Dahlia terduduk lemas di sofa, air matanya kini mulai mengalir memikirkan nasib rumah tangganya. Tak pernah terbayangkan oleh Dahlia, jika ia harus benar-benar bercerai dari Aditya.
'Apakah pernikahan yang kuharapkan bisa bertahan seumur hidup atau sampai kematian memisahkan, hanya bisa bertahan selama lima tahun?' kata Dahlia dalam hatinya. 'Haruskah aku menyerah setelah sekian lama berjuang dan bertahan dalam pernikahannya ini?' pikir Dahlia. Tahun ini adalah tahun kelima pernikahan Aditya dan Dahlia. Dahlia sangat bersyukur karena Aditya selama ini adalah suami yang baik dan bertanggung jawab. Kondisi ekonomi mereka pun cukup baik. Aditya dan Dahlia sudah memiliki rumah sendiri dan sebuah mobil. Meskipun Aditya dan Dahlia belum dikaruniai momongan, namun Dahlia berusaha menerima dan tetap mensyukuri semua yang terjadi. Sebenarnya saat ini Dahlia mulai merasa nyaman menjalani hari demi hari. Setidaknya, kini ibu mertua nya tidak pernah menyinggung dirinya lagi tentang Dahlia yang tak kunjung hamil. Aditya pun terlihat bisa memahami dan tidak pernah meributkan masalah itu. Di awal-awal tahun pernikahannya, ibu mertua Dahlia terus mendesak Dahlia agar berusaha cepat hamil. Dahlia memahami keinginan ibunda Aditya itu, namun seringkali pertanyaannya terkesan memojokkan dan terkesan menyalahkan Dahlia. Dahlia menjadi sangat risih dan tertekan setiap kali harus berjumpa dengan ibu mertuanya itu. Belum lagi, Dahlia harus meminum segala obat, jamu, dan mencoba mengikuti semua metode yang disarankan ibu mertuanya itu. Dahlia harus meminum aneka jamu yang membuatnya mual dan ingin menangis setiap kali meminumnya. Tak terhitung berapa kali dalam malam-malam yang sepi Dahlia menangis di dalam kamarnya, merasa tak berdaya dan hanya mampu menguntai doa untuk kerinduannya mendapatkan seorang bayi pelengkap kebahagiaan rumah tangganya. Di saat Dahlia mulai merasa tenang menjalani hari - harinya, tanpa desakan ibu mertua dan suaminya itu, ternyata justru itulah awal bencana rumah tangganya. Sepanjang malam itu Dahlia tidak dapat memejamkan mata untuk tidur walaupun sejenak. Selama beberapa hari, ia terus berpikir dan sangat penasaran, apa yang membuat suaminya berubah begitu drastis. Akhirnya, Dahlia membulatkan tekad, ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dahlia akan mendatangi sang suami di rumah dinas nya, tentu tanpa memberitahu suaminya terlebih dahulu. Dahlia menghubungi rekan kerja suaminya dan meminta alamat rumah dinas suaminya itu. Awalnya, rekan kerja Aditya ragu dan tidak mau memberikan alamat itu. Dahlia pun menjadi semakin curiga, seakan ada yang berusaha ditutupi oleh rekan kerja Aditya dari Dahlia. Dahlia terus mendesak, sampai akhirnya teman suaminya itu memberikan alamat rumah dinas Aditya pada Dahlia. Berbekal alamat rumah yang telah didapatkannya, Dahlia nekat mendatangi rumah itu. Dahlia berangkat siang hari dari rumahnya dengan menyewa sebuah mobil. Sore hari sekitar pukul enam Dahlia sudah ada di dekat rumah yang dituju itu. Berulangkali Dahlia memastikan nomor yang tertera di dinding itu, seperti alamat yang telah dicatatnya. Rumah minimalis itu tampak sepi, sepertinya Aditya memang belum pulang bekerja. Dahlia sengaja menunggu di luar rumah sampai Aditya datang. Dahlia ingin menguntit Aditya selama dua hari ke depan, melihat apa saja aktivitas suaminya itu.Cukup lama Dahlia menunggu Aditya pulang, sampai kantuk menyerangnya. Untungnya sopir mobil sewaan itu cukup sabar mengikuti kemauan Dahlia, menunggu tanpa kepastian. Saat hampir saja Dahlia tertidur, ia dikejutkan oleh suara klakson mobil. Dahlia sangat mengenali suara mobil itu adalah mobil Aditya. Mobil itu berhenti di depan rumah dinas itu, persis di depan mobil yang dinaiki Dahlia. Dahlia segera melupakan rasa kantuknya. Ia menatap suaminya turun dari mobil. Anehnya, Aditya membawa sebuah buket bunga dan sebuah plastik di tangannya. Dahlia berusaha memperhatikan Aditya dengan seksama. Seketika mata Dahlia membulat dan mulut nya menganga, ketika melihat seorang wanita muda yang keluar dari rumah itu. Ternyata, ada orang di dalam rumah itu sejak tadi. Wanita muda itu menyambut Aditya dengan senyum dan pelukan hangat. Dengan manja, ia bergelayut di lengan Aditya dan tersipu malu melihat bunga di tangan Aditya. Mereka terlihat sangat mesra dan romantis. Aditya pun terlihat bahagia dan membelai rambut wanita muda itu, serta menghadiahinya dengan sebuah kecupan di keningnya. Dahlia menatap adegan mesra itu dengan geram. Jantung Dahlia berdetak kencang, nafas nya memburu dan tangannya terkepal kencang. Sang sopir seakan mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Sopir itu menatap Dahlia dengan iba dan berkata. "Ibu ga apa-apa? Yang sabar ya, Bu,"Dahlia sudah tidak tahan, ia turun dari mobil itu dan berjalan ke arah Aditya dan wanita itu dengan emosi membuncah. Aditya terkejut melihat Dahlia ada di hadapannya. Spontan ia melepaskan pelukannya dari wanita di sampingnya itu. Sementara wanita itu menatap bingung pada Dahlia dan Aditya bergantian. "Dahlia, kamu.." kata Aditya. Plakk... Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aditya. Tamparan yang sangat keras, sehingga membuat jejak merah di pipi Aditya. Dahlia pun merasa tangannya panas dan sakit. "Hei, gila kamu ya?" kata wanita muda itu pada Dahlia. Dahlia memelototi wanita itu dengan sangat geram, mengangkat tangan nya bersiap akan menamparnya juga. Namun, wanita itu segera berlindung di balik tubuh Aditya. "Apa yang Mas lakukan? Siapa dia?" tunjuk Dahlia ke wajah wanita itu. Aditya memegang pipinya yang terasa sakit akibat tamparan Dahlia. "Mas, kamu ga apa-apa? Siapa sih wanita ini Mas? Kenapa datang-datang langsung menamparmu seperti ini?" tanya wanita itu pada Aditya. "Ternyata ini yang kamu lakukan di belakangku, Mas. Tega kamu, Mas!" kata Dahlia.Dahlia, tolong dengarkan penjelasanku dulu." kata Aditya sambil berusaha menenangkan Dahlia. "Penjelasan apa Mas? Ternyata kecurigaanku selama ini benar, sikapmu berubah padaku karena selingkuhanmu ini, kan?" tanya Dahlia dengan sangat marah. "Dahlia, cukup! Beri kesempatan aku bicara. Kita masuk ke dalam dulu, malu dilihat semua orang," kata Aditya berusaha menyentuh lengan Dahlia. "Malu? Kamu masih tahu apa artinya malu, Mas? Setelah apa yang kamu lakukan ini? Kamu bilang aku ini istri tidak tahu diri. Lalu kamu apa? Pria hidung belang?" kata Dahlia sambil menepis tangan Aditya. "Mas, beri tahu dia kalau aku.." kata wanita itu. "Diam, Sinta!" bentak Aditya. "Oo, namanya Sinta? Kamu wanita tidak tahu diri, pengganggu rumah tangga orang. Sudah tidak laku kamu, ya? Sehingga kamu harus menggoda suami orang?" kata Dahlia dengan sinis pada Sinta. Wanita bernama Sinta itu langsung memasang wajah tidak suka pada Dahlia dan mendengus kesal. Hampir saja dia membalas perkataan Dahlia it
"Ibu," kata Sinta dengan manja dan lega, seolah pertolongannya sudah datang. Dahlia belum juga mau melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Sinta. Dahlia berpikir, biar saja kali ini semua menilai dirinya tidak tahu malu, atau tak berpendidikan karena menyerang Sinta seperti itu. Paling tidak, ia bisa menumpahkan kemarahan dan kekesalan pada wanita tidak tahu malu itu. Siapa yang tidak geram melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain di depan matanya? Dahlia baru mengerti bahwa selama ini dia dibohongi oleh suami dan ibu mertuanya. Dahlia merasa dirinya sangat bodoh dan juga begitu polos, sehingga ia sangat mempercayai suaminya dan dikhianati dengan begitu jahatnya. Kali ini Dahlia tidak bisa pasrah dan diam saja menerima perlakuan seperti itu. "Hentikan, Dahlia!" teriakan ibu mertuanya itu membuat Dahlia menoleh dan menatap wanita paruh baya itu. Wanita yang selama lima tahun ini dianggap oleh Dahlia sebagai ibunya sendiri. Sepanjang pernikahannya dengan Aditya, sang ibu me
"Bu, kita kemana ini?" tanya sopir mobil itu setelah melihat Dahlia sudah agak tenang. "Maaf Bapak harus menunggu lama, kita pulang saja, Pak. Kita kembali ke rumah saya tadi. Besok tolong Bapak jemput saya dan antar saya ke Semarang ya, Pak," kata Dahlia. "Baik, Bu." jawab sopir itu. Sopir itu melihat Dahlia dengan perasaan campur aduk, bisa merasakan kesedihan Dahlia, karena ia juga memiliki seorang anak perempuan yang baru saja menikah. Sopir itu berdoa dalam hati, agar kejadian pahit yang baru saja dilihatnya tadi tidak terjadi pada putrinya. "Bu, yang sabar dan ikhlas ya. Saya berharap Ibu mendapatkan jalan keluar terbaik nantinya. Saya yakin Ibu pasti kuat dan bisa melewati semua ini," kata sopir itu pada Dahlia dengan wajah prihatin. "Terimakasih ya, Pak," kata Dahlia sambil mengusap air matanya yang mengalir lagi. Dahlia mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Hari mulai gelap, ditambah rintik hujan yang mulai turun, seperti hati Dahlia yang sedang sendu dan menang
Menjelang siang, Dahlia sudah tiba di kota Semarang. Biasanya jika pulang ke rumah orang tuanya hatinya akan sangat bahagia karena pasti kerinduan sudah begitu terasa. Tapi kini saat melewati jalan dan tempat-tempat yang dikenalinya, hatinya terasa perih. Semakin mendekati rumahnya, Dahlia semakin ingin menangis. Tapi Dahlia harus tegar, tidak boleh tepuruk di depan bapak dan ibunya. Dahlia sangat sedih dan tidak bisa membayangkan reaksi orang tuanya saat melihat Dahlia pulang dan mengatakan bahwa ia akan bercerai. Semoga saja orang tuanya kuat menerima berita menyedihkan dan mengejutkan ini. Selama ini Dahlia selalu mengatakan kepada orang tuanya bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Bahkan, Dahlia menutup rapat semua perlakuan mertuanya pada dirinya. Dahlia turun di depan rumahnya, ia memandang ke rumah sederhana itu, tak banyak perubahan sejak dia terakhir kali mengunjunginya. Dahlia membayar biaya sewa mobil dan berterimakasih pada sopir mobil itu. Lalu Dahlia berjalan
Setelah tiga hari di rumah, Dahlia mulai lebih tenang dan bisa berpikir jernih. Tidak mungkin dirinya akan terpuruk dan bersedih terus. Sebaliknya Dahlia harus bangkit, kembali merencanakan yang terbaik untuk diri dan masa depannya. Sebelum menikah, Dahlia sempat bekerja di sebuah salon kecantikan. Bahkan sebenarnya karir Dahlia cukup baik. Dua tahun bekerja di salon itu, Dahlia sudah menjadi asisten make up artis. Banyak konsumen yang menyukai riasan Dahlia dan merasa cocok dengan kemampuannya.Setahun setelah menikah, Dahlia masih bekerja di salon itu. Ia suka bekerja di salon itu, karena apa yang dikerjakannya sesuai dengan bakat dan minatnya. Jadi Dahlia tidak merasakan pekerjaannya itu sebagai suatu beban atau melelahkan. Tahun kedua pernikahan, Ibu mertua Dahlia mulai menyuruh Dahlia keluar dari pekerjaannya. Alasannya agar anaknya lebih terurus jika Dahlia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, juga agar Dahlia bisa fokus pada program kehamilannya. Dahlia awalnya menolak dan i
Tak terasa tiga bulan sudah Dahlia dan Aditya berpisah. Kini Dahlia masih menyibukkan diri dengan salon baru nya, sementara Aditya menikmati pernikahannya dengan Sinta. Wajah cantik dan tubuh molek Sinta akhirnya memang bisa membius Aditya. Walaupun awalnya Aditya tidak mencintai Sinta, akhirnya Aditya luluh juga dengan rayuan Sinta. Sinta sangat bahagia karena kini semua gaji Aditya ada di tangannya. Aditya tidak perlu membagi dengan istri pertamanya itu. Hampir setiap hari Sinta menghamburkan uang Aditya, dengan ke salon, perawatan, berbelanja, belum lagi kartu kredit yang hampir terpakai full oleh Sinta. Jujur Aditya pun pusing melihat perilaku Sinta yang berbeda jauh dengan Dahlia yang selalu berhemat dan mengelola keuangan dengan baik. Tapi Aditya tidak mampu berbuat apapun, apalagi Ibu Aditya selalu membela Sinta. Tapi kebahagiaan Sinta dan Aditya tidak berlangsung lama. Suatu hari ada pengumuman di kantor, ada kebijakan dari kantor pusat yang mengejutkan semua karyawan cabang
Aditya sudah tidak bisa membayar angsuran rumahnya. Pihak bank sudah beberapa kali menghubungi Aditya dan menanyakan mengenai pembayaran cicilannya. Namun, karena Aditya tetap tidak mampu membayar sampai batas waktu yang ditentukan, akhirnya dengan terpaksa rumah itu disita oleh pihak bank. Mobil Aditya juga sudah terjual untuk membayar hutang kartu kredit, hutang lainnya dan biaya hidup Aditya dan Sinta selama Aditya tidak bekerja. Aditya dan Sinta terpaksa mengemasi barang dan pindah ke rumah Ibu Aditya. Sepanjang perjalanan Sinta terus menangis, ia tidak mau tinggal di rumah Ibu Aditya yang menurutnya jelek itu. Akhirnya Aditya dan Sinta sampai ke rumah Ibu Aditya. Baru saja sampai, Sinta berulah. Sinta menatap rumah kecil milik Ibu Aditya dengan tatapan merendahkan dan jijik. "Mas, aku ga mau tinggal di sini," kata Sinta. "Terus kita mau tinggal dimana, Sin? Jalanan? Kolong jembatan? Kamu kan tahu kalau rumah kita baru disita. Sementara kita tinggal di sini dulu, sampai aku d
Aditya terduduk lemas, dalam sekejap hidupnya hancur, segala miliknya hilang lenyap. Semua kebanggaan, kekayaan dan istri pun pergi meninggalkan dirinya. Di saat ia susah dan terpuruk seperti ini, teman-temannya juga seakan menghilang, tidak ada yang mau menolongnya memberi pinjaman atau mencarikan pekerjaan. Ibu Aditya menangis dengan sedihnya melihat kondisi Aditya. Melihat kondisi anak yang selalu dibanggakannya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat tentu membuat hatinya sedih dan hancur. "Ibu puas sekarang?" tanya Aditya. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Ibu Aditya. "Lihat hidupku jadi seperti ini karena Ibu. Ibu yang membuat rumah tanggaku dengan Dahlia hancur. Ibu selalu ikut campur dan mengatur kehidupanku. Lihat menantu pilihan Ibu, yang kata Ibu jauh lebih baik dari Dahlia, apa dia mau bersamaku saat aku jatuh dan susah seperti ini?" kata Aditya. Ibu Aditya menangis lebih keras lagi, ia tidak menyangka tindakannya justru menghancurkan hidup anaknya. Aditya bahkan kini m
Bima tersentak, ia juga terkejut karena baru mendengar kenyataan ini. "Jadi semua ini rencana Mama dan Sandra?" tanya Bima. "Maafkan Mama, Nak," bisik Mama Bima. "Mama.. Kenapa Mama membongkar semua ini?" teriak Sandra yang sudah berdiri di pintu masuk. Sandra terlihat marah dan kesal pada mama mertuanya itu, karena membongkar rahasia itu tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Semua mata beralih menatap Sandra. Sementara Sandra menghampiri Mama Bima dan berusaha meminta penjelasan. "San, Mama merasa waktu Mama tidak akan lama lagi. Mama harus mengatakan semua ini agar Mama bisa pergi dengan tenang. Sejujurnya Mama menyesal selama beberapa tahun ini, karena Mama telah menghancurkan hidup kalian semua," kata Mama Bima. Mama Bima terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang sesak. Berbicara sejenak membuat ia sangat kelelahan. "Sekarang Mama menghancurkan hidupku. Mengapa Mama berbuat seperti itu?" tanya Sandra kesal. "Mama telah memisahkan Bima dengan Dahlia dan anaknya. Mama
Bima akhirnya harus menikahi Sandra. Namun sejak hari itu hidup Bima berubah sepenuhnya. Ia hanya memberikan status pada Sandra sebagai seorang istri, tapi tidak pernah memberikan hatinya. Sandra tinggal dengan Mama Bima, sementara Bima tetap di Semarang. Ketika Sandra mengusulkan untuk tinggal di Semarang bersamanya, Bima menolak mentah-mentah. Bima memilih tidak serumah dengan Sandra. Sandra sadar, ia tidak pernah bisa memiliki hati dan cinta Bima saat dia dalam keadaan sadar. Bima tidak pernah mau menyentuh dirinya, atau tidur bersamanya. Hal itu membuat Sandra sangat terluka, ia melampiaskan rasa kesal dan bencinya pada Bima dengan berfoya-foya, menghabiskan uang pemberian Mama Bima. Semakin lama terlihat jelas sifat dan karakter Sandra yang sebenarnya. Ia tidak lagi menghormati Mama Bima seperti dulu. Sandra sering melampiaskan rasa kesalnya pada Bima dengan menyakiti hati mama mertuanya. Sementara itu, Dahlia berusaha kembali bangkit dan menata hatinya. Dahlia menghabiskan
Sambil menangis Dahlia memasukkan semua pakaian dan barang miliknya dan Nadine ke dalam koper. Ia tidak pernah menduga mimpi buruk itu akan datang kembali dalam hidupnya. Bima selama ini selalu penuh cinta, menyayangi, dan membela Dahlia di hadapan siapapun. Namun ternyata semua hanya kepalsuan, karena Bima menyakiti Dahlia begitu dalam. Dahlia menggantikan pakaian Nadine, lalu menggendong Nadine dengan kain gendongan. Tangan kanan Dahlia menarik kopernya. "Lia, aku tidak bisa hidup tanpamu dan Nadine. Tolong maafkan aku!" Bima memegang tangan Dahlia dan berlutut di hadapannya. "Seharusnya kamu pikirkan semua akibatnya sebelum bertindak, Mas! Kamu tahu kalau aku pernah terluka, dan tidak akan berkompromi pada masalah ini. Aku benci kamu, Mas! Silakan kamu nikahi dia! Aku tidak peduli! Aku tunggu surat cerai darimu," ucap Dahlia. "Nak, kamu bisa tetap menjadi istri pertama Bima. Biarlah Sandra menjadi istri kedua Bima. Bukankah pria bisa mempunyai lebih dari satu istri?" kata Mama
Selama beberapa hari terakhir ini, Dahlia merasa suaminya banyak berubah. Bima sering melamun dan lebih pendiam. Berkali-kali Dahlia melihat raut wajah suaminya yang sendu. Dahlia mencoba bertanya apa yang sedang terjadi, tetapi Bima hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bima belum mau menceritakan masalah yang terjadi. Dahlia berpikir suaminya mungkin hanya merasa lelah, atau ada masalah dalam pekerjaannya. Bima yang biasanya ceria, selalu memeluk Dahlia dengan hangat, bermain dengan Nadine, kini mendadak murung. Seperti ada beban yang berat yang sedang dialami oleh Bima. "Mas, koq malah melamun?" tanya Dahlia. Mereka sedang di meja makan untuk makan malam bersama. Dahlia sudah mengambilkan makanan untuk suaminya dan dirinya sendiri."Oh, tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita makan!" jawab Bima. "Sebenarnya ada masalah apa, Mas? Biasanya Mas selalu menceritakan apapun padaku," kata Dahlia. "Hanya masalah pekerjaan, biasa saja koq. Kamu tenang saja, ya. Jangan cemas!" ujar Bi
Bima meminum teh manis hangat yang dihidangkan oleh Sandra. Setelah itu ia kembali menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. "San, aku pulang saja, ya. Nanti sampaikan pada mama kalau aku datang kemari," kata Bima. Bima baru saja akan bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat dan sangat mengantuk. Detik terakhir ia melihat Sandra tersenyum dan mendekatinya. Bima tak sanggup membuka matanya lagi, ia terkulai di sofa. Sandra segera menopang tubuh Bima. "Mas, kamu kenapa? Kamu lelah, ya? Ayo aku bantu kamu ke kamar," bisik Sandra. Sandra melingkarkan tangan Bima di atas bahunya, lalu memapah Bima. Sandra menghempaskan tubuh Bima ke kasur, lalu sejenak memastikan bahwa Bima sudah benar-benar lelap. Sandra tersenyum senang, rencananya berhasil. Ia harus bergerak cepat sebelum Bima bangun dan sadar. Sandra melepas pakaian Bima, lalu pakaiannya sendiri. Sandra juga mengambil ponselnya dan mengambil foto yang menunjukkan seolah dirinya dan Bima tidur bersam
"Jangan bergurau, Ma! Bima tidak akan mau mengkhianati Dahlia," kata Bima. Mama Bima hanya diam dan melemparkan pandangan ke luar jendela mobil itu. "Ma, besok Bima tidak bisa mengantar Mama ke pemakaman Mama Sandra," ucap Bima. "Kenapa, Nak? Hubungan kita sangat dekat dengan keluarga Sandra. Kita harus menghadiri acara pemakaman itu," kata Mama Bima. Bima harus bekerja, Ma. Besok ada pertemuan penting dengan klien. Kalau Mama memang mau datang, Mama naik taksi saja," ucap Bima dengan nada suara yang mulai meninggi. Mama Bima kembali bungkam, ia sadar sepertinya percuma kalau ia memaksakan kehendak pada Bima. Bima dan mamanya akhirnya sampai di rumah."Ma, Bima langsung pulang, ya," kata Bima sebelum mamanya turun dari mobil. "Hati-hati, ya,"Sepanjang jalan Bima terus memikirkan semua yang terjadi, dan perkataan mamanya. Bima tak habis pikir, mengapa mamanya bisa memberikan ide padanya untuk menikahi Sandra. 'Itu tidak mungkin terjadi! Aku sudah punya Dahlia dan Nadine. Aku s
Bima segera menuju ke rumah mamanya. Perjalanan agak tersendat karena ini adalah jam pulang kerja. Bima ingin sampai secepat mungkin ke rumah mamanya, supaya bisa pulang lebih cepat. "Ma, sudah siap? Ayo kita berangkat!" kata Bima. "Iya, Nak. Sebentar Mama ambil tas dulu," ucap Mama Bima. Lalu Bima dan mamanya naik ke mobil dan menuju ke rumah Sandra. Rumah Sandra sangat ramai dan dipadati oleh para pelayat. Jenazah Mama Sandra memang belum dimakamkan, karena menunggu Kakak Sandra yang masih dalam perjalanan dari luar negeri. Rencananya Mama Sandra akan dimakamkan besok pagi. Mama Bima segera mendekati Sandra dan memeluknya. Mama Bima memang terlihat sudah akrab dan mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Sandra. Sementara itu Bima memilih duduk agak jauh dan berbaur bersama para pelayat yang lain. Wajah Sandra terlihat pucat dan matanya sembab karena banyak menangis. Wajahnya nyaris tanpa riasan dan air mata masih membasahi wajahnya. Mama Bima mengusap lembut bahu Sandra. Sand
Mama Bima dan Sandra baru saja meninggalkan rumah Bima. Dahlia langsung masuk ke kamar dan membaringkan Nadine yang sudah terlelap. Untuk sementara tempat tidur Nadine dipindahkan ke kamar Dahlia dan Bima. Sampai nanti Nadine sudah lebih besar dan bisa tidur sendiri. Dahlia tak berbicara sepatah katapun, tak bisa dipungkiri, hatinya sakit karena perkataan Mama Bima dan tingkah laku Sandra. Dahlia membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding memunggungi Bima. Ia pura-pura memejamkan matanya dan tidur. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Dahlia, Bima mengerti perasaan istrinya itu. "Sayang, kamu sudah tidur?" tanya Bima. Dahlia tidak menjawab pertanyaan Bima itu. Ia tetap memejamkan matanya dan menahan diri sekuatnya agar tidak menangis. Bima mendekat dan memeluk Dahlia dari belakang. "Sayang, aku tahu kamu belum tidur. Sekalipun kamu diam, aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit hatimu," kata Bima. Bima menghadapkan tubuh Dahlia ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapa
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Bima dan Dahlia menikmati kebahagiaan sebagai orang tua. Mereka sangat bahagia melihat Nadine tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Pernikahan Dahlia dan Bima berjalan bahagia dan harmonis. Tanpa terasa, Nadine sudah berumur delapan bulan. Suatu hari, Mama Bima datang ke rumah bersama Sandra. Dahlia berusaha berpikiran positif dan menyambut mereka seperti tamu lainnya. Namun yang membuat Dahlia merasa tidak nyaman adalah ulah Sandra. Awalnya Sandra dan Mama Bima duduk seperti biasa di ruang tamu. "Bima mana, Lia?" tanya Mama Bima. "Oh, sebentar lagi pulang, Ma. Mungkin ini sedang di perjalanan," jawab Dahlia. Saat Dahlia mengambil minuman di dapur, ternyata Sandra masuk ke kamar Dahlia tanpa ijin dan menggendong Nadine yang sedang tidur. Sandra membawa Nadine ke ruang tamu. Dahlia terkejut dan merasa kesal, karena Nadine yang baru saja tertidur kini terbangun lagi dan rewel. Bukannya meminta maaf, Sandra malah tertawa-tawa dan menggend