Walaupun Lola tidak menyukai makanan yang dihidangkan pelayan pada hari itu, tapi dia berusaha untuk menghabiskan makanannya. Sejak kecil dia sudah diberikan prinsip untuk tidak membuang-buang makanan walaupun rasanya tidak enak.Lola menjadi orang terakhir yang meninggalkan meja makan. Dia pun akhirnya memutuskan kembali ke kamar. Dia terkejut ketika begitu datang, kondisi kamar itu sangat berantakan. Seperti ada yang sengaja membuat kamar itu penuh kotoran."Siapa yang melakukan ini semua?" tanya Lola tak percaya.Lola mengecek ke sekelilingnya. Justru tempat yang lain terlihat sangat bersih. Hanya kamarnya saja yang kondisinya terlihat mengenaskan."Pasti ada yang sengaja mengerjaiku," gumamnya lagi.Dengan tubuh yang gemetar menahan amarah, Lola pun keluar kamar dan mencari sosok pelayan yang biasanya selalu membersihkan kamarnya. Pada akhirnya dia menemukan pelayan itu. Sang pelayan baru saja turun dari lantai empat."Hei, kau!" seru Lola.Pelayan itu kini menampakan wajah masam
Lola kembali ke kamarnya lagi. Dia berpapasan dengan pelayan yang bertugas membersihkan kamarnya. Tapi begitu melihatnya, pelayan itu kembali menjatuhkan lap pel dan sapu ke hadapan Lola."Apa maksudmu berbuat seperti ini?" protes Lola keras."Kau bisa membersihkan kamarmu sendiri. Jadi aku memberikan alat bersih-bersih ini untukmu," jawab pelayan itu enteng."Apa? Kenapa tidak kau yang membersihkan kamarku? Itu bukannya sudah menjadi pekerjaanmu setiap hari? Kau dibayar untuk itu, bukan?" Lola kembali mempertanyakan dengan sengit.Pelayan itu menyunggingkan senyuman meremehkan. "Siapa bilang aku dibayar untuk membersihkan kamarmu? Tidak. Aku justru dibayar untuk membersihkan semua bagian mansion, kecuali kamarmu."Lola terkejut di tempatnya. Dia masih mempertanyakan di dalam pikirannya, apa benar memang seperti itu? Belum sempat pertanyaannya terjawab, pelayan itu kembali melengos begitu saja meninggalkannya sambil tertawa puas. Lola merasa ini semua sudah tidak benar."Pasti kedua w
Lola berpikir masalahnya hari itu sudah selesai dengan dia berani mengambil tindakan untuk memasak sendiri. Malam itu, masalah menu makan malam sudah terselesaikan.'Tapi aku yakin jika mereka pasti akan berusaha mencari gara-gara yang lain,' batin Lola. 'Aku tetap harus berhati-hati.'Benar sekali dugaan Lola. Para wanita itu memang sangat cerdik dan gigih mencari berbagai cara untuk menyulitkan Lola. Pagi itu, Lola sama sekali tidak diberikan sarapan. Lola kembali memasak makanannya sendiri. Kali ini dia hanya diberikan sedikit bahan untuk memasak.'Masih berusaha menyulitkan aku rupanya. Tapi aku tetap bisa makan walaupun kalian memberiku sedikit bahan makanan.' Lola kembali membatin.Dia membuat mashed potato dan pasta seadanya, ditambah sedikit sayur kaleng untuk menambah menu makan paginya. Dia memang tidak yakin jika makanan saat itu bisa mengenyangkan perutnya. Tapi Lola bersyukur dirinya masih bisa makan.Selesai makan, dia kembali menuju kamarnya. Kali ini, sangat ajaib. Kam
"Apa maksudmu? Kau menuduh aku sudah menjual kehormatanku kepada pria hidung belang?" Lola kini mulai semakin emosi akibat tuduhan dari sang mantan yang tak berdasar.Max memberikan seringai meremehkan, "Iya, lalu apa lagi? Tidak mungkin seorang Lola memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang mewah jika bukan hasil dari perbuatan kotor."Lola masih berusaha untuk bersabar. Tubuhnya mulai gemetar karena amarah yang tertahan. Max merasa tuduhannya itu benar akibat bungkamnya Lola saat ini."Sudah, kau mengaku saja lah! Lagipula kau sudah bercinta dengan ayah tirimu. Mudah bagimu untuk melakukan pekerjaan kotor seperti itu. Sahabatmu juga wanita pemuas nafsu yang akan dengan mudah menyeretmu ke pekerjaan yang sama!"Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Max. Lola melayangkan tamparannya dengan sekuat tenaga akibat harga dirinya yang terinjak-injak."Jaga ucapanmu! Kau boleh mencampakkanku, tapi tidak untuk merendahkanku!" geram Lola dengan mata yang sudah berkaca-kaca.Di saat it
"Hei, jangan memotret sembarangan!" Lola memekik, berusaha menutupi wajahnya yang sempat beberapa kali terpotret secara diam-diam."Santai saja. Gayamu unik, Nona. Kau akan menjadi sorotan para sosialita di kota ini," ujar wanita itu.Setelah sibuk memotret, wanita itu pun akhirnya pergi. Lola benar-benar tak tahan dengan keadaan ini. Apalagi ketika telinganya kembali menangkap ucapan jahat yang ditujukan untuk dirinya saat itu."Wanita itu katanya adalah simpanan Tuan Luther yang baru? Aku merasa itu tidak mungkin. Dibandingkan Nona Barbara dan Lilian, wanita itu tidak ada apa-apanya.""Benar, apa yang sebenarnya Tuan Luther pikirkan? Dilihat dari sisi mana pun, wanita itu tidak sebanding dengan kedua wanita sebelumnya. Tak kusangka, seorang pengusaha properti besar Amerika menjatuhkan standar tipe wanitanya.""Apalagi sekarang penampilan wanita itu nampak konyol dan salah kostum sekali. Dia menodai keglamoran pesta komunitas ini. Sungguh sangat memalukan!"Lola yang sebelumnya sudah
Lola tak tahu kapan Luther akan kembali. Bertemu saja sudah sangat jarang bagi mereka. Selama ini dia hanya mengetahui kabar dari para wanita lain mengenai Luther. Ketika Luther tak ada, dia harus mengalami penyiksaan seperti saat ini."Kau sengaja makan lambat supaya tidak jadi bekerja? Jangan harap kau bisa terhindar dari hukumanmu!" gertak Barbara pada Lola yang masih santai menghabiskan makanannya.Lola tak menggubrisnya. Dia sebenarnya sudah enggan jika harus membalas ucapan Barbara. Apa pun yang dia kemukakan selalu akan dianggap salah dan dianggap sebuah bangkangan."Barbara, sini!" panggil Lilian dari jauh.Barbara langsung menjauhi Lola dan menghampiri Lilian. Entah apa yang kedua wanita itu bicarakan karena keduanya sangat serius membicarakan sesuatu itu. Lola hanya bisa mengamati dari jauh. Tapi dia bisa berkesimpulan jika sebenarnya mereka berdua itu sedang membicarakan rencana untuk menyiksa Lola pada hari itu.Lola meminum air putih yang banyak karena dia harus memulai pe
Lola hanya pergi sebentar untuk membeli beberapa barang kebutuhannya. Hanya saja karena jarak yang ditempuh dengan berjalan kaki, membuat waktu terasa lama. Dia terkejut ketika mendapati Barbara dan Lilian yang mematung di depan rumah."Kau! Dari mana saja, hah?" sembur Barbara yang kesal. "Sudah lebih dari setengah jam kami berdiri di sini, kau dari mana saja? Cepat bukakan pintunya!" Lilian juga meradang.Tanpa memberikan waktu bagi Lola untuk menjelaskan, Lola pun akhirnya membuka pintu mansion. Kedua wanita itu berjalan menghentak mendahului Lola. Barbara menyipitkan matanya, memeriksa kondisi mansion yang beberapa jam telah dia tinggalkan."Kenapa? Kalian mau memeriksa pekerjaanku? Silahkan saja! Aku sudah mengerjakan semuanya!" tantang Lola dengan percaya diri.Lilian berkeliling ke setiap penjuru lantai satu. Begitu pun dengan Barbara. Keduanya sibuk menginspeksi hasil pekerjaan Lola. Sejauh ini, mereka tidak menemukan ada kesalahan dari Lola. Tanpa berbicara lagi, mereka pun
Karena kondisi kamarnya masih belum memungkinkan untuk ditempati, akhirnya Lola pindah ke sofa ruang keluarga untuk tidur. Suasana mansion yang hening ketika malam hari, membuatnya semakin takut. Terlebih mengenai apa yang sudah dia temukan."Apa yang harus kulakukan? Mengapa kalung itu ada di lemariku? Aku sama sekali tidak pernah menyentuh barang berharga milik Lilian. Lalu siapa yang menaruhnya di sana?" Lola masih bertanya-tanya. Pikirannya terus berputar akan kejadian yang terus sama. Dia terlampau bingung bagaimana harus menyerahkan kalung itu kepada Lilian. Sekalipun itu bukan ulahnya, namun karena bukti sudah ada di tangan, dia pasti akan tetap disalahkan terhadap semua yang terjadi."Sudahlah, lebih baik aku istirahat saja. Sekarang sudah menjelang pagi. Besok, mereka pasti masih akan terus menyiksaku. Mungkin aji mumpung karena Luther yang masih tidak ada di mansion."Setelah segala pertimbangan yang membuat pikirannya buntu, akhirnya Lola memutuskan untuk memberikan kalung
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka