Diam-diam Angeline melirik ke arah Gabriel dan Jonathan yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dia sendiri bersama Rafael dan Nathan masih duduk di meja makan. Mike sudah kembali ke rumah sebelah dan Gloria sibuk merapikan dapur. "Menurutmu apa tujuannya?" tanya Angeline dengan suara pelan. "Mungkin ingin menghabiskan sisa hidup dengan bersenang-senang tanpa tanggung jawab," sahut Nathan yang sedang memasukkan irisan daging ke panci. "Hmm ... Memang dia orang seperti itu?" Nathan menoleh, "Baby Girl, kita tidak mengenalnya secara pribadi. Aku tidak dapat menebak sedalam itu." "Iya, betul. Lebih baik tidak usah dipikirkan." Angeline bergidik. "Sekarang makan yang banyak. Ingat, kamu makan untuk dua orang." Nathan memindahkan daging yang sudah matang ke mangkok Angeline. "Thank you, Honey Bunny," bisiknya. "You're welcome." "Mama, mau," pinta Rafael. "Oh, iya, iya. Mama potong dulu." Angeline memotong irisan daging menjadi potongan kecil-kec
Pagi-pagi sekali ... Terjadi percakapan serius di antara Nathan dan Angeline pada malam sebelum keberangkatan mereka ke resor di Kepulauan Seribu untuk gathering. "Kamu yakin bisa ikut ke pulau dalam keadaan hamil muda?" Nathan menatap perut Angeline. "Bisa, Nath. Kamu tidak membawaku panjat tebing atau bungee jumping, 'kan? Kita melalui perjalanan di darat dan laut yang tenang. Tidak akan ada guncangan." Angeline meyakinkan. Dia tidak mau kehilangan kesempatan menikmati udara segar. "If you say so. Tapi kalau ada peringatan cuaca buruk, kamu dan Rafa harus tetap di rumah." "Iya, Sayangku, my Honey Bunny." Angeline menangkup wajah Nathan. "Oke. Semua sudah disiapkan?" "Sudah." "Vitaminmu?" "Sudah." Nathan mengangguk perlahan. Sikap over protektifnya muncul kembali karena kehamilan kedua Angeline. Perjalanan ke pulau memang sangat tenang karena menurut ramalan cuaca hari ini sangat cerah. Angin laut tidak terlalu kencang sehingga yacht yang m
"Nathan!! Bangun!!" Angeline mengguncang suami yang tidur nyenyak dengan panik. "Uhm ... Angel?" Nathan terbangun dengan susah payah dari mimpi indah. "Aku pecah ketuban!" Lelaki itu langsung terjaga, "Shit! Mana perlengkapanmu?" "Itu, tasnya di dalam lemari. Aku ke kamar mandi dulu." Kedua tangan Angeline gemetar karena lonjakan adrenalin. Nathan bergerak cepat membereskan segala sesuatu. Tidak lupa membangunkan Gloria agar menjaga Rafael, juga menelepon Gabriel. Setelah beres semua dia menuntun Angeline yang telah berganti pakaian ke mobil. Ketika Nathan melajukan mobil keluar pekarangan, mobil Gabriel menyusul tepat di belakang mereka. Iring-iringan mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Selagi di jalan Angeline menelepon dokter bahwa dia mengalami pecah ketuban. Segera setelah tiba di rumah sakit perawat mengantar Angeline ke bangsal persalinan. Nathan dan Gabriel mendampingi. "Lagi-lagi pecah ketuban," keluh Angeline yang sebenarnya i
Pendar lembut rembulan menyusup lewat jendela kamar yang tidak tertutup tirai. Satu-satunya penerang dalam kegelapan malam tersebut jatuh di tempat tidur berukuran king size, tempat dua tubuh menggeliat seirama dalam pergumulan yang semakin memanas. Suara-suara lirih keluar dari bibir merah muda merekah, menandakan hasrat kian bergelora. Sampai tiba-tiba ... Suara tangis bayi memecah keheningan malam. Angeline yang sedang berada di bawah Nathan serta-merta mendorong lelaki itu ke samping. Prioritas saat ini adalah menenangkan bayi berusia lima bulan yang mungkin lapar di tengah malam. Angeline membungkus tubuh seadanya dengan selimut dan mengambil Olivia dari boks. Nathan yang terguling ke samping hanya bisa mengerang tak berdaya. Nasib lelaki yang sedang fokus bercinta dengan istri, tapi harus berhenti di tengah jalan karena anak terbangun. Dengan gontai Nathan memakai kembali celananya. "Sorry ... Aku terlalu keras menendangmu?" ucap Angeline penuh penyesalan. Ol
"Untung tidak masalah bagi Oliv untuk berpergian dengan pesawat. Tidak perlu menunggu sampai dua atau tiga bulan ke depan." Angeline memandangi Olivia yang sedang minum ASI dari botol menjelang pendaratan. "Betul sekali. Rafael juga senang bisa naik pesawat. Ya, 'kan?" Nathan mengacak-acak rambut putranya. "Hmph! Papa! Tidak mau!" protes Rafael. "Papa jahil ih," timpal Angeline. "Sorry, Papa rapikan lagi rambutnya." Sambil terkekeh Nathan menyisiri rambut Rafael sebisanya. Anak kecil itu merengut semaksimal mungkin. Dia memang paling keki kalau Nathan menjahilinya. Gloria yang duduk tepat di belakang keluarga kecil ini tidak banyak berkomentar. Dia memanfaatkan waktu untuk istirahat. "Kulihat kalian bukan seperti papa dan anak, tapi seperti dua bersaudara yang sedang bertengkar," celetuk Angeline. Nathan tertawa, "Yah, mungkin ini efek samping sebagai anak tunggal." Angeline menoleh, "Rico tetap tidak masuk hitungan ya?" "Dia hanya adik tiri."
Akhir minggu tiba. Semua orang datang ke restoran hotel bintang lima milik Golden Yue Group untuk makan malam bersama. "Well, sepertinya ini hari membawa pasangan masing-masing," ujar Nathan. Angeline mengerucutkan bibir melihat Gabriel datang bersama seorang wanita yang terlihat jauh lebih muda, bahkan mungkin hanya berusia beberapa tahun di atas Nathan. Cantik dan penampilannya cuek sih, tapi kenapa harus memilih yang sangat muda? "Aku tidak perlu kamu untuk memperkeruh keadaan, Boy," balas Gabriel. "Hai semuanya. Perkenalkan, aku Veronica. Panggil saja Vera." Wanita berambut pendek sebahu itu menyapa semua orang dengan keramahan yang tidak dibuat-buat. "Hai, Vera. Duduklah di sini." Ruby melambai. Vera pun duduk di sebelah Ruby, sementara Gabriel duduk di sebelahnya. "Pantas saja Papa mengundang kami ke hotel. Rupanya mau memperkenalkan seseorang." Angeline tersenyum manis. Kemanisan yang menyembunyikan sindiran. Nathan mengenali kesinisan tersel
Ternyata Angeline terjaga sepanjang malam. Otaknya terus memikirkan pacar baru Gabriel, mengkhawatirkan apakah wanita itu benar-benar tulus atau tidak. Memandangi wajah Nathan yang terlelap dia berpikir, mungkin ada baiknya minta si suami menyelidiki latar belakang Vera. Namun, pada akhirnya, setelah bergulat selama beberapa waktu dengan pikirannya sendiri, Angeline memutuskan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Gabriel bukan orang bodoh. Dia pasti telah terlebih dulu melakukan penyelidikan. Angeline menghela nafas. Dia memarahi otaknya yang terus bekerja. Dalam usahanya untuk bisa tidur, dia menyusup masuk ke dalam lengan Nathan. Pergerakan tersebut malah membuat si lelaki terbangun. "Hey, Baby Girl ... masih terjaga?" gumam Nathan. "Aku tidak bisa tidur," lirih Angeline. Nathan mengusap punggung istrinya dan bertanya, "Kenapa? Memikirkan papamu?" "Uhm ... iya." Lelaki itu terkekeh, "Dia beruntung punya putri sepertimu. Semoga di masa depan Oliv juga
Rintik hujan menyambut tibanya keluarga kecil Nathan di Jakarta. Tanpa menunda lagi mereka segera pulang ke rumah. Olivia—seperti bayi-bayi pada umumnya—tidur nyenyak setelah menyusu, sedangkan Rafael bergerak-gerak gelisah karena terlalu lama duduk diam di pesawat. "Melihat Rafa aktif seperti ini kurasa sudah waktunya kulatih beladiri," cetus Nathan. Angeline memandangi Rafael yang sedang bermain drum imajiner, "Ide bagus. Dia bisa menyalurkan energi berlebih." Nathan mencondongkan tubuh ke arah sang istri yang duduk di sebelahnya, "Kamu juga perlu berlatih, Baby Girl." "Aku? Aduh, Nath. Badanku rasanya tidak kuat lagi. Sudah setahun lebih tidak latihan fisik, bisa-bisa aku pingsan," keluh Angeline. "Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Bagaimana kalau kita sparring malam ini?" "Aku lelah. Butuh istirahat," rajuk Angeline. "Kalau begitu besok pagi." "Pagi-pagi bukannya kita olahraga di tempat tidur?" bisik Angeline. Nathan nyaris tertawa, "Setel
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu