Beberapa tahun yang lalu. James memarkirkan mobil di depan sebuah rumah dengan lantai satu. Rumah tersebut tampak sederhana, tetapi memiliki desain yang begitu indah. Tanaman di luar pun cukup memukau karena tertata dengan rapi dan termasuk tanaman yang mahal. Dengan tenang, dia melangkah keluar dan menuju ke arah rumah yang tampak sepi. Tidak ada siapa pun di sana, membuat James terus saja melangkah. Rumah itu adalah rumah miliknya yang didapatkan karena usaha sendiri. Sengaja, hari ini dia mengunjungi karena ada yang tinggal di sana. James membuka pintu dan masuk. Rumah masih kosong dan hanya diisi dengan perabotan seperlunya. Selain karena jarang digunakan, rumah itu juga belum ditinggali James. Dia hanya datang di saat butuh. Hari ini dia datang untuk menjemput calon istri yang sudah dipilihkan orang tuanya. Ya, James memang sudah akan menikah dengan wanita yang dijodohkan. Alasan keduanya karena keluarga saling mengenal dan dekat. Apalagi orang tua wanita itu
James memberhentikan mobil di depan rumah sang mertua. Dia penasaran, kenapa sang istri bisa ada di rumah kedua orang tuanya. Apalagi mendengar sang mertua yang marah, membuat James semakin bingung. Padahal James merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Jadi, sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi? “Apa yang kamu lakukan disini, James?” James yang baru akan melangkah pun berhenti. Di depannya sudah ada Siska yang menghadang di depan pintu. Tampak kemarahan dari arah sang mertua, membuat James memelankan langkah dan menatap penuh waspada. “Di sini tidak menerima kamu lagi, James,” kata Siska dengan tatapan sinis. Kali ini James berhenti dan berkata, “Aku mau bertemu dengan Qiana, Ma.” “Aku bukan mamamu. Jadi, jangan panggil aku mama. Selain itu, aku tidak akan membiarkan Qiana bertemu dengan kamu,” sahut Siska. James yakin ada yang salah di sini. Siska memang sempat kesal saat tahu dirinya sudah memiliki istri, tetapi hati wanita
“Papa harap kamu tidak memasukkan ke hati mengenai ucapan Mama Siska, James.” James yang tengah melangkah ke arah tangga bersama Romeo pun menganggukkan kepala. Dia menyahut, “Aku tahu, Pa. Seharusnya aku yang meminta maaf karena mamaku datang dan membuat masalah di sini. Aku benar-benar malu.” Romeo tahu perasaan James. Dia mengulurkan tangan, menepuk pundak sang menantu dan kembali berucap, “Mamamu juga tidak bisa disalahkan, James. Dia pasti terkejut karena tiba-tiba putra tunggalnya menikah lagi dengan wanita yang tidak dikenalnya sama sekali. Mamamu juga pasti takut kalau Qiana itu adalah gadis nakal yang akan membuat susah atau memanfaatkanmu. Jadi, papa harap kamu bisa memberikan pengertian yang baik dengan orang tuamu.” James hanya diam. Dia cukup terkejut dengan reaksi yang diberikan Romeo. Dia pikir papa mertuanya akan marah dan ikut memaki dirinya, tetapi di sini Romeo malah menenangkannya. Pria itu benar-benar memberikan pengertian meski James y
Hening. Ishana hanya diam, duduk di sofa dengan sebelah kaki disilangkan. Manik matanya menatap majalah fashion. Beberapa kali dia membolak-balik majalah tersebut, mencoba memilih mana yang akan dibelinya. Hingga suara mobil terdengar, membuat Ishana mengalihkan pandangan. Ishana menatap ke arah pintu rumah dan tersenyum saat melihat siapa yang baru saja datang. Dia menutup majalah tersebut, menunggu Deolinda yang mendekat ke arahnya. “Sore, Ma,” sapa Deolinda. “Kamu kenapa baru pulang, Sayang?” tanya Ishana dengan nada lembut. “Ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan, Ma,” jawab Deolinda dengan wajah masam. Tidak ada semangat sama sekali. Namun, Ishana mengabaikan hal itu. Dia malah menarik Deolinda agar mendekat ke arahnya dan berkata, “Gak apa. Malah bisa berduaan sama James, kan?” Sayangnya Deolinda yang digoda langsung membuang napas kasar. Dia menyandarkan tubuh dengan punggung kursi. Dengan wajah sedih dia mengatakan, “J
Qiana menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang terasa kaku. Sejak tadi dia tidur meringkuk, membuat bagian punggungnya mulai tidak nyaman. Perlahan, Qiana membenarkan posisi berbaringnya dan membuka mata secara perlahan. Hal pertama yang ditatapnya adalah langit kamar yang membuat keningnya berkerut dalam. Apalagi badannya seperti menyentuh sesuatu yang empuk, membuatnya mengalihkan pandangan. Hening. Qiana semakin bingung saat melihat dirinya yang berbaring di ranjang. Seingatnya, semalam dia tidur di sofa dekat jendela. Dia sedang menunggu takdirnya yang mulai tidak karuan. Hingga perlahan, Qiana duduk dan menyandarkan tubuh dengan kepala ranjang. “Siapa yang memindahkan aku tadi malam?” tanya Qiana dengan diri sendiri. Dia menatap sekitar. Tidak ada siapa pun di sana. Dia menjadi bertanya-tanya, kemana James? Apa semalam pria itu benar-benar tidak masuk ke kamarnya? Tapi, Qiana mencium bau tubuh pria tiu di sekeliling, membuat Qiana yakin kalau James
James memberhentikan mobil di depan rumah sang mama. Dengan cepat, dia keluar dan melangkah lebar. Wajahnya tampak serius dengan rahang mengeras. Tidak ada keramahan sama sekali. Beberapa karyawan juga mencoba menyapa, tapi tidak dibalas. Padahal biasanya James selalu ramah dengan pelayan di rumah sang mama. Meski dia tidak menunjukkan senyum, tetapi setidaknya masih ada jawaban ‘iya’ setiap kali disapa. James semakin mempercepat langkah saat melihat sang mama tengah duduk di ruang makan bersama dengan Deolinda. Melihat tawa keduanya membuat James mengepalkan kedua tangan. Apalagi dia mendengar percakapan yang membahas mengenai Qiana dan keduanya tertawa. Hal yang membuat emosinya semakin meningkat. “Ma, aku butuh bicara.” Ishana yang tengah berbincang dengan James pun mendongakkan kepala. Dia menatap ke arah sang putra yang begitu serius. Bibirnya tertarik, membentuk senyum manis dan berkata, “James, kamu ke sini. Sini duduk. Kita sarapan bareng.”
Deolinda melangkahkan kaki dengan raut wajah serius. Kali ini dia menggunakan kacamata hitam dan topi. Dia ingin melakukan penyamaran agar tidak ada yang mengenalinya. Bahkan tampilannya kali ini jauh berbeda dari biasanya. Kalau biasanya dia mengenakan dress dengan heels, kali ini dia menggunakan celana dengan setelan kaos yang dipadukan dengan jaket. Sepatu yang digunakan juga sepatu kets. Hari ini dia benar-benar tampak berbeda dan waspada. Beberapa kali Deolinda menatap sekeliling.Deolinda semakin mempercepat langkah saat yakin tidak ada yang mengenalinya. Anak buah James banyak dan kali ini Deolinda tidak mau tertangkap. Dia tidak ingin semua rencananya gagal. Untuk mencapai keinginannya, dia bahkan rela menyewa satu restoran untuk beberapa waktu. Hingga dia melihat orang yang akan ditemuinya, membuat Deolinda mempercepat langkah.“Kamu siapa?”Deolinda yang sudah duduk pun membuka topi dan kacamata. Dia membuang napas lirih dan berkata, “Ini aku, Alvan.”“Deolinda.” Alvan langs
Qiana diam, menatap ke arah jalanan lekat. Sejak tadi dia hanya bediri di balkon rumah, memperhatikan setiap orang yang melintas di depan rumahnya. Sejujurnya dia cukup rindu dengan kehidupannya dulu, yang tenang dan tanpa masalah apa pun. Dia juga ingin keluar, menikmati kehidupan yang sebenarnya. Dalam benaknya, saat dia menikah nanti, hamil dan memiliki anak, banyak hal yang akan dilakukan dengan sang suami. Mulai dari berlibur sampai foto keluarga bersama. Dia ingin menikmati kebahagiaan selama dia hamil.Namun, siapa sangka kalau semua hanyalah sebuah harapan. Qiana tidak mungkin mewujudkannya karena pernikahannya yang jelas tidak sempurna. Hubungannya dengan James bahkan akan dianggap sebagai hubungan yang baik. Dia yang menjadi istri kedua selalu mendapat pandangan buruk, bukan Cuma keluarga, tetapi juga masyarakat. Terkadang Qiana juga mengutuk diri sendiri yang sempat terbawa emosi. Kalau saja dia tidak datang ke klub malam itu, dia tidak akan mendapat takdir seperti hari ini
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s
Alvan turun dari mobil dan melangkah ke arah perusahaan. Hari ini dia cukup puas. Langkah pertamanya untuk memisahkan Qiana dan James pasti akan berhasil. Dia benar-benar begitu percaya diri dan yakin bisa mendapatkan Qiana lagi. Bagaimanapun dia pernah bersama dengan Qiana dan dia cukup tahu apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan hati wanita itu.Alvan terus melangkah dan berhenti saat berada di depan lift. Dia menunggu, tetapi tidak terlalu lama, pintu terbuka. Dia pun segera masuk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan memasang raut wajah sinis. Hingga pintu lift kembali terbuka, membuat Alvan segera keluar. Tujuannya kali ini ada ruang kerja yang terletak di ujung.Alvan yang sudah sampai di ruangan pun membuka dengan tenang sembari berkata, “Lihat saja. Aku pasti bisa mengalahkan egonya.”“Ego siapa?”Alvan menghentikan langkah dan langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara, dimana Jessica sudah duduk di sofa. Wanita itu menyilangkan kaki. Kepalanya dimi
“Aww,” desis Alvan dengan wajah menahan sakit.Qiana yang mendengar hal itu pun menatap ke arah Alvan dengan wajah memelas. Dia merasa kasihan dengan pria yang baru saja mendapatkan tamparan dari sang mama. Padahal saat di dalam tadi dia pikir mamanya tidak akan melakukan hal semacam ini. Ya, Qiana tahu Alvan datang, tetapi tidak pernah terpikir kalau sang mama akan mengamuk dengannya. Bagaimanapun mamanya pernah sesayang itu dengan Alvan.“Maafin Mama ya, Alvan. Aku yakin, Mama gak sengaja tadi,” ucap Qiana. Dia benar-benar tidak enak hati atas semua yang dilakukan mamanya. Dia dan Alvan memang berpisah dengan cara yang buruk, tetapi dia sudah memaafkan semuanya. Dia sudah ikhlas dengan semua yang terjadi.Alvan yang mendengar pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Dia menyahut, “Gak masalah, Qiana. Aku juga tahu alasan Tante Siska marah. Dia pasti kesal karena anaknya dulu aku permainkan. Maaf untuk semua, Qiana.”Qiana hanya tersenyum tipis saat mendengar apa yang Alvan kata
Hening. James yang mendengar hal itu pun diam. Permintaan sang mama benar-benar sulit. Dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Pasalnya dia begitu membenci Deolinda. Sedangkan Qiana juga membutuhkan dirinya. Dia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang tengah mengandung. Kali ini, sang mama benar-benar memberikan keputusan yang menurutnya sulit.“Bagaimana, James? Kamu sepakat?” tanya Ishana dengan tatapan mengamati.Sejenak, James hanya diam dan tidak mengatakan apa pun. Dia memperhatikan sang mama lekat. Terlihat jelas sekali senyum sinis di bibir sang mama yang menandakan kemenangan. Hingga James yang sudah membuat keputusan membuang napas lirih dan berkata, “Aku bisa tinggal dengan Deolinda, memperlakukannya dengan baik. Tapi kalau aku tidak datang ke rumah Qiana, aku tidak bisa.”Seketika, kedua mata Ishana melebar. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal. Tanpa sadar, dia bangkit dan berkata, “James, mama hanya meminta kamu tidak ke rumahnya lagi. Apa sesulit itu? Ter