Alardo memicingkan mata memperhatikan wajah sahabatnya yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan dan entah dia ingin tahu atau tidak. "Kepalamu terbentur sesuatu?" tanya Alardo yang tidak tahan lagi. "Ejeklah sesukamu. Aku sedang senang hari ini," ujar Nathan. Kedua alis Alardo bertaut, kemudian terangkat tinggi, "Ini pasti ada hubungannya dengan pacarmu! Apa yang terjadi? Kalian melakukan ...." "Tidak." "Tidak? Lalu apa yang terjadi? Dia memutuskanmu?" tebak Alardo. "Heh, mulutmu busuk sekali," cetus Nathan. "Begini rupanya kelakuan lelaki yang sedang jatuh cinta. Sangat tidak masuk di akal." Alardo geleng-geleng kepala. "Apa?" "Sungguh tidak dapat dimengerti. Aku tidak akan mengerti. Apa bagusnya monogami? Terlalu banyak wanita cantik di dunia dan hidup terlalu singkat untuk hanya menyukai satu wanita," cerocos Alardo. Dia menghabiskan minuman di gelas dalam sekali tenggak. Nathan mengamati sahabatnya,
"Hei, bangun." Lelaki yang masih berselonjor di sofa itu tidak bergerak sedikit pun. "Nathan, bangun." Angeline mengguncang bahu Nathan. "Hmmm ...." Angeline berdecak keki ketika Nathan malah berbalik memunggunginya. Melihat wajah seram itu pulas seperti bayi membuat Angeline ingin memasukkan sepotong es batu ke dalam kaos Nathan. Tersenyum geli oleh idenya sendiri, dia memutuskan untuk membiarkan lelaki itu tidur sepuasnya. Minggu pagi adalah waktu yang sempurna untuk membersihkan apartemen, mencuci pakaian, juga bersantai ria sambil menonton film kesukaan. Semoga saja kehadiran Nathan yang menginap sejak semalam tidak mengganggu rutinitas. Memakai kaos longgar dan celana pendek, Angeline—yang sudah selesai mencuci—sibuk membersihkan jendela kamar. Tangannya menjangkau sudut teratas kaca sampai berjinjit. Dia tidak suka melihat ada noda yang tertinggal. Wanita itu terkesiap saat seseorang memeluknya dari belakang. Refleks yang terlatih membuat tangannya se
"Oh sial ...! Jam berapa ini??" Angeline melihat jam di handphone. "Angel! Bangun!" seru Nathan sambil menggedor pintu kamar. Keributan itulah yang membangunkan Angeline dari tidur teramat lelap. "Yaaa! Sudah bangun!" Wanita itu menyambar handuk, membuka pintu, menabrak Nathan, dan terus berlari ke kamar mandi. "Astaga, huru-hara sekali? Tenang saja. Waktu kita masih banyak sebelum penerbangan." Nathan terdorong mundur selangkah. "Aku belum berkemas! Gara-gara kamu ajak bergadang!" seru Angeline di sela debur air. Nathan terkekeh, "Tapi kamu menikmatinya, kan?" "Nathan! Jangan bicara seolah-olah kita sudah melakukan sesuatu yang aneh! Kita cuma mengobrol!" Wanita di dalam kamar mandi menyerukan protes keras. "Mandi yang cepat. Kita masih harus ke tempatku," ujar Nathan. "Iya, iya! Sudah tahu, Bawel!" "Hei, aku masih bosmu." "Biarin!" Setelah mandi dan berpakaian, Angeline menjejalkan benda keperluan tiga hari dua malam dalam satu koper b
Pukul tujuh malam semua petinggi perusahaan se-Asia Tenggara berkumpul di hall maha besar untuk santap malam bersama. Masing-masing undangan dibebaskan untuk memilih di meja mana mereka akan duduk dan bersama siapa. Suasana sedikit santai meskipun semua orang berbusana formal. "Oi! Nathan!" Seseorang berseru memanggil. Angeline langsung menoleh ke arah sumber suara dan melihat Alardo yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Lelaki muda itu melangkah lebar-lebar ke arah mereka. "Kita cari meja lain." Nathan menarik tangan Angeline untuk menjauhi buaya, maksudnya Alardo. "Hei, tunggu! Mau ke mana kalian?" Alardo mempercepat langkah. "Nathan, ini aku pakai sepatu hak tinggi, jangan cepat-cepat!" protes Angeline. "Aku bisa menggendongmu kalau perlu," sahut Nathan sekenanya. "Tidak boleh!" Angeline melotot. "Hei! Kenapa begitu melihatku kalian malah kabur? Aku mau mengajak kalian duduk bersama. Ayahku sedang asyik mengobrol dengan bos perusahaan
"Angel? Bangun, sudah pagi! Angel?" Nathan sudah sibuk mengetuk pintu kamar Angeline. Tidak ada jawaban. "Hello? Angel? Bangun atau aku masuk dengan paksa." Nathan terus mengetuk. Tetap tidak ada jawaban. Mondar-mandir di depan kamar Angeline, Nathan mempertimbangkan pilihan yang terbaik, apakah akan langsung mendobrak pintu atau minta kunci pada pihak manajemen hotel. "Pagi, Pak. Loh, saya pikir sudah siap ke aula seminar?" sapa Cindy yang datang dengan pakaian formal. Nathan mengernyit, "Kenapa kamu berpakaian rapi?" "Semalam Angel meminta saya untuk menggantikannya ikut seminar hari ini. Dia bilang ada keperluan mendadak di Jakarta jadi pulang duluan," tutur Cindy. Nathan menekan pangkal hidung, "Dia kabur." Cindy meringis. Tanpa berkata apa pun Nathan kembali ke kamarnya. "Pak? Seminarnya?" Cindy mengejar. "Tidak perlu lagi." Pada waktu hampir bersamaan di Jakarta, tepatnya di gedung apartemen tempat Angeline tinggal ...
Sepasang mata indah itu menatap tidak percaya. Tangannya memegang lembaran-lembaran kontrak kerja yang dibuat di kop surat Wayne Group. Cukup lama Angeline berdiri tanpa suara di depan meja Nathan. "Mulai hari ini kamu tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan," ucap Nathan. "Tapi?" Nathan tersenyum, "Tidak ada 'tapi'. Ini sebagai bukti itikad baikku." Angeline menatap kontrak kerja di tangan, "Ini lembaran aslinya?" "Kamu benar-benar sulit percaya padaku ya? Itu asli, bukan copy." "Berarti aku bisa resign kapan saja dong?" tanya Angeline. Nathan berdeham, "One month notice. Tanpa penalti." "Buatkan secara tertulis dong. Nanti kubingkai dan kugantung di kamar." Nathan tertawa, "Hei, sedemikian bahagianya kamu mendapat kebebasan? Seperti bebas dari penjara saja." Angeline mengulum senyum, "Tuh, kamu tahu." "Kemarilah." "Apa? Tidak mau. Ini masih jam kerja." "Tidak ada yang akan tahu apa yang kita lakukan di dalam sini. Kemari."
"Emm ... Jadi jam berapa kamu mau antar aku pulang?" tanya Angeline ketika langit sudah gelap. "Sekarang masih pagi," sahut Nathan. "Masih pagi untuk ukuran vampir mungkin." "Hmm ...." "Aku bisa pulang sendiri kok. Tidak usah repot-repot," sinis wanita itu. Nathan yang sedang membalas email di laptop menghentikan pekerjaannya dan mencurahkan seluruh perhatian pada Angeline yang berdiri di depan jendela. Tatapannya seolah meminta belas kasihan. "Sabarlah, Angel. Memangnya kamu sudah tidak betah di sini?" tanya Nathan. "Aku di sini sejak siang loh! Aku mau pulang, mandi, dan tidur. Kamu membajak waktu istirahatku. Dasar penjajah!" gerutu Angeline. Wanita itu berjalan menuju sofa dan menghempaskan diri. Nathan yang duduk di ujung sofa sigap memegangi laptop agar tidak jatuh karena guncangan. "Mandilah dulu. Kamu bisa pinjam bajuku." Seulas senyum terkembang di bibir Nathan. Membayangkan Angeline memakai pakaiannya menimbulkan debar yang tidak biasa.
Angeline merengut sebal. Dia duduk memunggungi Nathan yang sedang menyetir mobil. Sebal sekali rasanya, sudah berdebat setengah mati dan mengalah, ternyata Nathan malah memutuskan untuk tidak ke kantor. Bukankah energi yang dia keluarkan untuk berdebat jadi sia-sia? Sekarang mereka sedang menuju apartemen Angeline dan wanita itu telah mengabaikan Nathan sepanjang perjalanan. Sesekali si pengemudi melirik dari kaca spion. Dia tersenyum geli melihat wajah cantik yang merengut. "Angel." "Apa??" sahut Angeline galak. "Sepertinya kamu butuh kasih sayang lebih. Bagaimana kalau aku menepikan mobil dan—" "Tidak boleh!" potong Angeline. Nathan tertawa, "Astaga, apa salahku?" Angeline melengos. Berdebat dengan Nathan membutuhkan banyak energi dan dia sedang malas membuang tenaga. Lebih baik melihat pepohonan hijau yang menyejukkan di tepi jalan. "Sepertinya hari ini aku akan menghabiskan waktu di apartemenmu," ujar Nathan. "Kurang kerjaan," cetus Angelin
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu