"Ramai sekali ...," bisik Angeline pada lelaki di sebelahnya. "Tentu saja. Alardo adalah putra satu-satunya keluarga Wilson. Pernikahannya harus dirayakan sebesar mungkin, apalagi pasangannya adalah putri pengusaha besar," ujar Nathan yang seperti biasa terlihat tampan dengan stelan jasnya. Angeline, di lain pihak, tampil sederhana namun manis dengan gaun pendek biru tua model babydoll. Wedges setinggi dua belas sentimeter membantunya terlihat seimbang dengan tinggi badan Nathan. Awalnya sedikit kesulitan, tapi sekarang Angeline sudah menguasai berdiri dan berjalan di atas wedges. "Lihat. Mereka baru akan melakukan wedding toast," ucap Nathan. Angeline melihat ke panggung. Pasangan yang berbahagia terlihat luar biasa tampan dan cantik. Pakaian mereka pastinya pilihan khusus, demikian juga dengan perhiasan di tubuh Sonya. Wajah Alardo terlihat bahagia. Bagaimana tidak? Akhirnya dia bisa mendapatkan wanita yang sudah dikagumi selama bertahun-tahun. "Nath, aku amb
Seluruh dunia seolah membeku. Mata Angeline membulat menatap lelaki di hadapannya. Apa-apaan dia? Memintanya tes DNA? Memang siapa dia? "Kamu berhak menolak atau menerimanya, Baby Girl," kata Nathan lembut. Angeline menatap Nathan, "Menurutmu?" "Hanya itu satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran. Apa pun hasilnya tidak akan mengubah hubungan kita." Nathan meremas tangan wanitanya. Wanita yang sedang shock itu kembali menatap Gabriel. Tidak mungkin! Tidak mungkin lelaki berwajah simpatik ini adalah ayahnya, lelaki pengecut yang meninggalkan ibunya dalam keadaan hamil! "Pikirkanlah Angeline. Beri tahu aku jawabanmu besok pagi. Oke?" Gabriel menyodorkan sebuah kartu nama. Angeline hanya menatap kartu nama itu tanpa berniat mengambilnya. "Besok pagi kami akan menghubungimu." Nathan mewakili wanitanya. Gabriel mengangguk. Reaksi keras Angeline sedikit banyak sudah dia perkirakan, tapi tak ayal dirinya merasa kecewa. Melihat tidak ada lagi yang bisa
Angeline mondar-mandir gelisah di ruangan Nathan. Kalau bisa dia ingin keluar dari ruangan yang terasa sesak ini, tapi tidak mungkin karena mereka sedang menunggu seseorang. Atau dua orang. Entahlah. Angeline sedang berusaha keras untuk berpikir jernih. "Duduklah, Baby Girl. Kamu membuatku ikut gelisah." Nathan tersenyum. Wanita itu menatap tajam, "Kamu tahu kan, apa yang membuatku gelisah?" Bagaimana Nathan tidak tahu? Pagi-pagi buta dia telah melihat hasil tes DNA Angeline yang menyatakan bahwa Gabriel adalah ayah kandungnya. Bukannya tidak mau berempati terhadap kegelisahan kekasihnya, tapi Nathan juga bersemangat karena akan memiliki relasi dengan Gabriel. Oh, tunggu dulu. Itu pun jika Angeline mau mengakui bahwa Gabriel adalah ayahnya. Beberapa menit kemudian Cindy menampakkan diri memberitahu bahwa Gabriel Maynard beserta putranya sudah tiba. Nathan menyuruh Cindy mempersilakan mereka masuk. Suasana di dalam ruangan menjadi hening begitu Gabriel dan M
"Hah? Apa ini??" Angeline ternganga melihat dokumen yang diantar ke kantor oleh kurir khusus pagi ini. "Kenapa? Bukankah kamu mau mempercepat pernikahan?" Nathan tersenyum geli terhadap reaksi wanitanya. Dokumen yang masih tertata rapi dalam map tebal tersebut mencantumkan nama mereka berdua dengan status suami istri di catatan sipil. Angeline mengambil selembar dan membaca semua tulisan yang ada, dua kali. "Dokumen ini sah. Secara hukum kita sudah menjadi suami istri," ucap Nathan. "Tapi ... bagaimana urusan dengan wedding organizer?" tanya Angeline yang masih merasa setengah bermimpi. "Pesta tetap berlangsung pada tanggal yang sudah ditetapkan. Aku bahkan sudah mengirimkan satu undangan untuk Gabriel." Angeline kembali terbengong. Memang, dia ingin mempercepat pernikahan agar Gabriel tidak memiliki kesempatan untuk menghalangi, hanya saja dia tidak menyangka Nathan akan bergerak lebih cepat dari perkiraannya. "Aku tidak mau memberi kesempatan pada Gab
Nathan membelai lembut wajah Angeline. Wajah cantik itu merona malu setelah mengungkapkan sedikit kesediaannya. Akan mudah bagi Nathan untuk melakukan sekarang juga, tapi dia ingin segalanya berkesan. Dia tidak ingin gegabah hingga mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan. "Kamu terburu-buru?" goda Nathan. "Tidak! Kata siapa? Aku cuma bilang ... Bukan, cuma tanya!" kilah Angeline. "Apa yang kamu tanyakan tadi? Aku kurang mendengar?" Angeline menatap tidak percaya. Lelaki ini sedang menggodanya? Padahal dia baru saja mengatakan hal penting? "Ah, lupakan saja. Lebih baik aku lari mengelilingi pulau," gerutu Angeline. Lelaki itu terkekeh. Reaksi Angeline terlihat menggemaskan baginya. Dengan satu gerakan Nathan mendorong wanitanya rebah dan mengungkungnya. "Kamu benar, Baby Girl. Bercinta tidak harus dilakukan di malam hari," bisik Nathan. Angeline mengejapkan mata. Jantungnya berdebar kencang, terutama karena Nathan memangkas jarak di antara mereka
Meskipun secara teknis kedua petinggi Golden Yue Group sedang cuti, tapi Gabriel dan Mike tetap memantau bisnis mereka yang berpusat di Macau. Apa pun dapat dilakukan di jaman serba modern ini. Apartemen mewah dua lantai yang mereka sewa selama satu bulan pun disulap menjadi kantor sementara. Gabriel duduk termenung di balkon dengan undangan pernikahan Angeline di tangan. Masih ada perasaan tidak rela karena dia tidak berhasil mendapatkan putrinya, sementara Nathan berhasil. Nathaniel Wayne, putra konglomerat yang memiliki masa lalu buruk tidak akan pernah masuk dalam kualifikasi sebagai menantu idaman. Namun, Angeline telah memilih. Gabriel tidak dapat berbuat apa-apa karena pasangan muda itu telah menjadi suami istri yang sah secara hukum. Lagipula Angeline belum menerimanya sebagai ayah, punya hak apa dia untuk memisahkan mereka? "Hei, Pa. Sampai kapan kamu mau memegangi undangan itu? Jangan sampai alamatnya luntur terkena gesekan tanganmu." Mike menghampiri ayahnya
Senin pagi. Tidak ada yang berbeda kecuali status kedua orang yang berada dalam ruangan Presiden Direktur, yaitu pasangan yang baru kembali dari bulan madu di Maldives. Tidak bergeser dari kebiasaannya sebagai seorang asisten pribadi, pagi-pagi sekali Angeline sudah menyediakan secangkir teh Inggris dan sekotak roti lapis buatan sendiri. Ketika Nathan turun ke kantor, hal pertama yang dia lakukan adalah memberikan ciuman selamat pagi. "Ehm ... Good morning." Angeline tersenyum simpul. "Kupikir kamu akan kembali ke atas ... ternyata tidak," lirih Nathan. Angeline tertawa kecil, "Bulan madunya sudah selesai, Pak. Sekarang kembali ke dunia nyata. Meeting sudah antre menunggu giliran tuh." "Biarkan mereka menunggu. Tidak ada yang lebih penting dari istriku." Dengan mudah Nathan mendudukkan tubuh mungil itu di atas meja. "Nathan! Nanti ada orang masuk!" protes Angeline. "Tidak ada yang akan masuk tanpa kuijinkan, Baby Girl." Nathan tersenyum menggoda. "Janga
"Menurutmu dia akan berbaik hati?" tanya Gabriel. "Setelah bingkisan yang kita kirimkan? Kurasa dia akan memikirkannya, Pa." Mike menyeringai. Gabriel melirik, "Maka dari itu kau harus menemuinya terlebih dulu untuk menjelaskan selusin lingerie yang kau kirimkan." "Papa tahu? Astaga, kupikir aku sudah cukup hati-hati menyembunyikan jejak pemakaian kartu kredit!" Mike tertawa. "Masih bisa tertawa?" Gabriel menekan pelipis. "Oke, oke, aku akan ke sana! Tenang saja, oke? Akan kupastikan dia mau bicara denganmu!" Mike mengangkat kedua tangan sebelum sang ayah melemparnya dengan sandal. "Pastikan kau membuat janji dulu dengannya!" seru Gabriel sebelum Mike menghilang di balik pintu. Sementara itu di gedung Wayne Group ... Suasana damai di ruangan Presiden Direktur terusik karena Angeline baru saja bersin tiga kali berturut-turut. Nathan yang sedang melakukan video call dengan entah siapa sedikit tercengang. Dia segera mengakhiri percakapan jarak jauh ter