Gio melihat sekelilingnya. Beberapa pegawai yang pulang lambat memperhatikan dia dan Shiany. Sangat tidak bagus mereka melihat Gio dengan seorang wanita yang sedang menangis. Lebih baik Gio mengajak Shiany pergi dan mencari tempat untuk menenangkan dirinya. “Bu Shiany, kita pergi. Jangan menangis di sini,” kata Gio. “Aku bingung, Pak. Aku harus gimana.” Shiany menyahut tapi tidak membuka tangannya. “Oke. Kita pergi ke tempat yang kamu maksud,” ujar Gio dengan berat hati. “Sungguh? Pak Gio mau ikut denganku?” Shiany membuka kedua tangannya. Wajahnya basah dengan air mata. Sorotan sedih tampak di sana. “Ya, ayo.” Gio makin tidak enak beberapa orang terus memperhatikan dia dan Shiany. Gio cepat masuk ke mobil. Shiany pun beranjak, masuk ke dalam mobilnya sendiri. Di dalam mobil dia menghapus air matanya dengan tisu. Senyumnya melebar. “Berhasil. Aku tidak akan berbuat kebodohan kali ini. Lihat saja, Pak Gio, tinggal sedikit lagi kamu akan takluk sama aku,” kata Shiany dengan
Seandainya bisa, Gio ingin menghilang dan langsung muncul lagi di depan distro. Dia tidak sabar untuk bertemu Veronica dan bicara dengannya. “Jadi, Veronica minta putus setelah mendapat kiriman foto-foto dari Shiany? Lalu dia mau membuka hatinya pada Jodi karena berpikir aku hanya menipunya? Gila! Shiany ternyata benar-benar gila,” kata Gio geram. Jalanan masih lumayan padat, Gio tidak bisa meluncur dengan cepat seperti yang dia harapkan. Kesal rasanya dan perjalanan pun terasa sangat lambat. “Ayo, cepat, cepat …” ucap Gio gusar. Setelah bergelut dengan penuhnya lalu lintas, akhirnya Gio berhasil masuk ke jalanan perumahan. Beberapa menit lagi, dia akan sampai di distro. Dada Gio mulai berdetak sangat kuat. Wajah cantik Veronica mulai terpampang di pikirannya. Dia rindu, sangat rindu pada Veronica. Tapi rasa marah dan kecewa menutupi semuanya. Distro tampak cukup ramai. Padahal sudah hampir jam delapan malam. Gio tidak begitu memperhatikan yang lain. Dia memarkir mobil dan de
Gio mengurai senyum kecil di ujung bibirnya. Dia memandang Veronica dan mengangguk pelan."Ya. Sejak tahu Jodi menemuimu meskipun memang ada urusan pekerjaan, aku sudah tahu dia pasti akan mencoba mendekati kamu." Gio membuka pikiran yang sempat menyusup di kepalanya tapi tidak dia katakan pada Veronica."Alasannya?" Veronica menatap Gio lebih lekat."Jodi dikenal pengagum wanita dan suka bermain dengan mereka," jawab Gio. "Kamu cantik dan menarik. Kamu cerdas dan penuh semangat. Akan sangat mudah pria mengagumi kamu, Vero. Apalagi Jodi.""Karena itu sebenarnya Kak Gio agak berat melepas aku bekerja sama dengan Pak Jodi?" tanya Veronica lebih jauh."Boleh kamu katakan begitu," ujar Gio."Dari mana Kak Gio pikir aku tertarik dengan Pak Jodi?" Veronica masih ingin mengerti isi hati Jodi, dia bertanya lagi."Ah, kenapa kamu tanya itu?" Gio menaikkan kedua alisnya. “Hmm?” Veronica mengangkat kedua bahunya. Dia masih heran Gio bisa menduga Veronica begitu mudah beralih hati pada pria lain
"Bye, Pa! Sukses ya!!" Maureen melambai pada Gio yang sudah ada di dalam mobil. "Thank you. Kamu juga baik-baik di rumah. Hati-hati kalau pergi ke pantai." Dia siap berangkat menjemput Veronica lalu bersama meluncur ke Bandung. Maureen sebenarnya ingin sekali ikut. Tetapi karena Gio akan pergi beberapa hari, Gio tidak mengijinkan. Begitu juga dengan Felipe dan Reggy. Gio tidak mau mereka bolos sekolah karena urusannya. Gio akan melamar resmi Veronica pada orang tuanya. Gio mengajak adik satu-satunya, Marco Franciscus Hendrick, untuk ikut serta sebagai keluarga. Marco tinggal di Yogyakarta bersama keluarganya. Dia menunggu Gio menjemput, lalu lanjut ke Bandung bersama. Sementara sang ayah memperjuangkan kelancaran urusan cintanya dengan Veronica, anak-anak akan healing di pantai. Rencana camping akhirnya matang dan siap dieksekusi. Hari itu persiapan terakhir dan esok pagi-pagi mereka akan meluncur menuju pantai di Malang selatan. Reggy dan Randy bagian mengurus tenda. Maureen deng
"Semua siap, ya?!" Seru Reggy. "Oke ... Mantapp ... Siap!" semua membalas Reggy dengan semangat. Mobil hitam itu meninggalkan rumah besar keluarga Hendrick. Hari cerah dan terang menambah semangat anak-anak memulai perjalanan. Waktu yang mereka tempuh lebih kurang tiga jam tidak terasa karena tak lepas dari canda dan tawa. Mereka sampai tujuan sekitar jam sepuluh pagi. Langsung mereka berbagi tugas untuk menyiapkan apa-apa yang mereka perlukan. Reggy, Yerry, dan Randy mendirikan tenda. Maureen, Resita, dan Wuri menyiapkan makanan untuk makan siang. Felipe hanya ditugaskan duduk dengan tenang menunggu semua siap. "Aduh, aku seperti orang ga berguna saja," ujar Felipe. "Santai, Bro! Bayangkan saja kamu rajanya kali ini," tandas Yerry. Felipe tertawa dengan komentar Yerry. Tak lama setelah itu, makan siang siap. Mereka menikmati makan bersama. Lalu Reggy, Yerry, dan Randy meluncur ke pantai. Randy kecil, anjing kesayangan Maureen ikut dengan mereka. Felipe duduk di bawah pohon be
Di Bandung, perjalanan Gio dan Veronica berjalan lancar. Pertemuan dengan orang tua Veronica menyenangkan. Gio dan Marco diterima dengan sangat baik. Mereka terbuka dan ramah pada Gio dan Marco.Usai pertemuan keluarga, Marco yang datang dengan istrinya langsung kembali ke Yogyakarta, sementara Gio tetap tinggal. Veronica berencana mengunjungi makam suami dan anaknya.Dengan senang hati, Gio mengantar Veronica. Di depan makam, Veronica tidak dapat menahan hatinya. Kesedihan tetap ada, rasa kehilangan kembali muncul membuat sendu. "Kalian sudah bahagia dengan Tuhan. Aku yakin itu. Kalian jangan kuatir, aku sudah hidup dengan baik sekarang. Tuhan memberiku hadiah sangat banyak. Nanti kalau aku pulang menyusul kalian, aku akan ceritakan semuanya."Gio berdiri dua langkah di belakang Veronica. Dia biarkan Veronica berbicara sampai puas, melepas rindu pada orang-orang yang sangat dia cintai.Puas berada di pusara mendiang suami dan anaknya, Veronica memutar tubuhnya dan melihat pada Gio.
Sampai di lokasi, semua sudah siap. Band ada di tempatnya. Yerry dan teman band-nya keren sekali dengan kemeja putih dan jas hitam. Vera dengan gaun merah marunnya cantik dan anggun. Reggy tinggal memastikan semua berjalan baik. Pendeta dan petugas dari catatan sipil juga sudah siap. Keluarga pun sudah hadir. Ada Marco dan keluarganya. "Good luck, Brother. I know your happiness is now for you completely." Marco memeluk erat kakaknya. Dia lega, akhirnya Gio benar-benar akan mendapat pendamping lagi dalam menjalani kehidupannya. "Thanks, Marco. Never I thought, but God knows my best," ujar Gio. Lalu dia bersiap menanti mempelai wanitanya untuk masuk bersama menuju altar. Lima belas menit kemudian, Veronica datang. Orang tua dan keluarga dari Bandung juga menyertai. Tidak lupa Lady dan calon suaminya pun ikut serta. Wajah mereka terlihat gembira. Natan, Wuri dan Ibu Ratu, Resita dan kedua orang tuanya. Lalu datang juga Randy, Sandy, Santoko dan istri barunya. Titin, Lusi, dan dua kary
Pesawat baru take off. Gio dan Veronica duduk sambil berpegangan tangan. Mereka bertatapan mesra. Akhirnya mereka bisa bersama, menjadi suami istri. "Kamu lelah?" tanya Gio. "Tidak terlalu. Aku senang sekali. Reggy mengatur acara kita begitu manis." Veronica tersenyum. "Yup. Aku salut dengan hasil kerjanya. Resita juga banyak membantu dia," kata Gio dengan rasa lega. "Kak Gio .." panggil Veronica. "Hmm ..." Gio menatap Veronica. "Aku baru sadar, namamu sama dengan Leon," ucap Veronica. "Sungguh?" Gio menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka mendengar itu. "Nama tengah kamu Leonard. Nama suamiku dulu juga Leonard. Leonard Ardhiwijaya." "Oh, bisa begitu, ya ..." Gio tersenyum. "Aku ... hanya bisa bersyukur dengan semua ini. Terima kasih buat semuanya." Veronica menggenggam tangan Gio. "Aku pun tak bisa berkata lain, selain bersyukur dan terima kasih," ujar Gio. "Apa ga masalah kita tinggal anak-anak selama dua minggu?" Veronica bertanya. "Tidak apa-apa. Mereka s
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur