"Kumohon! Maafkan kami, Luther!" Barbara mulai panik dan semakin memohon kemurahan hati Luther. "Tuan Luther, tolong ampuni kami!" Lilian juga berusaha meminta maaf."Pergi kalian semua sekarang dari ruangan ini! Aku tak mau melihat kalian!" perintah Luther dengan sangat keras. "Jangan pernah menggangguku, menyapaku, apalagi menjilatku!""Luther!" Barbara rupanya merasa sangat keberatan dengan ucapan Luther tadi."Apalagi jika kalian kembali berbuat onar dan menyakiti Lola seperti saat ini, aku benar-benar tak akan mau melihat kalian selamanya!" tambah Luther tanpa melihat kedua wanita itu selamanya. "Pergi kalian!"Barbara dan Lilian sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menyela. Mereka langsung meninggalkan ruangan kerja Luther menuju ke kamar mereka masing-masing. Sementara Luther terlihat benar-benar kalut saat ini."Sial! Kenapa akhirnya jadi seperti ini?" gerutunya.***Lola mengerang kecil, perlahan membuka mata. Dia mendapati ruangan temaram yang berbeda dengan kamar milikny
"Luther," panggil Barbara. "Aku tahu kau masih tidak ingin menemuiku. Tapi, apakah harus seperti ini?"Luther melirik Barbara dengan tatapan kesal. "Maksudmu?""Ya ... maksudku begini. Kau marah padaku dan Lilian. Kami menerimanya. Meskipun begitu, apakah harus berlarut-larut seperti ini? Hanya karena seorang gadis asing yang baru saja masuk ke dalam mansion ini?" lanjut Barbara dengan cukup berhati-hati."Hanya? Kau pikir, dia itu hanyalah seorang gadis asing dengan asal usul tidak jelas?" Luther terlihat tersinggung oleh perkataan Barbara."Kalau memang dia bukan sembarang gadis, coba katakan padaku. Siapa dia? Dari mana asalnya? Siapa keluarganya? Apakah sebanding denganmu? Lalu apa artinya dia untukmu?" Barbara seolah mempertanyakan kebenaran mengenai Lola.Luther menepuk keningnya sendiri. Padahal beberapa bulan lalu dia sudah menegaskan pada Barbara jika dia tak ingin Barbara mempertanyakan lagi mengenai hal itu. Terlebih Lola itu adalah gadis yang dia beli seharga satu juta dol
Barbara mulai menyusun rencana dari hal terkecil sampai yang terbesar. Hal yang terkecil adalah dia akan tetap menjalin hubungan baik dengan Lilian, karena setidaknya itu bisa sedikit menghindari konflik antara mereka di masa depan. Kemudian, dia akan tetap bersikap patuh dan baik seperti Barbara pada biasanya."Ya. Dengan begitu, bisa saja Luther akan lebih mempercayaiku. Dia akan kembali mempercayakan semuanya ke tanganku."Akibat dari perbuatannya dan Lilian sebelumnya, Luther mulai menghandle semua urusan sendirian. Urusan mansion yang biasanya dihandle oleh Barbara, kini diambil alih semuanya oleh Luther. Itulah yang membuat Luther terlihat sangat sibuk dan tak jarang begitu kelelahan."Sebisa mungkin aku juga harus mengompori Lola, supaya melakukan berbagai kesalahan di hadapan Luther," lanjutnya. "Jika semua sesuai rencana, aku akan bisa melakukan gebrakan terakhir. Cara kotor yang aku rasa ampuh untuk membuat Luther bertekuk lutut."Barbara menghempaskan dirinya di tempat tidu
Barbara menghubungi seorang kenalan lama yang dulu pernah bekerja sama dengannya. Tak lama, orang itu mengangkat telepon dari Barbara. Barbara sangat antusias untuk menghubungi kenalannya itu."Halo, Daniel! Apa kabarmu? Masih ingat denganku?""Barbara? Barbara Thompson? Wah, apa kabar? Tumben sekali menghubungiku lagi. Kupikir hidupmu sudah sangat bahagia karena telah berhasil menjadi Nyonya Quinn," ujar seorang laki-laki dari ujung telepon yang terkesan sarkas.Barbara menjadi merasa serba salah. Dia langsung gugup seketika."Daniel, tolong jangan bahas hal ini lagi. Aku menghubungimu karena ada hal penting yang harus aku katakan. Aku memiliki pekerjaan lagi untukmu.""Pekerjaan? Pekerjaan kotor seperti beberapa puluh tahun yang lalu?" sahut Daniel secara blak-blakan. Barbara dengan cepat langsung memotong pembicaraan itu. Apalagi ada Lilian yang turut mendengarkan percakapan mereka berdua."Daniel! Tolong, aku tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi. Aku akan menjelaskan semuanya k
Bahu Barbara naik turun. Dia baru saja tersadar jika sekarang masih berada di restoran. Barbara yang merasa gugup langsung meminta maaf pada semua orang yang ada di sana. Ketika suasana sudah kembali terkendali, Daniel melanjutkan lagi perkataannya."Kenapa? Kau benar-benar tidak ingin membahas hal itu? Jangan kau lupa, kau tidak bisa menutup mata atas semua hal yang telah terjadi. Aku mengetahui semua rahasiamu dan segala kebenaran yang terjadi sebenarnya."Barbara mendelik tajam ke arah Daniel. Tangannya masih terlipat di dada, namun napasnya sudah kembali normal beraturan."Sudah kuduga, tidak ada yang namanya persahabatan sejati antara pria dan wanita. Lupakan semua perasaan omong kosong itu. Aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman lama."Daniel kini melotot pada Barbara. "Omong kosong? Itu semua bukan omong kosong, Barbara! Jangan hanya karena priamu itu lebih segalanya dari aku, makanya kau menutup mata dan menolak perasaanku!"Barbara sangat merasa jemu dengan semua hal ya
Lola memberanikan diri untuk bersikap nekat. Dia pun bergegas pergi ke kamar dan membawa kartu kredit milik Luther untuk berkeliling ke wilayah Fillmore Street. Penampilannya saat itu tidak begitu mencolok. Dia sengaja berpakaian biasa agar tidak terlalu mengundang perhatian."Apa yang harus kulakukan lebih dulu ya? Mungkin sedikit berfoto-foto untuk dokumentasi pribadi?" Lola memutuskan.Akhirnya Lola mengeluarkan telepon genggam tipisnya dan memulai mode kamera. Dia memotret dirinya sendiri dengan latar jejeran rumah mansion mewah yang berada di belakangnya. Lola tak peduli jika dianggap kampungan, karena memang pada dasarnya dia adalah orang desa."Hasilnya bagus. Aku ingin sekali mempostingnya di media sosialku. Tapi aku takut jika keberadaanku diketahui oleh keluargaku, khususnya ayah tiriku."Lola akhirnya berjalan lagi menyusuri kawasan Fillmore. Dia mencoba melakukan windows shopping ke berbagai butik pakaian hits di sana. Sesekali mengagumi beberapa model pakaian yang menurut
Lola masih mematung, tak bisa berkata-kata. Wanita selingkuhan Max langsung angkat bicara, mengkonfirmasikan apa yang sudah Max katakan sebelumnya."Ya. Aku juga hadir di pesta itu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, jika wanita ini hadir di pesta sosialita dengan tampilan konyol dan memalukan! Aku jadi penasaran, siapa pria aneh yang berminat untuk menjadikannya wanita simpanan?"Wanita itu tertawa meremehkan Lola. Max juga ikut menertawakan mantan kekasihnya itu."Ya, pria itu pasti buta! Mau-maunya menjadikanmu sebagai wanita simpanan! Dilihat dari segi mana pun, Helena lebih unggul darimu! Dia wanita berkelas, tahu bagaimana harus menyenangkan pasangannya. Berasal dari keluarga mapan sepertiku. Tentunya tidak kaku dan membosankan sepertimu!"Lola bagai terkena hantaman mental secara bertubi. Bahkan sampai detik ini, walaupun hubungan di antara keduanya sudah resmi berakhir, namun Max masih juga menggoreskan luka dan penghinaan di hati Lola, bersama dengan wanita selingkuhan
Lola membeku di tempatnya. Dia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan yang Luther telah lontarkan sebelumnya pada dirinya. Luther mendelik, semakin yakin jika ada sesuatu yang telah disembunyikan oleh Lola terhadap dirinya."Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu, Lola? Kau sudah pernah ... bercinta dengan ayah tirimu sendiri?" Luther menggeram, membuat Lola sangat ketakutan. Tubuh yang sebelumnya membeku kini menggigil kembali. Air mata perlahan meleleh di wajah Lola."A ... aku .... " Lola masih tak kuasa untuk berucap, hanya air mata yang berbicara saat itu. Hal itu malah membuat Luther merasa semakin tidak puas."Katakan padaku! Kau benar-benar sudah bercinta dengan ayah tirimu? Kau sudah tidak perawan lagi?" desak Luther yang kini mencengkeram dagu Lola dengan sangat keras.Lola terpaksa mengangguk, membenarkan pertanyaan Luther tadi. Luther sangat marah besar pada saat itu. Pikirannya bergejolak. Dia ternyata telah tertipu oleh sang munchikari yaitu Virginia yang telah menjua
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka