Sumpah. Angeline melongo mendengar perkataan lelaki yang duduk di hadapannya. Apa maksud Gabriel berkata seperti itu? Nathan sudah jelas mengatakan mereka akan segera menikah, lalu kenapa masih mengatakan hal aneh? Apakah lelaki ini sedang berusaha mendekatinya? "Emm ... Sepertinya aku harus segera kembali. Sampai bertemu besok pagi." Tanpa menunggu respon dari Gabriel, Angeline bergegas berdiri dan pergi. Gabriel memandangi wanita muda itu melarikan diri. Kenangan lama yang timbul sejak pertama kali bertemu Angeline tidak lenyap, malah bertambah kuat. Dia benar-benar ingin tahu siapa Angeline sebenarnya. Gabriel berharap besok atau lusa orang-orangnya sudah memiliki hasil penyelidikan. Hatinya tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Seulas senyum terkembang di bibir Gabriel. Yah, mungkin tidak ada salahnya bertindak sedikit egois demi menebus rasa bersalah di masa lalu. Toh sekarang sudah tidak ada orangtua yang akan menentangnya menjalin hubungan dengan siapa pun. Berb
Nathan dan Angeline check-out dari hotel saat sesi sedang berlangsung. Kini mereka berdua beserta semua barang bawaan sudah berada dalam mobil sewaan yang dikemudikan sendiri oleh Nathan. Mengandalkan ingatan Nathan melajukan mobil ke arah Bukit Timah. Perjalanan yang mereka tempuh tidak sampai setengah jam hingga tiba di sebuah kawasan perumahan yang sejuk dan tenang. Lagi-lagi Angeline mengagumi lingkungannya yang asri dan sejuk. "Seharusnya bagian dalam rumah tidak terlalu kotor karena semua perabotan sempat ditutupi kain sebelum kami pergi." Nathan memarkir mobil di depan sebuah rumah berlantai dua yang cukup luas. Angeline mendongak untuk melihat keseluruhan rumah. Dindingnya dibangun dengan kombinasi beton bercat putih, kayu, dan kaca tebal. Modern sekali. "Ayo masuk." Nathan menyeret dua buah koper. "Yes, I'm coming." Angeline melangkah sambil melihat ke kanopi super besar yang menaungi teras depan, maka tidak heran dia tersandung undakan. Nathan so
"Ramai sekali ...," bisik Angeline pada lelaki di sebelahnya. "Tentu saja. Alardo adalah putra satu-satunya keluarga Wilson. Pernikahannya harus dirayakan sebesar mungkin, apalagi pasangannya adalah putri pengusaha besar," ujar Nathan yang seperti biasa terlihat tampan dengan stelan jasnya. Angeline, di lain pihak, tampil sederhana namun manis dengan gaun pendek biru tua model babydoll. Wedges setinggi dua belas sentimeter membantunya terlihat seimbang dengan tinggi badan Nathan. Awalnya sedikit kesulitan, tapi sekarang Angeline sudah menguasai berdiri dan berjalan di atas wedges. "Lihat. Mereka baru akan melakukan wedding toast," ucap Nathan. Angeline melihat ke panggung. Pasangan yang berbahagia terlihat luar biasa tampan dan cantik. Pakaian mereka pastinya pilihan khusus, demikian juga dengan perhiasan di tubuh Sonya. Wajah Alardo terlihat bahagia. Bagaimana tidak? Akhirnya dia bisa mendapatkan wanita yang sudah dikagumi selama bertahun-tahun. "Nath, aku amb
Seluruh dunia seolah membeku. Mata Angeline membulat menatap lelaki di hadapannya. Apa-apaan dia? Memintanya tes DNA? Memang siapa dia? "Kamu berhak menolak atau menerimanya, Baby Girl," kata Nathan lembut. Angeline menatap Nathan, "Menurutmu?" "Hanya itu satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran. Apa pun hasilnya tidak akan mengubah hubungan kita." Nathan meremas tangan wanitanya. Wanita yang sedang shock itu kembali menatap Gabriel. Tidak mungkin! Tidak mungkin lelaki berwajah simpatik ini adalah ayahnya, lelaki pengecut yang meninggalkan ibunya dalam keadaan hamil! "Pikirkanlah Angeline. Beri tahu aku jawabanmu besok pagi. Oke?" Gabriel menyodorkan sebuah kartu nama. Angeline hanya menatap kartu nama itu tanpa berniat mengambilnya. "Besok pagi kami akan menghubungimu." Nathan mewakili wanitanya. Gabriel mengangguk. Reaksi keras Angeline sedikit banyak sudah dia perkirakan, tapi tak ayal dirinya merasa kecewa. Melihat tidak ada lagi yang bisa
Angeline mondar-mandir gelisah di ruangan Nathan. Kalau bisa dia ingin keluar dari ruangan yang terasa sesak ini, tapi tidak mungkin karena mereka sedang menunggu seseorang. Atau dua orang. Entahlah. Angeline sedang berusaha keras untuk berpikir jernih. "Duduklah, Baby Girl. Kamu membuatku ikut gelisah." Nathan tersenyum. Wanita itu menatap tajam, "Kamu tahu kan, apa yang membuatku gelisah?" Bagaimana Nathan tidak tahu? Pagi-pagi buta dia telah melihat hasil tes DNA Angeline yang menyatakan bahwa Gabriel adalah ayah kandungnya. Bukannya tidak mau berempati terhadap kegelisahan kekasihnya, tapi Nathan juga bersemangat karena akan memiliki relasi dengan Gabriel. Oh, tunggu dulu. Itu pun jika Angeline mau mengakui bahwa Gabriel adalah ayahnya. Beberapa menit kemudian Cindy menampakkan diri memberitahu bahwa Gabriel Maynard beserta putranya sudah tiba. Nathan menyuruh Cindy mempersilakan mereka masuk. Suasana di dalam ruangan menjadi hening begitu Gabriel dan M
"Hah? Apa ini??" Angeline ternganga melihat dokumen yang diantar ke kantor oleh kurir khusus pagi ini. "Kenapa? Bukankah kamu mau mempercepat pernikahan?" Nathan tersenyum geli terhadap reaksi wanitanya. Dokumen yang masih tertata rapi dalam map tebal tersebut mencantumkan nama mereka berdua dengan status suami istri di catatan sipil. Angeline mengambil selembar dan membaca semua tulisan yang ada, dua kali. "Dokumen ini sah. Secara hukum kita sudah menjadi suami istri," ucap Nathan. "Tapi ... bagaimana urusan dengan wedding organizer?" tanya Angeline yang masih merasa setengah bermimpi. "Pesta tetap berlangsung pada tanggal yang sudah ditetapkan. Aku bahkan sudah mengirimkan satu undangan untuk Gabriel." Angeline kembali terbengong. Memang, dia ingin mempercepat pernikahan agar Gabriel tidak memiliki kesempatan untuk menghalangi, hanya saja dia tidak menyangka Nathan akan bergerak lebih cepat dari perkiraannya. "Aku tidak mau memberi kesempatan pada Gab
Nathan membelai lembut wajah Angeline. Wajah cantik itu merona malu setelah mengungkapkan sedikit kesediaannya. Akan mudah bagi Nathan untuk melakukan sekarang juga, tapi dia ingin segalanya berkesan. Dia tidak ingin gegabah hingga mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan. "Kamu terburu-buru?" goda Nathan. "Tidak! Kata siapa? Aku cuma bilang ... Bukan, cuma tanya!" kilah Angeline. "Apa yang kamu tanyakan tadi? Aku kurang mendengar?" Angeline menatap tidak percaya. Lelaki ini sedang menggodanya? Padahal dia baru saja mengatakan hal penting? "Ah, lupakan saja. Lebih baik aku lari mengelilingi pulau," gerutu Angeline. Lelaki itu terkekeh. Reaksi Angeline terlihat menggemaskan baginya. Dengan satu gerakan Nathan mendorong wanitanya rebah dan mengungkungnya. "Kamu benar, Baby Girl. Bercinta tidak harus dilakukan di malam hari," bisik Nathan. Angeline mengejapkan mata. Jantungnya berdebar kencang, terutama karena Nathan memangkas jarak di antara mereka
Meskipun secara teknis kedua petinggi Golden Yue Group sedang cuti, tapi Gabriel dan Mike tetap memantau bisnis mereka yang berpusat di Macau. Apa pun dapat dilakukan di jaman serba modern ini. Apartemen mewah dua lantai yang mereka sewa selama satu bulan pun disulap menjadi kantor sementara. Gabriel duduk termenung di balkon dengan undangan pernikahan Angeline di tangan. Masih ada perasaan tidak rela karena dia tidak berhasil mendapatkan putrinya, sementara Nathan berhasil. Nathaniel Wayne, putra konglomerat yang memiliki masa lalu buruk tidak akan pernah masuk dalam kualifikasi sebagai menantu idaman. Namun, Angeline telah memilih. Gabriel tidak dapat berbuat apa-apa karena pasangan muda itu telah menjadi suami istri yang sah secara hukum. Lagipula Angeline belum menerimanya sebagai ayah, punya hak apa dia untuk memisahkan mereka? "Hei, Pa. Sampai kapan kamu mau memegangi undangan itu? Jangan sampai alamatnya luntur terkena gesekan tanganmu." Mike menghampiri ayahnya
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu