Suara tawa Rafael memenuhi ruangan Presiden Direktur. Seorang wanita paruh baya sedang bercanda dengan bayi kecil itu, terkadang menggelitiknya sampai tertawa terpingkal-pingkal. Seluruh interaksi yang terjadi berada dalam pengamatan Nathan dan Angeline. "Bagaimana?" tanya Nathan. "Dia bagus. Rafa juga kelihatan nyaman dengannya." Angeline mengerucutkan bibir. Dia sedikit cemburu melihat putranya tertawa dalam pelukan orang lain. Nathan menangkap ekspresi aneh tersebut dan berkata, "Kita pertimbangkan dulu. Aku akan suruh dia pulang." Angeline mengangguk setuju. Beberapa waktu kemudian ruangan kembali sepi. Rafael telah kembali berada dalam gendongan Angeline. Bayi itu menyusu dengan mata terpejam, tampaknya lelah karena terlalu banyak tertawa. Angeline bersenandung lembut yang membuat Rafael semakin lelap. Sementara itu Nathan sedang melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dua calon asisten rumah tangga yang baru saja diwawancara. Kelihatannya tidak ada
"Anak Mama mau berenang? Enak ya, airnya hangat." Angeline menatap Rafael yang sedang dia mandikan dengan penuh cinta. Bayi itu menjawab dengan celoteh riang. Kedua kakinya menendang-nendang air sampai terpercik kemana-mana. Angeline tertawa. Dia tidak peduli bajunya basah oleh ulah Rafael. "Kulihat kamu yang lebih menikmati main air," celetuk Nathan yang baru melangkah keluar dari shower. Titik-titik air menetes dari rambutnya. "Nathan! Pakai handuk!" Angeline melotot. Lelaki itu terkekeh, "Tidak ada orang lain di sini, Baby Girl. Kamu masih bisa malu-malu?" "Memangnya Rafa bukan orang?" Angeline melirik sembunyi-sembunyi. Ya, memang, terkadang dia masih malu-malu jika melihat tubuh polos suaminya. "Airnya masih hangat? Jangan terlalu lama, nanti masuk angin." Nathan mencelupkan tangan ke dalam air mandi Rafael. Masih hangat. "Iya, Papa. Kamu pakai baju gih sana. Nanti Bu Yanti datang loh." "Kamu berharap dia masuk ke kamar?" "Tidak!" "Kala
"Kakak! Rasanya sudah lama tidak bertemu," seru Mike yang langsung memeluk dan mencium pipi Angeline. Angeline tertawa, "Padahal baru dua minggu lalu kamu kemari. Mendadak amnesia?" "Oh, Kakak tega. Masa adik yang manis ini dibilang amnesia?" rajuk Mike. Nathan berdeham. Mike cepat-cepat melepas pelukannya dan beralih pada si kakak ipar yang menyeramkan, "Kakak Ipar. Apa kabarmu?" "Hei, tidak usah berlebihan." Nathan mencegah Mike yang hendak memeluknya juga. "Kakak Ipar masih dingin seperti biasa. Mana keponakanku? Rafael, sini Paman gendong." Mike mengulurkan tangan pada Rafael yang ada di tangan Nathan. Bisa ditebak tangannya ditepis. "Cuci dulu tanganmu," ketus Nathan. "Baiklah." Dengan kepala tertunduk Mike mencuci tangan di wastafel. Angeline memukul lengan Nathan, "Kamu galak banget sih?" "Masih dalam taraf wajar." Nathan tersenyum. Gabriel yang sedari tadi sibuk dengan pikiran sendiri menghampiri pasangan yang sedang berdebat itu
Karena Gabriel dan Mike berada di mobil yang berbeda, mereka tidak melihat keadaan Angeline yang goyah karena emosi. Hanya Nathan yang menyaksikan kedua tangan wanita itu gemetar. Dia memeluk erat istrinya untuk menenangkan. "Kenapa hal buruk tidak juga berakhir? Bukankah seharusnya kita bisa menikmati hari-hari bahagia bertiga?" Angeline melontarkan pertanyaan yang menuntut. "Tidak usah cemas, Baby Girl. Tidak akan kubiarkan orang-orang itu mengganggu kebahagiaan kita. Aku pernah menghadapi yang lebih buruk." Nathan mengecup kening Angeline. Mereka berdua memperhatikan Rafael yang asyik menatap pemandangan di luar jendela. Diam-diam Angeline iri pada bayi kecil ini, begitu bahagia tanpa beban pikiran apa pun. "Nathan ... aku lelah." Angeline menyandarkan kepala di bahu kokoh Nathan dan menghela nafas panjang. "Aku selalu ada untukmu dan Rafael." Sepanjang perjalanan mereka berdua tidak bicara lagi, hanya saling meresapi kehangatan pasangannya. Dengan m
"Maaf ya Bu, tapi suami keberatan kalau ada orang luar yang masuk kemari. Soalnya ini bisa dibilang area pribadi kami. Kalau Bu Yanti 'kan kami sudah kenal lebih baik." Angeline tersenyum dengan harapan semoga wanita paruh baya itu mengerti. "Oh, tidak apa-apa, Nyonya. Saya maklum kok. Anak Ibu cuma penasaran, soalnya seumur-umur belum pernah masuk ke apartemen mewah," sahut Bu Yanti. Angeline mengangguk, "Aku mengerti, Bu." "Ngomong-ngomong hari ini Nyonya makan siang di luar?" tanya Bu Yanti kemudian. "Mungkin. Kenapa?" Angeline menangkap tangan Rafael yang menarik rambutnya. Dia sedang malas menyanggul rambut dan sebagai akibatnya rambut tersebut menjadi sasaran penarikan si bayi. "Saya mau ijin pulang cepat, mau temani anak saya ke rental komputer untuk print surat lamaran kerja. Soalnya selama dia tidak kerja saya yang pegang keuangan." "Oh, iya, boleh Bu. Nanti aku kasih tahu suami juga biar dia tidak kaget Bu Yanti hilang mendadak." "Baik. Terima
Angeline menatap curiga pada lelaki yang duduk di hadapannya. Penampilan yang cukup mengesankan. Kancing kemeja yang dipakai di dalam jaket kulit terbuka hingga dada, memperlihatkan tato yang mengintip dari tubuh lelaki itu. Rambutnya diikat ekor kuda. Kontras dengan penampilannya, Jonathan bersikap ramah terhadap semua orang, termasuk dua pengawal pribadi. Namun, Angeline tahu, semakin lawan bersikap baik, semakin dia berbahaya. "Ceritakan tentang dirimu, Angel. Kapan dan bagaimana kamu bertemu Gabriel? Apakah dia langsung mengenalimu sebagai putrinya?" tanya Jonathan. "Tanya sendiri padanya. Bukankah kalian saudara sepupu?" cetus Angeline. Jonathan mengangkat alis, "Salahkah aku mencari topik obrolan?" Angeline mengerucutkan bibir, "Kalau mau ngobrol lebih baik bicarakan apa rencanamu terhadap kami." Senyum yang selalu tampak di wajah Jonathan melebar. Dia tidak salah mengagumi wanita pemberani ini. Sudah lama dia tidak menemukan wanita yang berani melawan ba
Dengan Rafael berada di tangan Jonathan, Angeline tidak dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa berharap lelaki itu masih memiliki cukup hati nurani untuk tidak menyakiti seorang bayi kecil. Jantung Angeline berdegup kencang mengawasi Jonathan membelai rambut Rafael. "Seperti kukatakan tadi, kamu dan anakmu berharga karena aku dapat menggunakanmu untuk menundukkan Nathaniel. Membawamu ke Macau berarti menangkap dua burung dengan satu lemparan batu," tutur Jonathan. "Lalu apa? Begitu sampai di Macau tidak ada yang dapat menjamin keselamatan kami! Siapa yang tahu apa rencana busuk kalian??" sergah Angeline. Jonathan menatap dalam, "Aku sendiri yang akan menjamin keselamatanmu." Angeline mengejapkan mata, "Dan Nathan?" "Dia tidak ada hubungannya denganku." Lelaki itu kembali menunduk memperhatikan Rafael. Bayi itu terlihat nyaman dalam gendongan Jonathan. "Kalian tidak bisa berbuat seperti itu. Nathan tidak akan membiarkan kalian membawa kami pergi," desis Angeli
"Aku mau ke kamar mandi," sergah Angeline yang lelah akibat perjalanan jauh. "Silakan." Jonathan berjalan ke kamar mandi. "Lepasin borgol brengsek ini!" Lelaki itu menatap heran, entah serius entah berpura-pura, "Memang kenapa?" "Kamu tidak bisa ikut ke dalam kamar mandi! Beri aku privasi!" "Itu maksudmu? Baiklah. Aku akan menutup mata." Jonathan terus saja berjalan, menarik tawanannya ke dalam kamar mandi. "Tidak bisa! Aku perlu kedua tangan!" Angeline menyentak tangan kirinya yang terborgol. "Apa yang perlu kamu lakukan? Aku bisa membantu." "Oh! Dasar brengsek! Sialan! Jangan harap!" Jonathan tertawa. Wajah sengsara Angeline cukup memuaskan baginya. Dia pun membuka borgol yang melingkar di tangannya, "Silakan." Begitu Jonathan keluar dari kamar mandi Angeline cepat-cepat mengunci pintu. Dia bernafas lega karena akhirnya bisa lepas dari lelaki itu. Berjam-jam duduk di pesawat membuat tubuhnya pegal-pegal. Angeline melihat sekeliling. Ka
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu