"Bu, kita kemana ini?" tanya sopir mobil itu setelah melihat Dahlia sudah agak tenang.
"Maaf Bapak harus menunggu lama, kita pulang saja, Pak. Kita kembali ke rumah saya tadi. Besok tolong Bapak jemput saya dan antar saya ke Semarang ya, Pak," kata Dahlia. "Baik, Bu." jawab sopir itu. Sopir itu melihat Dahlia dengan perasaan campur aduk, bisa merasakan kesedihan Dahlia, karena ia juga memiliki seorang anak perempuan yang baru saja menikah. Sopir itu berdoa dalam hati, agar kejadian pahit yang baru saja dilihatnya tadi tidak terjadi pada putrinya."Bu, yang sabar dan ikhlas ya. Saya berharap Ibu mendapatkan jalan keluar terbaik nantinya. Saya yakin Ibu pasti kuat dan bisa melewati semua ini," kata sopir itu pada Dahlia dengan wajah prihatin."Terimakasih ya, Pak," kata Dahlia sambil mengusap air matanya yang mengalir lagi. Dahlia mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Hari mulai gelap, ditambah rintik hujan yang mulai turun, seperti hati Dahlia yang sedang sendu dan menangis saat ini. Sesampainya di rumah Dahlia hanya bisa diam dan merenung. Walaupun sejak sore belum makan, ia tidak merasa lapar, tidak berselera sedikitpun untuk menyentuh makanan atau minuman. Air mata nya tidak dapat berhenti mengalir. Dahlia hanya duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi album foto pernikahan di tangannya. HP Dahlia berdering berulangkali, beberapa pesan masuk pun tak dibacanya. Aditya menghubungi Dahlia, namun Dahlia tak menanggapi. Tak ada kata maaf untuk pekhianatan suaminya itu. Tekad Dahlia bulat, ia tidak mau dimadu, tidak sudi berbagi suaminya dengan wanita lain. Biarlah Dahlia yang mengalah, merelakan suaminya untuk wanita itu. Biarkan mereka tertawa saat ini, Dahlia berjanji dalam hatinya, ia hanya akan menangis malam ini. Esok hari ia tidak akan menghabiskan waktu untuk menangis dan meratapi kehancuran pernikahannya ini. Dahlia melepaskan cincin di jari manis tangan kanan nya. Cincin yang sudah ia kenakan selam lima tahun, pengikat cinta dengan suaminya. Masih teringat jelas janji pernikahan yang Aditya dan Dahlia ucapkan bersama, cincin yang mereka sematkan di jari manis tangan kanan mereka masing-masing. Cincin itu biasanya membuat Dahlia begitu senang, seringkali Dahlia memandangi nya jika rindu pada Aditya. Tapi kini ia hanya merasa jijik, tak ingin memakai benda itu lagi. Dahlia melemparkan cincin itu ke meja rias nya. Cincin itu jatuh berdenting ke lantai. Tanpa sadar Dahlia tertidur karena lelah menangis. Ia baru terbangun ketika sinar mentari sudah masuk melalui celah jendela kamarnya. Dahlia melihat jam di HP nya, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mandi agar terasa lebih segar. Di cermin Dahlia melihat sepasang mata yang bengkak karena lama menangis. Dahlia menghela nafas panjang, ia harus membereskan semua barangnya dan meninggalkan rumah ini. Akhirnya ia harus kembali ke rumah orang tuanya dan mengatakan semuanya dengan jujur. Tidak ada tempat lain untuk pulang dan mengadu bagi Dahlia. Ketika Dahlia mulai menyiapkan koper dan melipat pakaiannya, ia mendengar suara pintu diketuk dengan keras dan cepat. Dahlia segera membuka pintu. Tampak Aditya berdiri dengan wajah kusut, rambut dan pakaiannya berantakan. Dahlia menatap tajam pada pria itu tanpa bicara. Perasaan cinta Dahlia pada Adotya kini hilang dan berganti menjadi sakit hati dan benci."Lia, bisakah kita bicara?" tanya Aditya. "Mau bicara apa lagi, Mas?" tanya Dahlia. "Mas mohon, kita jangan bercerai," jawab Aditya."Apa Mas? Mas punya istri lain di luar sana tanpa aku ketahui. Dan Mas meminta aku menerima semua perbuatanmu dengan ikhlas? Egois sekali kamu, Mas! Kamu pikir aku ini benda mati yang tidak punya perasaan?" kata Dahlia. "Lia, sabar.. Mas tahu Mas sudah melakukan kesalahan besar. Tapi itu bukan kemauan Mas. Kamu dengar sendiri kan? Semuanya kemauan ibu," kata Aditya. "Tapi Mas akhirnya menikmatinya kan? Sinta yang lebih muda dan cantik dari aku, ya kan? Hari ini aku akan pergi dari rumah ini, Mas. Tolong segera urus perceraian kita. Kalau kamu mau bersama Sinta, lepaskan aku, Mas!" kata Dahlia kembali masuk ke kamar dan melanjutkan melipat pakaian dan mengemasi barang yang akan dibawanya. Aditya melihat koper dan semua barang yang sudah siap dibawa oleh Dahlia. Ia tidak menyangka Dahlia akan secepat itu bertindak. "Kamu mau kemana, Lia?" tanya Aditya. "Apa pedulimu sih, Mas? Sejak kamu mengkhianati pernikahan kita, maka bagiku kita bukan lagi suami istri. Hanya tinggal menunggu surat cerai resmi nya saja," jawab Dahlia. Aditya terduduk dan menatap Dahlia dengan lemas. Dahlia mencibir dan mengatakan pada dirinya sendiri, jangan sampai tertipu dengan suaminya itu. Pasti saat ini Aditya hanya pura-pura sedih, padahal dalam hati bersorak girang karena sebentar lagi bisa bersama Sinta tanpa ada penghalang apapun lagi. Suara klakson mobil di depan rumah memecah keheningan di antara Dahlia dan Aditya. Dahlia menarik kopernya dan beberapa plastik barang bawaannya. Mobil yang disewa Dahlia kembali menjemput Dahlia. Dibantu sopir itu Dahlia segera memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil. Aditya hanya berjalan gontai sambil menatap kepergian Dahlia. Sejenak Aditya menatap ke seluruh ruangan rumah itu. Timbul di salam hatinya setiap kenangan saat dirinya dan Dahlia masih bersama, berdua menghabiskan waktu dengan bahagia di setiap ruangan rumah itu. Rumah itu sekarang terasa berbeda, sepi, kosong, dan hampa.Menjelang siang, Dahlia sudah tiba di kota Semarang. Biasanya jika pulang ke rumah orang tuanya hatinya akan sangat bahagia karena pasti kerinduan sudah begitu terasa. Tapi kini saat melewati jalan dan tempat-tempat yang dikenalinya, hatinya terasa perih. Semakin mendekati rumahnya, Dahlia semakin ingin menangis. Tapi Dahlia harus tegar, tidak boleh tepuruk di depan bapak dan ibunya. Dahlia sangat sedih dan tidak bisa membayangkan reaksi orang tuanya saat melihat Dahlia pulang dan mengatakan bahwa ia akan bercerai. Semoga saja orang tuanya kuat menerima berita menyedihkan dan mengejutkan ini. Selama ini Dahlia selalu mengatakan kepada orang tuanya bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Bahkan, Dahlia menutup rapat semua perlakuan mertuanya pada dirinya. Dahlia turun di depan rumahnya, ia memandang ke rumah sederhana itu, tak banyak perubahan sejak dia terakhir kali mengunjunginya. Dahlia membayar biaya sewa mobil dan berterimakasih pada sopir mobil itu. Lalu Dahlia berjalan
Setelah tiga hari di rumah, Dahlia mulai lebih tenang dan bisa berpikir jernih. Tidak mungkin dirinya akan terpuruk dan bersedih terus. Sebaliknya Dahlia harus bangkit, kembali merencanakan yang terbaik untuk diri dan masa depannya. Sebelum menikah, Dahlia sempat bekerja di sebuah salon kecantikan. Bahkan sebenarnya karir Dahlia cukup baik. Dua tahun bekerja di salon itu, Dahlia sudah menjadi asisten make up artis. Banyak konsumen yang menyukai riasan Dahlia dan merasa cocok dengan kemampuannya.Setahun setelah menikah, Dahlia masih bekerja di salon itu. Ia suka bekerja di salon itu, karena apa yang dikerjakannya sesuai dengan bakat dan minatnya. Jadi Dahlia tidak merasakan pekerjaannya itu sebagai suatu beban atau melelahkan. Tahun kedua pernikahan, Ibu mertua Dahlia mulai menyuruh Dahlia keluar dari pekerjaannya. Alasannya agar anaknya lebih terurus jika Dahlia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, juga agar Dahlia bisa fokus pada program kehamilannya. Dahlia awalnya menolak dan i
Tak terasa tiga bulan sudah Dahlia dan Aditya berpisah. Kini Dahlia masih menyibukkan diri dengan salon baru nya, sementara Aditya menikmati pernikahannya dengan Sinta. Wajah cantik dan tubuh molek Sinta akhirnya memang bisa membius Aditya. Walaupun awalnya Aditya tidak mencintai Sinta, akhirnya Aditya luluh juga dengan rayuan Sinta. Sinta sangat bahagia karena kini semua gaji Aditya ada di tangannya. Aditya tidak perlu membagi dengan istri pertamanya itu. Hampir setiap hari Sinta menghamburkan uang Aditya, dengan ke salon, perawatan, berbelanja, belum lagi kartu kredit yang hampir terpakai full oleh Sinta. Jujur Aditya pun pusing melihat perilaku Sinta yang berbeda jauh dengan Dahlia yang selalu berhemat dan mengelola keuangan dengan baik. Tapi Aditya tidak mampu berbuat apapun, apalagi Ibu Aditya selalu membela Sinta. Tapi kebahagiaan Sinta dan Aditya tidak berlangsung lama. Suatu hari ada pengumuman di kantor, ada kebijakan dari kantor pusat yang mengejutkan semua karyawan cabang
Aditya sudah tidak bisa membayar angsuran rumahnya. Pihak bank sudah beberapa kali menghubungi Aditya dan menanyakan mengenai pembayaran cicilannya. Namun, karena Aditya tetap tidak mampu membayar sampai batas waktu yang ditentukan, akhirnya dengan terpaksa rumah itu disita oleh pihak bank. Mobil Aditya juga sudah terjual untuk membayar hutang kartu kredit, hutang lainnya dan biaya hidup Aditya dan Sinta selama Aditya tidak bekerja. Aditya dan Sinta terpaksa mengemasi barang dan pindah ke rumah Ibu Aditya. Sepanjang perjalanan Sinta terus menangis, ia tidak mau tinggal di rumah Ibu Aditya yang menurutnya jelek itu. Akhirnya Aditya dan Sinta sampai ke rumah Ibu Aditya. Baru saja sampai, Sinta berulah. Sinta menatap rumah kecil milik Ibu Aditya dengan tatapan merendahkan dan jijik. "Mas, aku ga mau tinggal di sini," kata Sinta. "Terus kita mau tinggal dimana, Sin? Jalanan? Kolong jembatan? Kamu kan tahu kalau rumah kita baru disita. Sementara kita tinggal di sini dulu, sampai aku d
Aditya terduduk lemas, dalam sekejap hidupnya hancur, segala miliknya hilang lenyap. Semua kebanggaan, kekayaan dan istri pun pergi meninggalkan dirinya. Di saat ia susah dan terpuruk seperti ini, teman-temannya juga seakan menghilang, tidak ada yang mau menolongnya memberi pinjaman atau mencarikan pekerjaan. Ibu Aditya menangis dengan sedihnya melihat kondisi Aditya. Melihat kondisi anak yang selalu dibanggakannya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat tentu membuat hatinya sedih dan hancur. "Ibu puas sekarang?" tanya Aditya. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Ibu Aditya. "Lihat hidupku jadi seperti ini karena Ibu. Ibu yang membuat rumah tanggaku dengan Dahlia hancur. Ibu selalu ikut campur dan mengatur kehidupanku. Lihat menantu pilihan Ibu, yang kata Ibu jauh lebih baik dari Dahlia, apa dia mau bersamaku saat aku jatuh dan susah seperti ini?" kata Aditya. Ibu Aditya menangis lebih keras lagi, ia tidak menyangka tindakannya justru menghancurkan hidup anaknya. Aditya bahkan kini m
Usaha salon Dahlia mulai dikenal luas. Dahlia juga sering mendapatkan pekerjaan merias pengantin di berbagai tempat. Awalnya Dahlia harus menyewa mobil setiap kali ada jadwal merias di tempat yang cukup jauh. Jika jaraknya masih terjangkau, Dahlia menggunakan sepeda motor. Karena banyaknya konsumen yang datang ke salon, Dahlia memperkerjakan dia orang karyawan. Sekaligus mengajari mereka agar bisa membuka usaha seperti dirinya suatu saat nanti. Dahlia tidak pelit berbagi ilmu pada para karyawannya. Ia percaya rejeki tetap sudah diatur untuk setiap orang sesuai porsi masing-masing. Sedikit demi sedikit akhirnya Dahlia bisa menabung uang dari hasil pekerjaannya. Pertama-tama ia membelikan motor baru untuk Bapak, agar bisa beraktivitas lebih baik dan tidak sering direpotkan dengan motor butut nya yang sering rewel. Bapak sangat senang dan terkejut ketika Dahlia membawa pulang motor yang dibelinya secara tunai, dan memberikan kuncinya pada Bapak sebagai hadiah ulang tahun Bapak. Setel
Hari ini Dahlia ada jadwal merias pengantin di luar kota. Jarak kota itu cukup jauh dari rumah Dahlia, yaitu dua jam perjalanan. Jika ada pekerjaan merias pengantin seperti itu, Dahlia harus rela jika waktu istirahat dan tidurnya jauh berkurang.Biasanya jika acara akad nikah berlangsung pagi hari, Dahlia harus mulai merias pengantin wanita mulai pukul tiga dini hari, karena selanjutnya masih harus merias ibu dan saudara-saudara perempuan calon pengantin itu. Jadi jika tempat acaranya jauh, Dahlia harus berangkat dari rumah pukul sebelas atau dua belas malam. Di siang hari, biasanya Dahlia harus kembali memperbaiki riasan pengantin, mengganti pakaian untuk resepsi dan sebagainya. Rasa lelah dan mengantuk pasti ada, tapi melihat pengantin tersenyum puas dan bahagia, terlihat cantik di hari yang paling istimewa membuat Dahlia sangat bahagia. Semua rasa lelah terbayar lunas melihat senyuman mereka. Seringkali Dahlia harus menghadapi konsumen dengan berbagai tipe, ada yang mempercayakan
Aditya mendengus kesal dan melangkah gontai ke teras rumah. Ia menyalakan rokok nya dan menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asap itu ke udara, seakan ingin membuang gundah nya jauh-jauh seperti asap yang mengepul itu.Di satu sisi Aditya merasa iba melihat ibu yang mengandung dan melahirkannya lemah tak berdaya, tapi di sisi lain ia merasa begitu geram akan tindakan Ibu nya itu. Dalam kondisi sulit seperti ini, ia baru mengetahui jika ibunya selama ini memiliki hutang yang bagi mereka saat ini begitu besar jumlahnya.'Mengapa Ibu begitu nekat dan berani berhutang seperti itu, hanya demi mengadakan pesta meriah satu hari?' pikir Aditya. Aditya teringat betapa mewahnya pesta pernikahan keduanya itu. Ibu meyakinkan Aditya bahwa semua dananya tersedia, Aditya tidak perlu memusingkan masalah biaya atau segala persiapan pernikahan itu. Ibu dan Sinta begitu antusias mempersiapkannya. Mereka memilih gaun, salon, dekorasi terbaik, dan katering ternama di kota itu.Padahal untuk melaksa
Bima tersentak, ia juga terkejut karena baru mendengar kenyataan ini. "Jadi semua ini rencana Mama dan Sandra?" tanya Bima. "Maafkan Mama, Nak," bisik Mama Bima. "Mama.. Kenapa Mama membongkar semua ini?" teriak Sandra yang sudah berdiri di pintu masuk. Sandra terlihat marah dan kesal pada mama mertuanya itu, karena membongkar rahasia itu tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Semua mata beralih menatap Sandra. Sementara Sandra menghampiri Mama Bima dan berusaha meminta penjelasan. "San, Mama merasa waktu Mama tidak akan lama lagi. Mama harus mengatakan semua ini agar Mama bisa pergi dengan tenang. Sejujurnya Mama menyesal selama beberapa tahun ini, karena Mama telah menghancurkan hidup kalian semua," kata Mama Bima. Mama Bima terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang sesak. Berbicara sejenak membuat ia sangat kelelahan. "Sekarang Mama menghancurkan hidupku. Mengapa Mama berbuat seperti itu?" tanya Sandra kesal. "Mama telah memisahkan Bima dengan Dahlia dan anaknya. Mama
Bima akhirnya harus menikahi Sandra. Namun sejak hari itu hidup Bima berubah sepenuhnya. Ia hanya memberikan status pada Sandra sebagai seorang istri, tapi tidak pernah memberikan hatinya. Sandra tinggal dengan Mama Bima, sementara Bima tetap di Semarang. Ketika Sandra mengusulkan untuk tinggal di Semarang bersamanya, Bima menolak mentah-mentah. Bima memilih tidak serumah dengan Sandra. Sandra sadar, ia tidak pernah bisa memiliki hati dan cinta Bima saat dia dalam keadaan sadar. Bima tidak pernah mau menyentuh dirinya, atau tidur bersamanya. Hal itu membuat Sandra sangat terluka, ia melampiaskan rasa kesal dan bencinya pada Bima dengan berfoya-foya, menghabiskan uang pemberian Mama Bima. Semakin lama terlihat jelas sifat dan karakter Sandra yang sebenarnya. Ia tidak lagi menghormati Mama Bima seperti dulu. Sandra sering melampiaskan rasa kesalnya pada Bima dengan menyakiti hati mama mertuanya. Sementara itu, Dahlia berusaha kembali bangkit dan menata hatinya. Dahlia menghabiskan
Sambil menangis Dahlia memasukkan semua pakaian dan barang miliknya dan Nadine ke dalam koper. Ia tidak pernah menduga mimpi buruk itu akan datang kembali dalam hidupnya. Bima selama ini selalu penuh cinta, menyayangi, dan membela Dahlia di hadapan siapapun. Namun ternyata semua hanya kepalsuan, karena Bima menyakiti Dahlia begitu dalam. Dahlia menggantikan pakaian Nadine, lalu menggendong Nadine dengan kain gendongan. Tangan kanan Dahlia menarik kopernya. "Lia, aku tidak bisa hidup tanpamu dan Nadine. Tolong maafkan aku!" Bima memegang tangan Dahlia dan berlutut di hadapannya. "Seharusnya kamu pikirkan semua akibatnya sebelum bertindak, Mas! Kamu tahu kalau aku pernah terluka, dan tidak akan berkompromi pada masalah ini. Aku benci kamu, Mas! Silakan kamu nikahi dia! Aku tidak peduli! Aku tunggu surat cerai darimu," ucap Dahlia. "Nak, kamu bisa tetap menjadi istri pertama Bima. Biarlah Sandra menjadi istri kedua Bima. Bukankah pria bisa mempunyai lebih dari satu istri?" kata Mama
Selama beberapa hari terakhir ini, Dahlia merasa suaminya banyak berubah. Bima sering melamun dan lebih pendiam. Berkali-kali Dahlia melihat raut wajah suaminya yang sendu. Dahlia mencoba bertanya apa yang sedang terjadi, tetapi Bima hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bima belum mau menceritakan masalah yang terjadi. Dahlia berpikir suaminya mungkin hanya merasa lelah, atau ada masalah dalam pekerjaannya. Bima yang biasanya ceria, selalu memeluk Dahlia dengan hangat, bermain dengan Nadine, kini mendadak murung. Seperti ada beban yang berat yang sedang dialami oleh Bima. "Mas, koq malah melamun?" tanya Dahlia. Mereka sedang di meja makan untuk makan malam bersama. Dahlia sudah mengambilkan makanan untuk suaminya dan dirinya sendiri."Oh, tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita makan!" jawab Bima. "Sebenarnya ada masalah apa, Mas? Biasanya Mas selalu menceritakan apapun padaku," kata Dahlia. "Hanya masalah pekerjaan, biasa saja koq. Kamu tenang saja, ya. Jangan cemas!" ujar Bi
Bima meminum teh manis hangat yang dihidangkan oleh Sandra. Setelah itu ia kembali menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. "San, aku pulang saja, ya. Nanti sampaikan pada mama kalau aku datang kemari," kata Bima. Bima baru saja akan bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat dan sangat mengantuk. Detik terakhir ia melihat Sandra tersenyum dan mendekatinya. Bima tak sanggup membuka matanya lagi, ia terkulai di sofa. Sandra segera menopang tubuh Bima. "Mas, kamu kenapa? Kamu lelah, ya? Ayo aku bantu kamu ke kamar," bisik Sandra. Sandra melingkarkan tangan Bima di atas bahunya, lalu memapah Bima. Sandra menghempaskan tubuh Bima ke kasur, lalu sejenak memastikan bahwa Bima sudah benar-benar lelap. Sandra tersenyum senang, rencananya berhasil. Ia harus bergerak cepat sebelum Bima bangun dan sadar. Sandra melepas pakaian Bima, lalu pakaiannya sendiri. Sandra juga mengambil ponselnya dan mengambil foto yang menunjukkan seolah dirinya dan Bima tidur bersam
"Jangan bergurau, Ma! Bima tidak akan mau mengkhianati Dahlia," kata Bima. Mama Bima hanya diam dan melemparkan pandangan ke luar jendela mobil itu. "Ma, besok Bima tidak bisa mengantar Mama ke pemakaman Mama Sandra," ucap Bima. "Kenapa, Nak? Hubungan kita sangat dekat dengan keluarga Sandra. Kita harus menghadiri acara pemakaman itu," kata Mama Bima. Bima harus bekerja, Ma. Besok ada pertemuan penting dengan klien. Kalau Mama memang mau datang, Mama naik taksi saja," ucap Bima dengan nada suara yang mulai meninggi. Mama Bima kembali bungkam, ia sadar sepertinya percuma kalau ia memaksakan kehendak pada Bima. Bima dan mamanya akhirnya sampai di rumah."Ma, Bima langsung pulang, ya," kata Bima sebelum mamanya turun dari mobil. "Hati-hati, ya,"Sepanjang jalan Bima terus memikirkan semua yang terjadi, dan perkataan mamanya. Bima tak habis pikir, mengapa mamanya bisa memberikan ide padanya untuk menikahi Sandra. 'Itu tidak mungkin terjadi! Aku sudah punya Dahlia dan Nadine. Aku s
Bima segera menuju ke rumah mamanya. Perjalanan agak tersendat karena ini adalah jam pulang kerja. Bima ingin sampai secepat mungkin ke rumah mamanya, supaya bisa pulang lebih cepat. "Ma, sudah siap? Ayo kita berangkat!" kata Bima. "Iya, Nak. Sebentar Mama ambil tas dulu," ucap Mama Bima. Lalu Bima dan mamanya naik ke mobil dan menuju ke rumah Sandra. Rumah Sandra sangat ramai dan dipadati oleh para pelayat. Jenazah Mama Sandra memang belum dimakamkan, karena menunggu Kakak Sandra yang masih dalam perjalanan dari luar negeri. Rencananya Mama Sandra akan dimakamkan besok pagi. Mama Bima segera mendekati Sandra dan memeluknya. Mama Bima memang terlihat sudah akrab dan mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Sandra. Sementara itu Bima memilih duduk agak jauh dan berbaur bersama para pelayat yang lain. Wajah Sandra terlihat pucat dan matanya sembab karena banyak menangis. Wajahnya nyaris tanpa riasan dan air mata masih membasahi wajahnya. Mama Bima mengusap lembut bahu Sandra. Sand
Mama Bima dan Sandra baru saja meninggalkan rumah Bima. Dahlia langsung masuk ke kamar dan membaringkan Nadine yang sudah terlelap. Untuk sementara tempat tidur Nadine dipindahkan ke kamar Dahlia dan Bima. Sampai nanti Nadine sudah lebih besar dan bisa tidur sendiri. Dahlia tak berbicara sepatah katapun, tak bisa dipungkiri, hatinya sakit karena perkataan Mama Bima dan tingkah laku Sandra. Dahlia membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding memunggungi Bima. Ia pura-pura memejamkan matanya dan tidur. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Dahlia, Bima mengerti perasaan istrinya itu. "Sayang, kamu sudah tidur?" tanya Bima. Dahlia tidak menjawab pertanyaan Bima itu. Ia tetap memejamkan matanya dan menahan diri sekuatnya agar tidak menangis. Bima mendekat dan memeluk Dahlia dari belakang. "Sayang, aku tahu kamu belum tidur. Sekalipun kamu diam, aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit hatimu," kata Bima. Bima menghadapkan tubuh Dahlia ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapa
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Bima dan Dahlia menikmati kebahagiaan sebagai orang tua. Mereka sangat bahagia melihat Nadine tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Pernikahan Dahlia dan Bima berjalan bahagia dan harmonis. Tanpa terasa, Nadine sudah berumur delapan bulan. Suatu hari, Mama Bima datang ke rumah bersama Sandra. Dahlia berusaha berpikiran positif dan menyambut mereka seperti tamu lainnya. Namun yang membuat Dahlia merasa tidak nyaman adalah ulah Sandra. Awalnya Sandra dan Mama Bima duduk seperti biasa di ruang tamu. "Bima mana, Lia?" tanya Mama Bima. "Oh, sebentar lagi pulang, Ma. Mungkin ini sedang di perjalanan," jawab Dahlia. Saat Dahlia mengambil minuman di dapur, ternyata Sandra masuk ke kamar Dahlia tanpa ijin dan menggendong Nadine yang sedang tidur. Sandra membawa Nadine ke ruang tamu. Dahlia terkejut dan merasa kesal, karena Nadine yang baru saja tertidur kini terbangun lagi dan rewel. Bukannya meminta maaf, Sandra malah tertawa-tawa dan menggend