Zach memperhatikan gerak-gerik Evelyn. Bagaimana cara wanita itu memperlihatkan segurat senyuman tulus, memancarkan binar kebahagiaan pada bola mata seindah bulan purnama di tengah kelabunya langit malam, hingga langkah kecil Evelyn membawa tubuh mungil itu berbalik membelakanginya.“Cepat pakai baju dan celanamu, Tuan! Aku tidak akan mengintip.” Suara itu terdengar khas di telinga Zach. Tipikal suara yang ... Zach pasti bisa menebaknya dengan mudah kalau itu suara Evelyn—tanpa harus melihat wajah pemiliknya terlebih dahulu.Tak ada jawaban dari si laki-laki, Evelyn kembali menoleh ke belakang. Dahinya tampak berkerut. “Jangan diam saja, nanti kau terlambat!” ocehnya. “Cepat kenakan pakaianmu!”Zach mengerling, membuang napas kasar, mencoba mengendalikan degup jantung yang seakan ingin melompat dari sangkarnya. Ia melangkah menuju pakaian di atas kasur yang sudah disediakan oleh Evelyn. “Tutup matamu!” ucapnya dikawal nada datar.Evelyn mengangguk. Kembali membelakangi Zach dan menutup
Iris mata Evelyn tampak bergetar menatap Zach. Kepalanya menggeleng, “Kau bercanda, ‘kan?” Ia harap ... jawabannya adalah, ‘Iya.’Satu tangan Zach meraup pipi Evelyn, lalu sebuah kecupan mendarat di bibirnya. Hal itu sudah cukup menjawab pertanyaan Evelyn.Evelyn berusaha menolak, menggelengkan kepala berulang kali, mencoba mundur. Namun, Zach mencengkeram pinggang Evelyn, menekan pipinya kuat-kuat, sehingga tidak ada lagi ruang bagi Evelyn untuk melawan.Zach melepas tautan bibir mereka, membawa tubuh ramping Evelyn ke sisi kasur. Berada di atas tubuh Evelyn, mengurung pergerakannya dengan kedua lengan kekar dan berotot.Satu detik, dua detik, tiga detik .... Bola mata mereka saling bertemu, bertegur sapa, hingga terkesan menyiratkan kekaguman, seperti dua orang asing yang telah terjebak dalam kisah cinta pada pandangan pertama.Karena tidak tahan menatap mata Zach lama-lama, Evelyn melengos ke samping, memutus kontak mata di antara keduanya. “Jangan buang-buang waktu dengan ini. Kau
Hari ini Zach benar-benar sibuk. Menghadiri konferensi pers yang telah digelar pukul sepuluh pagi, makan siang bersama orang-orang penting dalam tim sambil mendiskusikan langkah apa yang harus mereka jejaki untuk mendapatkan lebih banyak dukungan suara masyarakat.Dan sekarang, Zach bersama para pengawal pribadinya baru tiba di mansion pukul tujuh malam. Setelah turun dari mobil, satu-satunya ruang yang tebersit di kepala Zach hanyalah kamar. Rasa lelah membuatnya merasa ingin beristirahat lebih cepat malam ini.[Sepertinya aku akan pulang telat hari ini. Ada acara makan malam antarkolega. Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan telat makan, Sayang!]Zach meletakkan ponsel di atas meja kamar usai membaca pesan yang dikirim oleh Stella—yang berhasil membuatnya mendengkus gusar. Sudah lelah, ditambah memiliki istri super sibuk dengan urusan pekerjaan.Selalu sibuk .... Selalu memprioritaskan karir, sedangkan Zach menjadi prioritas kesekian yang entah diletakkan di nomor berapa oleh wanita itu.
Emosi Zach meradang setelah Veronica membocorkan alasan kenapa Evelyn mendekati dirinya. Jujur, Zach sangat marah apabila yang Veronica katakan memang benar. Namun, ia tak ingin terlalu cepat percaya pada ucapan orang lain, sehingga ia langsung memanggil Evelyn dan menginterogasi kedua wanita itu di dalam ruangan pribadinya.Duduk di atas kursi kebanggaannya, Zach melempar tatapan kepada Evelyn dan Veronica yang tengah berdiri bersisian di depan matanya. Ada gejolak amarah yang membuat Zach sangat ingin melayangkan pukulan sekeras-kerasnya. Hanya saja, ia masih berusaha sabar, berharap semua ini hanyalah kesalahpahaman.“Apa benar yang Veronica katakan tentangmu?” Zach membetulkan kerah kemeja yang masih melekat di tubuhnya. Menatap intens Evelyn. “Cepat katakan yang sejujurnya!” Ia menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kasar.“Tuan, aku mengatakan yang sejujurnya!” ucap Veronica menegaskan. Matanya memendarkan kejujuran yang mengharapkan satu kepercayaan dari tuan arogannya ters
“Sekarang sudah malam, dan kau harus istirahat secepatnya.” Evelyn menanggapi ucapan Zach yang menyinggung soal ‘mandi bersama’.Jika Evelyn mengiyakan ajakan Zach, pasti ujung-ujungnya mereka bukan hanya mandi, melainkan akan ada adegan tujuh belas tahun ke atas—yang mana Evelyn sedang berusaha menghindari hal itu.Mereka lalu meninggalkan ruangan, berjalan menuju kamar pribadi Zach. Pada saat pria itu membuka pintu kamar, ia melihat sosok Stella telah duduk di tepi kasur dengan sorotan mata memendarkan amarah.Kehadiran Stella membuat langkah kedua manusia berlawanan jenis itu berhenti di daun pintu. Evelyn hendak melepaskan tautan tangan dengan Zach, tetapi Zach malah menahan dan menggenggamnya semakin erat.Stella bangkit dari kasur, bersedekap tangan, lalu melangkah menghampiri Zach dan Evelyn. Ketukan dari sepasang high heels memecah keheningan malam—terdengar seperti genderang perang yang telah ditabuh.“Lagi-lagi Evelyn.” Stella berhenti tepat di hadapan suami dan wanita yang .
Belum lama Evelyn memasuki harem untuk menemui Claudia. Namun, tiba-tiba Veronica melintas di hadapannya dan menumpahkan es jeruk dengan sengaja hingga mengenai gaun yang ia kenakan.“Ups! Maaf, aku tidak sengaja,” ujar Veronica sambil menutup mulut dengan ekspresi yang sama sekali tidak merasa bersalah. Justru ia menyunggingkan senyuman sinis setelahnya.Evelyn terbelalak. Mulutnya sedikit menganga merasakan sensasi dingin dari minuman tersebut. Begitu pun dengan Claudia yang tak kalah kesal, memandang sengit wajah Veronica.“Rupanya kau masih berani mengganggu Evelyn.” Claudia sudah bangkit dari posisi duduk. “Lihat saja! Aku akan melaporkan perbuatanmu pada Tuan Zach!” ancamnya.Claudia hendak melangkah mencari laki-laki penguasa mansion tersebut. Akan tetapi, Evelyn dengan cepat mencekal lengannya. “Jangan!” larangnya.“Kenapa? Dia harus diberi hukuman agar mendapat efek jera,” ucap Claudia, tidak terima Evelyn diperlakukan tidak sopan oleh Veronica.Wanita itu menggeleng. “Aku mal
Zach menaikkan volume suara, memutar ulang audio yang dikirim oleh Stella. Bersama Evelyn, ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana reaksi perempuan itu kala mengetahui percakapannya dengan Veronica telah direkam dan dibeberkan kepada Zach.“Apa maksud dari semua ini?” Tangan Zach bergetar. Ia memegang erat ponsel agar tidak terlepas dari genggamannya.Evelyn tergugu, menggeragap, mencoba menemukan alasan di kepalanya untuk tidak membuat Zach lebih murka lagi. Tapi ... apa?Dalam kebingungan, Evelyn bersusah payah menyusun kata-kata agar bisa bicara dengan runtut dan jelas. Agar bisa meredam emosi di dada Zach yang tengah berkobar dahsyat.“Tuan, aku—”“Berhenti memanggilku Tuan!” sela Zach secepat kilat. Terpendar kemarahan yang begitu besar di balik tatapan tajam bola matanya. “Kau hanya berpura-pura menghormatiku,” ujarnya.Bentakan itu membuat Evelyn menundukkan kepala. Dapat ia rasakan sudut matanya yang terasa panas dan basah. Sepertinya ini akan menjadi akhir dari sandiwara yang
Zach melihat bagaimana Aldrick bergerak dengan sigap demi menyelamatkan Evelyn. Membawa wanita itu naik ke daratan tanpa banyak basa-basi. Bola mata Zach fokus memandang kedua tangan Aldrick yang menyentuh tubuh Evelyn. Benar-benar tak berjarak. Zach tidak suka menyaksikannya.Setelah berhasil menolong Evelyn yang tidak bisa berenang, Aldrick membaringkan tubuh perempuan itu di tepi kolam. Ia sangat panik melihat Evelyn yang sudah tak sadarkan diri.“Hey! Sadarlah,” ucap Aldrick seraya memeriksa denyut nadi Evelyn. Membuatnya merasa lega karena ternyata wanita itu masih hidup.“Menjauhlah dari Evelyn, brengsek!”Saat Aldrick hendak memberikan napas buatan, tiba-tiba sebuah pukulan melejit ke wajahnya, sehingga pria itu terpelanting ke belakang. Membuat orang-orang mundur beberapa langkah. Aldrick lalu mendongak seraya memegang pipinya yang terasa panas, mendapati pelakunya adalah Zach.Dengan rasa panik yang menjalar di dalam diri, Zach menempelkan bibirnya pada bibir Evelyn. Memberika
Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany
Zach tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldrick. “Apa yang kau bicarakan?”Aldrick tampak kikuk. “Apa kau tidak tahu penyebab kenapa Ayah lumpuh?” Justru dia merasa heran, bisa-bisanya Zach tidak tahu alasan yang melatarbelakangi kelumpuhan kaki Jeremy?“Memang apa penyebabnya?”Jujur, Aldrick terkejut, ternyata Zach benar-benar tidak tahu soal itu.“Ayah, apa boleh aku ceritakan?” Aldrick adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta izin dulu kepada Jeremy.“Silakan,” balas Jeremy. “Kalaupun aku mengatakan tidak, pasti kau tak bisa tidur nyenyak malam ini, karena Zach akan terus mendesakmu untuk bicara.”Sejenak Aldrick terkekeh, lalu mulai menceritakan, “Saat berusia sebelas tahun, kau menjadi korban penculikan. Ayah dan pengawalnya berusaha menyelamatkanmu. Tapi karena dibius, kau tidak sadarkan diri. Kemudian, komplotan penculik itu mengejar mobil yang ditumpangi Ayah dan beberapa pengawalnya, hingga insiden kecelakaan pun terjadi tanpa disangka-sangka.”Zach menjadi pende
Evelyn ikut terharu melihat Zach sudah berbaikan dengan Aldrick. Dia tersenyum manis, bangga kepada anak-anaknya yang telah membuat tembok raksasa pertahanan Zach akhirnya runtuh juga.Setelah itu, Evelyn ikut bergabung dan mereka melangkah bersama-sama menuju taman, mencari keberadaan Jeremy, karena Zach belum meminta maaf pada laki-laki itu.Benar saja. Ternyata Jeremy memang berada di sana, sedang duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan Oliver yang sedang memanjat pohon apel, sedangkan Bryan, remaja berusia dua belas tahun itu berdiam diri di bawah pohon apel sambil menyemangati Oliver.“Ayo! Petik apelnya lebih banyak lagi, Paman!” pekik Bryan seraya mendongak memperhatikan setiap gerak-gerik Oliver.“Mami, Papi, bolehkah aku bergabung dengan Bryan dan Paman Oliver?” tanya Florez dengan penuh harap.Evelyn menyahut, “Boleh saja, Sayang, tapi harus minta izin dulu dengan mereka. Jika mereka tidak keberatan, silakan bergabung. Tapi, jika mereka merasa keberatan, kalian tidak pe
Karena didesak ketiga anak kembarnya, mau tidak mau Zach harus menemui kakak dan ayahnya untuk meminta maaf. Karena, sebagai orangtua, dia harus mencontohkan sikap yang baik, benar dan bijaksana.“Ayo, Papiiiiii!” Freya menarik lengan kanan Zach, lalu Florez di sebelah kiri, sedangkan Fathe mendorong tubuhnya dari belakang.Mereka tampak tidak menyerah walaupun Zach memiliki tubuh tinggi besar dan tidak sebanding dengan tubuh miniatur mereka.Zach hanya bisa pasrah menerima perlakuan anak-anaknya. Dia terus berjalan mengikuti ke mana si kembar membawanya pergi.“Paman Aldrick!” Fathe memanggil Aldrick yang sedang berjalan di koridor mansion.Pria itu menoleh, mengernyit melihat ketiga anak itu menghampirinya sambil menyeret Zach dengan tangan mungilnya.Sesekali Aldrick terkekeh geli pada saat menyaksikan Freya dan Florez yang terlihat berjalan mundur untuk bisa menarik tangan Zach dengan tenaga yang lebih besar.“Papi, bisakah berjalan lebih cepat sedikit? Kami hampir kehabisan tenaga