Barbara.Barbara langsung melotot. Dia tak terima jika dirinya disebut telah dicampakkan oleh Luther. Pad
"Barbara, lebih baik kau mengemasi barangmu. Kita pindah dari sini. Lebih nyaman tinggal di penthouse milikku," ajak Daniel kemudian."Kenapa? Aku nyaman tinggal di sini." Barbara malah balik bertanya.Daniel menyesap minuman dinginnya sejenak. "Iya. Tapi apa kau yakin akan terus tinggal sendirian seperti sekarang? Kau juga pasti tidak memiliki cukup uang untuk bertahan hidup. Makanya kau berupaya mencari pekerjaan."Barbara terasa tertampar di dalam hatinya. Memang benar dia sudah kehabisan uang. Dulu ketika hidupnya masih berjaya, dia sama sekali tidak memikirkan masa depannya sehingga tak memiliki cukup tabungan untuk hidup mandiri.Tiba-tiba, sebuah sentuhan dia rasakan di perutnya. Rupanya Daniel tengah mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit."Sebentar lagi usia kandunganmu menginjak empat bulan. Kau harus lebih sering beristirahat di rumah. Makananmu harus terjamin. Agar tumbuh kembang bayi kita nanti bagus."Barbara sebenarnya ingin menolak sentuhan Daniel di perutnya. Me
Luther merasakan hidupnya hancur. Naik turun bagaikan roller coaster dalam waktu yang sekejap. Padahal dia sedang merasakan bahagia, merasakan jatuh cinta lagi. Tapi dengan mudah juga kebahagiaan itu hilang dari dirinya.Lola, gadis yang dia cintai kini pergi entah ke mana. Penyemangat hidupnya telah hilang. Padahal tinggal selangkah lagi baginya untuk merengkuh bahagia. Dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memohon restu agar dapat menikahi Lola dan menjadikan gadis itu sebagai satu-satunya."Lola ... mengapa kau pergi dariku?" desah Luther frustasi.Jeremy yang saat itu sedang ada bersama Luther, menatap pria itu dengan tatapan yang sangat sedih. Dia sudah berusaha untuk melarang bosnya itu agar tidak terlalu banyak minum, namun rupanya larangan Jeremy sama sekali tak digubrisnya."Bos, sudahlah! Jangan minum lagi!" Jeremy merebut gelas wine kosong yang ada di tangan Luther.Luther terlihat tak senang dengan sikap Jeremy. Dia berusaha untuk merebut gelasnya dari tangan J
Luther kembali pingsan sebelum mereka menyelesaikan permainan panas mereka. Cassandra terlihat kecewa. Padahal dia ingin merasakan kenikmatan hakiki dari surga dunianya bersama Luther pada saat itu."Yah, sayang sekali. Terputus di tengah jalan," ucap wanita itu kecewa. Kini dia menyandarkan kepalanya di dada bidang Luther sambil harus meredakan kembali hasratnya yang masih membara. Luther sepertinya terlalu mabuk sampai-sampai salah mengenali dirinya dengan wanita lain."Ngomong-ngomong, dia menyebut nama Lola. Seingatku ... Lola itu nama salah seorang gadis simpanannya ya? Duh, aku iri sekali pada wanita itu. Sepertinya dia yang paling dicintai oleh Luther."Cassandra berangan-angan indah mengenai kehidupannya jika berhasil menjadi wanitanya Luther juga. Dia akan mendapatkan double kebahagiaan. Selain hasrat biologisnya yang terpenuhi, dia juga akan mendapatkan kehidupan yang terjamin."Bagaimana ya caranya agar aku bisa menjadi salah seorang dari wanita simpanan Luther?"Memikirka
Luther pulang dengan tangan hampa. Awalnya harapan untuk bertemu Lola begitu besar dia rasakan, namun kenyataan berkata lain. Semakin sulit bagi Luther untuk mencari jejak Lola setelah ini."Bos .... " Jeremy merasa sedih. Sepanjang perjalanan kembali, Luther tak berkata apa-apa lagi. Dia paham betul bagaimana hancurnya perasaan sang bos pada saat itu. Makanya ketika Luther sudah sampai di mansion, dia menemani bosnya yang kembali bermabuk-mabukan."Jer, tambah lagi!" pinta Luther cepat.Jeremy menuang wine dengan hati-hati ke dalam gelas kosong milik Luther. Dengan cepat juga, Luther meneguk habis isinya. Jeremy jadi teringat akan hal serupa ketika bosnya baru saja ditinggalkan pergi selamanya oleh Abigail Allen, wanita yang pernah menempati hati Luther."Bos. Saya tahu Anda sedang kecewa. Tapi ... mabuk bukanlah jalan keluar dari segala permasalahan Anda.""Kau tahu apa, Jeremy? Hidupku sudah hancur! Aku ditinggalkan lagi oleh orang yang kucintai! Lalu apa yang harus kulakukan?" se
Cassandra dan Luther kembali ke kantor bersama, membuat semakin banyak pegawai yang menjadikan mereka sebagai bahan gosip. Mereka menduga jika bosnya itu ada hati kepada sang pegawai baru.Jeremy menghadang mereka di pintu masuk."Bos, Anda dari mana saja? Saya bingung mencari Anda ke mana-mana!""Santai, Jer. Tadi aku ada sedikit urusan." Luther menanggapi dengan santai.Jeremy melirik Cassandra yang kini tengah tersipu malu. Jeremy mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun ikut tersenyum."Baiklah, ayo Nona. Lanjutkan kembali pekerjaanmu." Jeremy mengajak Cassandra untuk masuk.Cassandra kini terlihat riang dalam mengerjakan pekerjaannya. Luther diam-diam tersenyum melihat wanita itu sekarang. Dia pun bisa dengan tenang melanjutkan pekerjaannya kembali.Sesekali ingatannya melayang. Dirinya terpikirkan bagaimana dengan Lola saat ini. Apakah gadis itu baik-baik saja di sana? Apakah gadis itu kini sudah bahagia tanpanya?"Bos, saya sudah mendapatkan kabar terbaru dari pihak konstruksi
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka