Lola hanya pergi sebentar untuk membeli beberapa barang kebutuhannya. Hanya saja karena jarak yang ditempuh dengan berjalan kaki, membuat waktu terasa lama. Dia terkejut ketika mendapati Barbara dan Lilian yang mematung di depan rumah."Kau! Dari mana saja, hah?" sembur Barbara yang kesal. "Sudah lebih dari setengah jam kami berdiri di sini, kau dari mana saja? Cepat bukakan pintunya!" Lilian juga meradang.Tanpa memberikan waktu bagi Lola untuk menjelaskan, Lola pun akhirnya membuka pintu mansion. Kedua wanita itu berjalan menghentak mendahului Lola. Barbara menyipitkan matanya, memeriksa kondisi mansion yang beberapa jam telah dia tinggalkan."Kenapa? Kalian mau memeriksa pekerjaanku? Silahkan saja! Aku sudah mengerjakan semuanya!" tantang Lola dengan percaya diri.Lilian berkeliling ke setiap penjuru lantai satu. Begitu pun dengan Barbara. Keduanya sibuk menginspeksi hasil pekerjaan Lola. Sejauh ini, mereka tidak menemukan ada kesalahan dari Lola. Tanpa berbicara lagi, mereka pun
Karena kondisi kamarnya masih belum memungkinkan untuk ditempati, akhirnya Lola pindah ke sofa ruang keluarga untuk tidur. Suasana mansion yang hening ketika malam hari, membuatnya semakin takut. Terlebih mengenai apa yang sudah dia temukan."Apa yang harus kulakukan? Mengapa kalung itu ada di lemariku? Aku sama sekali tidak pernah menyentuh barang berharga milik Lilian. Lalu siapa yang menaruhnya di sana?" Lola masih bertanya-tanya. Pikirannya terus berputar akan kejadian yang terus sama. Dia terlampau bingung bagaimana harus menyerahkan kalung itu kepada Lilian. Sekalipun itu bukan ulahnya, namun karena bukti sudah ada di tangan, dia pasti akan tetap disalahkan terhadap semua yang terjadi."Sudahlah, lebih baik aku istirahat saja. Sekarang sudah menjelang pagi. Besok, mereka pasti masih akan terus menyiksaku. Mungkin aji mumpung karena Luther yang masih tidak ada di mansion."Setelah segala pertimbangan yang membuat pikirannya buntu, akhirnya Lola memutuskan untuk memberikan kalung
Barbara semakin tersudut di hadapan Luther. Dia tak berani menyela sedikit pun perkataan Luther. Hanya kata maaf saja yang terus terucap dari bibirnya."Maaf ... maafkan aku!""Seluruh pihak di San Francisco, bahkan di Amerika ini tak berhenti menyoroti kehidupan pribadi kita. Mereka menganggap, sistem yang aku ambil ini lain daripada yang lain. Makanya, aku tak pernah luput dari perhatian masa," jelas Luther. "Pihak pers akan terus mencari berita, juga mencari celah kesalahan pada kehidupanku."Lola menyimak seluruh perkataan Luther. Dia baru mengetahui jika hidup sebagai seorang Luther, pria berusia matang yang sukses dan memiliki beberapa wanita simpanan itu tidaklah mudah."Ternyata semua terbukti, 'kan? Mereka membuat rumor dan berita jelek mengenai aku untuk dipampang di situs kota!" lanjut Luther lagi. Dia kemudian menatap Lola lekat. "Lola, aku juga tidak menyangka kau se gegabah itu keluar bersama para wanita."Lola merasakan hantaman di hatinya. Dia juga merasakan sebuah per
Luther mengamati Lola dalam diam. Dia sangat tak tega melihat kondisi Lola yang agak kurus setelah lama dia tak melihatnya."Apakah selama ini dia juga makan dengan porsi sedikit? Kulihat badannya bertambah kurus dalam beberapa hari," gumam Luther yang sedang memperhatikan Lola, " ... atau mungkin aku yang kurang memperhatikannya selama ini?"Tiba-tiba Lola bergerak sedikit, mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Tubuhnya gemetar. Luther berpikir jika gadis itu mungkin merasa kedinginan. Dia pun bergegas pergi ke kamar Lola lagi sembari menutup hidung untuk mengambilkan selimut."Aku tak tahu bau busuk itu muncul dari mana. Besok setelah semua selesai, aku akan menyuruh kepala pelayan mengecek dari mana asalnya."Luther pun kembali ke ruang keluarga. Dia menyelimuti tubuh Lola secara perlahan, tak ingin membuat gadisnya terbangun. Setelah yakin Lola merasa nyaman dalam tidurnya, dia pun kembali ke kamarnya lagi karena besok dia harus melakukan sidak terhadap para pelayannya.Eso
"Lalu apakah ada lagi yang memiliki bukti lain untuk disampaikan? Aku membutuhkan banyak sekali bukti untuk bisa menentukan keputusan."Sekarang, koki yang bekerja di mansion lah yang angkat bicara. Luther memberi kode pada sang koki untuk bicara."Tuan, saya ingin memberikan kesaksian. Jadi dalam beberapa hari kemarin selain pelayan, kami para koki juga diperintahkan melakukan hal yang aneh oleh Nyonya Barbara.""Hal aneh? Hal aneh apa itu?" tanya Luther."Nyonya Barbara menyuruh kami untuk membedakan menu makanan antara Nyonya Barbara dan Lilian dengan Nyonya Lola. Nyonya Lola bahkan beberapa kali tidak diberikan makanan oleh mereka," jawab sang koki.Luther kini terlihat melotot seakan tak percaya dengan penuturan kokinya tadi. "Apa? Barbara sampai melakukan hal sejauh itu? Lalu menu makanan apa yang kalian berikan pada Lola beberapa hari ke belakang?""Kami memberikan menu ala pedesaan, Tuan. Sepanci besar sup kacang-kacangan, pasta dan sayuran kaleng. Sup kacang itu harus dihabis
Luther merasakan jantungnya hampir terhenti begitu melihat gadisnya terkapar tak sadarkan diri saat dia kembali. Ketakutannya tiba-tiba hadir dan menghantui. Luther mendadak pucat melihat Lola yang masih tak merespon panggilan darinya."Lola! Bangunlah! Hei, apa yang terjadi?" teriak Luther panik.Luther memperhatikan sekelilingnya. Di mansion itu tak dia temui Barbara maupun Lilian. Sementara di sekitar Lola, terdapat banyak alat kebersihan. Rupanya Lola masih memaksakan diri untuk membersihkan mansion dikala kondisi tubuhnya sedang tidak prima.Tanpa banyak berkata lagi, Luther langsung mengangkat tubuh Lola yang terkulai itu, menggendongnya dan membawanya menuju ke kamarnya. Lola dibaringkan di atas tempat tidur Luther yang nyaman. Luther memeriksa suhu tubuh Lola yang ternyata sangat tinggi saat itu."Hampir empat puluh derajat," gumamnya. "Jeremy, tolong ambilkan aku obat demam dan kompres dingin!""Baik, Bos!" Jeremy langsung berlari mencari kotak P3K yang tersedia di mansion.S
Barbara dan Lilian berdiri dengan gugup di depan pintu mansion. Begitu kembali malam itu, mereka mendapati ada mobil Luther yang sudah terparkir rapi di garasi."Bagaimana ini, Lilian? Aku takut sekali menemui Luther," gumam Barbara sambil terus memainkan jemarinya yang saling bertautan."Aku juga bingung, Barbara. Tapi Tuan Luther tidak mungkin mencurigai kita. Lagipula, dia juga tidak memiliki bukti akan perbuatan kita terhadap Lola," timpal Lilian yang sama resahnya seperti Barbara."Benar juga, tapi tetap saja .... " Ucapan Barbara mendadak terpotong."Ini juga sudah sangat malam. Tuan Luther mungkin saja sudah beristirahat di kamarnya. Kita masih memiliki waktu untuk mengarang alasan." Lilian memberikan pendapatnya.Barbara terdiam meskipun dia masih tidak merasa tenang. Sampai Lilian harus kembali meyakinkan Barbara setelahnya."Jadi percaya saja lah! Jangan terlalu takut! Kalau kau takut terus, kita tidak akan pernah bisa masuk ke dalam mansion. Kau mau tidur di sini semalaman?
"Kumohon! Maafkan kami, Luther!" Barbara mulai panik dan semakin memohon kemurahan hati Luther. "Tuan Luther, tolong ampuni kami!" Lilian juga berusaha meminta maaf."Pergi kalian semua sekarang dari ruangan ini! Aku tak mau melihat kalian!" perintah Luther dengan sangat keras. "Jangan pernah menggangguku, menyapaku, apalagi menjilatku!""Luther!" Barbara rupanya merasa sangat keberatan dengan ucapan Luther tadi."Apalagi jika kalian kembali berbuat onar dan menyakiti Lola seperti saat ini, aku benar-benar tak akan mau melihat kalian selamanya!" tambah Luther tanpa melihat kedua wanita itu selamanya. "Pergi kalian!"Barbara dan Lilian sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menyela. Mereka langsung meninggalkan ruangan kerja Luther menuju ke kamar mereka masing-masing. Sementara Luther terlihat benar-benar kalut saat ini."Sial! Kenapa akhirnya jadi seperti ini?" gerutunya.***Lola mengerang kecil, perlahan membuka mata. Dia mendapati ruangan temaram yang berbeda dengan kamar milikny
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka