Evelyn berdiri di depan wastafel. Ia merasa mual, tetapi tidak memuntahkan apa-apa dari dalam lambungnya.“Apa mungkin aku masuk angin?” pikir Evelyn. Sejenak ia mengingat-ingat, apakah hari ini telat makan?Namun, Evelyn yakin sekali kalau ia sudah makan tepat pada waktunya. Bahkan, ia tidak memiliki riwayat asam lambung atau maag.Evelyn menghela napas, menggelengkan kepala menepis rasa penasaran yang menyelubungi isi pikirannya. Mungkin ia sedang dalam kondisi kurang baik. Sebab, manusia tidak selalu sehat setiap harinya. Jadi, Evelyn menanggapi hal ini sebagai sesuatu yang wajar.Begitu keluar dari toilet, Evelyn tak sengaja berpapasan dengan Oliver yang entah sedang berjalan ke mana. Namun, dilihat dari arahnya, Evelyn menebak kalau pria yang merupakan adik kandung Zach itu sedang menuju harem.Bola mata mereka saling bertemu. Sempat terjadi perang tatapan selama beberapa detik. Hingga akhirnya, Oliver melengos, mengabaikan Evelyn. Sejak kejadian di mana Zach memukul dan memberiny
Di ruangan pribadi Stella, Evelyn tampak terkekeh geli mendengar wanita itu menyebut dirinya sebagai perempuan jalang. “Sebenarnya siapa di antara kita yang lebih pantas menyabet gelar sebagai wanita jalang?” Ia menaikkan alis, memperlihatkan raut wajah santai. “Aku yang dipilih sebagai wanita simpanan oleh Zach, atau kau yang jelas-jelas sudah bersuami tapi masih tidur dengan pria lain di atas ranjang?”“Apa?”“Lupa, atau pura-pura lupa?” sindir Evelyn. “Kau dan pengawalmu yang bernama Justin itu telah menghabiskan malam panas dan panjang saat tidak ada Zach di mansion. Bukankah kau lebih layak disebut perempuan jalang?”“Kau—” Kedua tangan Stella terkepal erat. Dadanya menggebu, menahan percikan amarah yang terlanjur membesar dan berkobar.“Aku benar, ‘kan?” Evelyn tersenyum puas melihat ekspresi kesal di wajah Stella yang kini terlihat merah padam. “Aku penasaran, kira-kira bagaimana reaksi Zach saat tahu kalau istrinya bermain api dengan bodyguard-nya sendiri? Apa mungkin dia juga
Evelyn mengerjap, mengerling menghindari kontak mata dengan Zach. “Tidak apa-apa,” dustanya.Zach membaringkan tubuh Evelyn ke kasur. Ia tidak merasa curiga atas jawaban Evelyn yang sebenarnya sedang menyembunyikan sesuatu. Perhatiannya justru dikuasai oleh segala tanda tanya, apakah Evelyn baik-baik saja selama tak ada dirinya?“Apa yang dia lakukan sampai tanganmu membiru?” tanya Zach sembari memegang tangan Evelyn dengan hati-hati.“Bukan hanya tangan yang membiru, kakiku juga.”Manik mata pria itu bergeser ke bawah, memperhatikan betis ramping Evelyn yang juga tampak lebam. “Akibat ditendang?” terkanya.“Dia menendang kaki, menginjak telapak tangan, juga menampar wajahku dengan keras.” Evelyn bicara apa adanya. Tanpa diperintah, bulir-bulir air mata lolos begitu saja membasahi pipi. Ia merasakan sakit dan nyeri nyaris di sekujur tubuhnya. “Dan sekarang perutku juga terasa keram karena dia membantingku ke sisi tembok.”Zach mengusap cairan bening di pipi Evelyn dengan ibu jarinya. I
CKLEK!Evelyn baru saja keluar dari ruang perawatan. Sebelumnya, ia telah mengatakan pada James untuk merahasiakan hasil tespek dari semua orang—termasuk Zach sekalipun. Bahkan ia sengaja menghancurkan benda tipis itu dan membuangnya melalui closet, agar tidak ada lagi barang bukti tentang kehamilannya.“Bagaimana hasilnya?” Tepat di hadapan Evelyn, berdiri sosok Zach dengan rasa penasaran yang menyelimuti rongga dadanya. “Kau sakit apa?”Sejenak Evelyn terdiam, terpaku. Mengepalkan kedua tangan, berusaha tegak berdiri agar tidak terlihat lemah. Pandangannya mendadak buram kala memandang wajah pria yang telah memulai segala kehancuran di dalam dirinya.Evelyn mencoba mengatur napas sebaik mungkin. Dadanya terasa sesak dan penuh. Perasaan itu kembali bergemuruh. Rasa marah dan benci yang begitu besar setiap kali melihat Zach.Padahal, ia sempat melupakan momen itu dan mulai berdamai dengan diri sendiri. Namun, tembok yang telah ia bangun sampai terguling dan jungkir balik itu mendadak r
Evelyn tidak mengerti maksud dari perkataan Claudia. “Alat kontrasepsi?”“Ya! Sebelum masuk ke harem, kami para selir sudah dimasukkan alat kontrasepsi terlebih dahulu. Memangnya kau tidak?” Claudia bertanya dengan santai. Namun, usai diam beberapa detik, ia pun membulatkan mata. “Jangan katakan kalau kau benar-benar tidak dipasangkan alat kontrasepsi sebelumnya?”Evelyn tentu harus mengatakan yang sejujurnya, dan jawabannya memang tidak! Jadi, ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Gawat!” Claudia menepuk kening, memasang ekspresi seperti ... panik, merasa dalam bahaya, atau sejenisnya. Sekarang ia baru percaya kalau Evelyn benar-benar hamil.“Tapi ... tolong jangan beritahu siapa-siapa soal ini. Aku tidak ingin ada yang mengetahuinya.” Evelyn mewanti-wanti. “Terutama Zach.”“Dia ayahnya!” Claudia memelototi sahabatnya. “Bagaimana bisa kau merahasiakan kehamilan dari seseorang yang jelas-jelas pelakunya?”Evelyn menggeleng. Seraut ekspresi cemas bersemayam di wajahnya. “Kalau
Menurut informasi yang Evelyn dapatkan dari Helena, kini Jeremy sedang berada di taman—tempat di mana pertama kali Evelyn melihat Jeremy dan menyuapi laki-laki tua tersebut. Jadi, Evelyn melangkah ke tempat itu, membawakan piring datar berisi sandwich dan segelas air putih.Dalam jarak beberapa meter ketika bola matanya berhasil menangkap sosok Jeremy, Evelyn melihat ada seseorang di sana. Bukan hanya Jeremy dan kedua pengawal pribadinya, tetapi ada juga seorang pria yang kelihatannya sedang mengajak Jeremy mengobrol.Evelyn pernah melihat wajah pria itu, hanya saja tidak tahu siapa namanya. Satu hal yang ia tahu, itu adalah ayahnya Bryan Muller—bocah laki-laki pemilik ikan hias yang diberi nama Moza.Karena tidak ingin menjadi pengganggu, Evelyn memutuskan berdiam diri di tempat. Menunggu beberapa menit, sampai akhirnya pria itu berlalu meninggalkan Jeremy di atas kursi roda.Kali ini giliran Evelyn yang menghampiri. “Selamat siang, Tuan Jeremy!” Kalimat sapaan terucap dari bibir mung
“Sepertinya dia benar-benar akan menjadi saingan beratmu.”Dari arah lain, di tempat berbeda, Stella yang juga tengah memperhatikan Evelyn dan Jeremy diam-diam seperti Zach, tiba-tiba dibuat terkejut oleh suara seorang wanita di sampingnya.Ketika menoleh, Stella mendapati sosok Alice, istrinya Aldrick sekaligus ibu kandung Bryan, sedang bersedekap dada sambil memandang dua manusia di ujung sana.Stella berdecih sinis. “Mana mungkin dia bisa menandingiku?” Ia memasang ekspresi angkuh, seperti meremehkan Evelyn.“Jangan sampai lengah! Mungkin tanpa kau sadari ... dia sudah mengambil ancang-ancang untuk menggeser posisimu di hati Zach,” ucap Alice sekadar mengingatkan.“Hanya di dalam mimpi!” tekan Stella. “Lihat saja! Aku akan segera menyingkirkan tikus got itu.” Ia bergumam pelan, mengepalkan kedua tangan, menahan rasa seperti ingin menguliti Evelyn hidup-hidup.“Ya!” Alice mengangguk antusias. “Kau memang harus berlari lebih cepat jika tidak mau ditikung olehnya.”Stella terdiam. Mere
Zach memperhatikan gerak-gerik Evelyn. Bagaimana cara wanita itu memperlihatkan segurat senyuman tulus, memancarkan binar kebahagiaan pada bola mata seindah bulan purnama di tengah kelabunya langit malam, hingga langkah kecil Evelyn membawa tubuh mungil itu berbalik membelakanginya.“Cepat pakai baju dan celanamu, Tuan! Aku tidak akan mengintip.” Suara itu terdengar khas di telinga Zach. Tipikal suara yang ... Zach pasti bisa menebaknya dengan mudah kalau itu suara Evelyn—tanpa harus melihat wajah pemiliknya terlebih dahulu.Tak ada jawaban dari si laki-laki, Evelyn kembali menoleh ke belakang. Dahinya tampak berkerut. “Jangan diam saja, nanti kau terlambat!” ocehnya. “Cepat kenakan pakaianmu!”Zach mengerling, membuang napas kasar, mencoba mengendalikan degup jantung yang seakan ingin melompat dari sangkarnya. Ia melangkah menuju pakaian di atas kasur yang sudah disediakan oleh Evelyn. “Tutup matamu!” ucapnya dikawal nada datar.Evelyn mengangguk. Kembali membelakangi Zach dan menutup
Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany
Zach tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldrick. “Apa yang kau bicarakan?”Aldrick tampak kikuk. “Apa kau tidak tahu penyebab kenapa Ayah lumpuh?” Justru dia merasa heran, bisa-bisanya Zach tidak tahu alasan yang melatarbelakangi kelumpuhan kaki Jeremy?“Memang apa penyebabnya?”Jujur, Aldrick terkejut, ternyata Zach benar-benar tidak tahu soal itu.“Ayah, apa boleh aku ceritakan?” Aldrick adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta izin dulu kepada Jeremy.“Silakan,” balas Jeremy. “Kalaupun aku mengatakan tidak, pasti kau tak bisa tidur nyenyak malam ini, karena Zach akan terus mendesakmu untuk bicara.”Sejenak Aldrick terkekeh, lalu mulai menceritakan, “Saat berusia sebelas tahun, kau menjadi korban penculikan. Ayah dan pengawalnya berusaha menyelamatkanmu. Tapi karena dibius, kau tidak sadarkan diri. Kemudian, komplotan penculik itu mengejar mobil yang ditumpangi Ayah dan beberapa pengawalnya, hingga insiden kecelakaan pun terjadi tanpa disangka-sangka.”Zach menjadi pende
Evelyn ikut terharu melihat Zach sudah berbaikan dengan Aldrick. Dia tersenyum manis, bangga kepada anak-anaknya yang telah membuat tembok raksasa pertahanan Zach akhirnya runtuh juga.Setelah itu, Evelyn ikut bergabung dan mereka melangkah bersama-sama menuju taman, mencari keberadaan Jeremy, karena Zach belum meminta maaf pada laki-laki itu.Benar saja. Ternyata Jeremy memang berada di sana, sedang duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan Oliver yang sedang memanjat pohon apel, sedangkan Bryan, remaja berusia dua belas tahun itu berdiam diri di bawah pohon apel sambil menyemangati Oliver.“Ayo! Petik apelnya lebih banyak lagi, Paman!” pekik Bryan seraya mendongak memperhatikan setiap gerak-gerik Oliver.“Mami, Papi, bolehkah aku bergabung dengan Bryan dan Paman Oliver?” tanya Florez dengan penuh harap.Evelyn menyahut, “Boleh saja, Sayang, tapi harus minta izin dulu dengan mereka. Jika mereka tidak keberatan, silakan bergabung. Tapi, jika mereka merasa keberatan, kalian tidak pe
Karena didesak ketiga anak kembarnya, mau tidak mau Zach harus menemui kakak dan ayahnya untuk meminta maaf. Karena, sebagai orangtua, dia harus mencontohkan sikap yang baik, benar dan bijaksana.“Ayo, Papiiiiii!” Freya menarik lengan kanan Zach, lalu Florez di sebelah kiri, sedangkan Fathe mendorong tubuhnya dari belakang.Mereka tampak tidak menyerah walaupun Zach memiliki tubuh tinggi besar dan tidak sebanding dengan tubuh miniatur mereka.Zach hanya bisa pasrah menerima perlakuan anak-anaknya. Dia terus berjalan mengikuti ke mana si kembar membawanya pergi.“Paman Aldrick!” Fathe memanggil Aldrick yang sedang berjalan di koridor mansion.Pria itu menoleh, mengernyit melihat ketiga anak itu menghampirinya sambil menyeret Zach dengan tangan mungilnya.Sesekali Aldrick terkekeh geli pada saat menyaksikan Freya dan Florez yang terlihat berjalan mundur untuk bisa menarik tangan Zach dengan tenaga yang lebih besar.“Papi, bisakah berjalan lebih cepat sedikit? Kami hampir kehabisan tenaga