Sepasang mata indah Angeline membulat. Dia nyaris tidak percaya Nathan mengucapkan kata-kata itu. Apa tadi? Berkata bahwa dia adalah wanitanya? Sepertinya lelaki itu menderita narsistik akut. "Nathan! Aku belum menyetujui apa-apa! Kenapa menyebutku wanitamu?" ketus Angeline. "Terdengar bagus, bukan? Jika semua orang sudah tahu kamu wanitaku, tidak akan ada yang berani mengganggumu. Tidak juga berani bergosip." Nathan memanfaatkan momen dengan melangkah ke arah Angeline. "Stop! Jangan mendekat!" Angeline menjaga jarak. Nathan berhenti. "Aku tidak suka sebutan itu. Membuatku terdengar seperti wanita simpanan," cetus Angeline. "Kalau begitu apa?" pancing Nathan. Angeline memicingkan mata, "Aku tidak akan terjebak. Tidak. Untuk saat ini kita masih sebagai teman. Hanya satu ciuman tidak lantas membuat kita memiliki hubungan khusus." Senyum Nathan melebar. Betapa inginnya dia memeluk dan mencium bibir wanita itu sampai kehabisan nafas, kemudian menciumi l
Alardo memicingkan mata memperhatikan wajah sahabatnya yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan dan entah dia ingin tahu atau tidak. "Kepalamu terbentur sesuatu?" tanya Alardo yang tidak tahan lagi. "Ejeklah sesukamu. Aku sedang senang hari ini," ujar Nathan. Kedua alis Alardo bertaut, kemudian terangkat tinggi, "Ini pasti ada hubungannya dengan pacarmu! Apa yang terjadi? Kalian melakukan ...." "Tidak." "Tidak? Lalu apa yang terjadi? Dia memutuskanmu?" tebak Alardo. "Heh, mulutmu busuk sekali," cetus Nathan. "Begini rupanya kelakuan lelaki yang sedang jatuh cinta. Sangat tidak masuk di akal." Alardo geleng-geleng kepala. "Apa?" "Sungguh tidak dapat dimengerti. Aku tidak akan mengerti. Apa bagusnya monogami? Terlalu banyak wanita cantik di dunia dan hidup terlalu singkat untuk hanya menyukai satu wanita," cerocos Alardo. Dia menghabiskan minuman di gelas dalam sekali tenggak. Nathan mengamati sahabatnya,
"Hei, bangun." Lelaki yang masih berselonjor di sofa itu tidak bergerak sedikit pun. "Nathan, bangun." Angeline mengguncang bahu Nathan. "Hmmm ...." Angeline berdecak keki ketika Nathan malah berbalik memunggunginya. Melihat wajah seram itu pulas seperti bayi membuat Angeline ingin memasukkan sepotong es batu ke dalam kaos Nathan. Tersenyum geli oleh idenya sendiri, dia memutuskan untuk membiarkan lelaki itu tidur sepuasnya. Minggu pagi adalah waktu yang sempurna untuk membersihkan apartemen, mencuci pakaian, juga bersantai ria sambil menonton film kesukaan. Semoga saja kehadiran Nathan yang menginap sejak semalam tidak mengganggu rutinitas. Memakai kaos longgar dan celana pendek, Angeline—yang sudah selesai mencuci—sibuk membersihkan jendela kamar. Tangannya menjangkau sudut teratas kaca sampai berjinjit. Dia tidak suka melihat ada noda yang tertinggal. Wanita itu terkesiap saat seseorang memeluknya dari belakang. Refleks yang terlatih membuat tangannya se
"Oh sial ...! Jam berapa ini??" Angeline melihat jam di handphone. "Angel! Bangun!" seru Nathan sambil menggedor pintu kamar. Keributan itulah yang membangunkan Angeline dari tidur teramat lelap. "Yaaa! Sudah bangun!" Wanita itu menyambar handuk, membuka pintu, menabrak Nathan, dan terus berlari ke kamar mandi. "Astaga, huru-hara sekali? Tenang saja. Waktu kita masih banyak sebelum penerbangan." Nathan terdorong mundur selangkah. "Aku belum berkemas! Gara-gara kamu ajak bergadang!" seru Angeline di sela debur air. Nathan terkekeh, "Tapi kamu menikmatinya, kan?" "Nathan! Jangan bicara seolah-olah kita sudah melakukan sesuatu yang aneh! Kita cuma mengobrol!" Wanita di dalam kamar mandi menyerukan protes keras. "Mandi yang cepat. Kita masih harus ke tempatku," ujar Nathan. "Iya, iya! Sudah tahu, Bawel!" "Hei, aku masih bosmu." "Biarin!" Setelah mandi dan berpakaian, Angeline menjejalkan benda keperluan tiga hari dua malam dalam satu koper b
Pukul tujuh malam semua petinggi perusahaan se-Asia Tenggara berkumpul di hall maha besar untuk santap malam bersama. Masing-masing undangan dibebaskan untuk memilih di meja mana mereka akan duduk dan bersama siapa. Suasana sedikit santai meskipun semua orang berbusana formal. "Oi! Nathan!" Seseorang berseru memanggil. Angeline langsung menoleh ke arah sumber suara dan melihat Alardo yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Lelaki muda itu melangkah lebar-lebar ke arah mereka. "Kita cari meja lain." Nathan menarik tangan Angeline untuk menjauhi buaya, maksudnya Alardo. "Hei, tunggu! Mau ke mana kalian?" Alardo mempercepat langkah. "Nathan, ini aku pakai sepatu hak tinggi, jangan cepat-cepat!" protes Angeline. "Aku bisa menggendongmu kalau perlu," sahut Nathan sekenanya. "Tidak boleh!" Angeline melotot. "Hei! Kenapa begitu melihatku kalian malah kabur? Aku mau mengajak kalian duduk bersama. Ayahku sedang asyik mengobrol dengan bos perusahaan
"Angel? Bangun, sudah pagi! Angel?" Nathan sudah sibuk mengetuk pintu kamar Angeline. Tidak ada jawaban. "Hello? Angel? Bangun atau aku masuk dengan paksa." Nathan terus mengetuk. Tetap tidak ada jawaban. Mondar-mandir di depan kamar Angeline, Nathan mempertimbangkan pilihan yang terbaik, apakah akan langsung mendobrak pintu atau minta kunci pada pihak manajemen hotel. "Pagi, Pak. Loh, saya pikir sudah siap ke aula seminar?" sapa Cindy yang datang dengan pakaian formal. Nathan mengernyit, "Kenapa kamu berpakaian rapi?" "Semalam Angel meminta saya untuk menggantikannya ikut seminar hari ini. Dia bilang ada keperluan mendadak di Jakarta jadi pulang duluan," tutur Cindy. Nathan menekan pangkal hidung, "Dia kabur." Cindy meringis. Tanpa berkata apa pun Nathan kembali ke kamarnya. "Pak? Seminarnya?" Cindy mengejar. "Tidak perlu lagi." Pada waktu hampir bersamaan di Jakarta, tepatnya di gedung apartemen tempat Angeline tinggal ...
Sepasang mata indah itu menatap tidak percaya. Tangannya memegang lembaran-lembaran kontrak kerja yang dibuat di kop surat Wayne Group. Cukup lama Angeline berdiri tanpa suara di depan meja Nathan. "Mulai hari ini kamu tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan," ucap Nathan. "Tapi?" Nathan tersenyum, "Tidak ada 'tapi'. Ini sebagai bukti itikad baikku." Angeline menatap kontrak kerja di tangan, "Ini lembaran aslinya?" "Kamu benar-benar sulit percaya padaku ya? Itu asli, bukan copy." "Berarti aku bisa resign kapan saja dong?" tanya Angeline. Nathan berdeham, "One month notice. Tanpa penalti." "Buatkan secara tertulis dong. Nanti kubingkai dan kugantung di kamar." Nathan tertawa, "Hei, sedemikian bahagianya kamu mendapat kebebasan? Seperti bebas dari penjara saja." Angeline mengulum senyum, "Tuh, kamu tahu." "Kemarilah." "Apa? Tidak mau. Ini masih jam kerja." "Tidak ada yang akan tahu apa yang kita lakukan di dalam sini. Kemari."
"Emm ... Jadi jam berapa kamu mau antar aku pulang?" tanya Angeline ketika langit sudah gelap. "Sekarang masih pagi," sahut Nathan. "Masih pagi untuk ukuran vampir mungkin." "Hmm ...." "Aku bisa pulang sendiri kok. Tidak usah repot-repot," sinis wanita itu. Nathan yang sedang membalas email di laptop menghentikan pekerjaannya dan mencurahkan seluruh perhatian pada Angeline yang berdiri di depan jendela. Tatapannya seolah meminta belas kasihan. "Sabarlah, Angel. Memangnya kamu sudah tidak betah di sini?" tanya Nathan. "Aku di sini sejak siang loh! Aku mau pulang, mandi, dan tidur. Kamu membajak waktu istirahatku. Dasar penjajah!" gerutu Angeline. Wanita itu berjalan menuju sofa dan menghempaskan diri. Nathan yang duduk di ujung sofa sigap memegangi laptop agar tidak jatuh karena guncangan. "Mandilah dulu. Kamu bisa pinjam bajuku." Seulas senyum terkembang di bibir Nathan. Membayangkan Angeline memakai pakaiannya menimbulkan debar yang tidak biasa.