Reggy menoleh pada Resita, tidak memperhatikan yang Maureen katakan. "Kak Reggy!? Dengar aku, kan?" Lagi teriakan Maureen terdengar. "Ya, oke. Kirim saja list-nya. Aku pulang sekalian belanjain," jawab Reggy. "Makasih, Kakakku yang paling baik. Aku tunggu ya ... Ga pakai lama!" Klik. Panggilan Maureen selesai. Resita masih memandang Reggy. Serius, gadis itu merasa lucu dengan kejadian barusan. "Nama kamu bukannya Ardani?" tanya Resita. "Reggy panggilanku di rumah. Sorry, adikku memang cerewet." Reggy melepas senyum tipis. "Seru kedengarannya. Aku malah ga punya adik," ujar Resita. "Oh ... anak tunggal?" tanya Reggy sambil menyimpan ponsel di tasnya. Dia bersiap akan pulang. "Ada kakak laki-laki. Tapi kakak angkat." Resita menjawab sambil ikut merapikan tasnya. "I see ..." Reggy mengangguk. "Baiklah, aku harus pulang juga. Sampai besok, Re ... ah, ga apa-apa aku panggil Reggy?" "Ya, tentu." Reggy kembali tersenyum.Mereka berpisah di tempat parkir. Masing-masing dengan moto
Kembali ke sekolah, Reggy dan Resita mendapat sambutan heboh dari teman-teman. Mereka berhasil menjuarai lomba puisi se-kota. Tentu saja semua bangga, karena piala kemenangan diboyong ke sekolah oleh keduanya. Reggy di tempat pertama dan Resita menyusul di nomor kedua. Senyum lebar Resita yang hampir tidak hilang dari bibirnya yang indah, makin membuat hati Reggy bergelut dengan rasa yang dia yakin, itu adalah cinta. Sampai di detik terakhir Reggy harus meninggalkan sekolah, dia masih melihat senyum Resita sembari gadis itu melambai ke arahnya, lalu mereka berpisah. "Kapan bisa duduk berdua ngobrol lagi, Re? Lomba selesai, urusan kita juga selesai." Reggy merasa sedikit melow memikirkan itu. "Hebat!! Kakakku kerennn!!" Maureen melompat-lompat girang menyambut Reggy pulang. Tentu saja, kabar kemenangan Reggy sudah beredar di sosmed dan sampai kepada adik-adiknya. Maureen langsung beraksi begitu Reggy sampai di rumah. Dia peluk Reggy erat, dia goyang-goyang, sampai berputar-putar kar
"Sore, Reen!" Gio masuk ruang makan. Hampir setengah enam sore. Pada jam itu memang biasanya Gio sampai rumah. "Sore, Pa," balas Maureen datar. Dia menuangkan susu hangat buat papanya. "Thank you, Sayang." Gio mendekat dan mencium kening Maureen. Maureen diam tidak bereaksi. Tanpa berkata apa-apa dia masuk ke kamar. Masih jengkel ingat waktu di mal melihat Gio bersama wanita muda. Kenapa papanya begitu? Rasanya hancur hati Maureen. Padahal selama ini dia sangat bangga pada sang ayah. Papa seorang pria penyayang dan setia. Bagaimana dia bsa tega seperti itu? Apa papa mulai lupa dengan mama? Pasti wanita itu memang mata duitan. Apa dia tidak bisa melihat Gio Hendrick sudah bapak-bapak? Secara wanita itu masih muda. Usianya, Maureen yakin tidak beda jauh dari Reggy. Wanita itu masih pantas disebut seumuran anak papa. Apa semua laki-laki memang begitu? Tidak bisa setia. Mama pasti sedih melihat situasi ini. Papa tidak punya perasaan. Maureen tidak menyangka papanya sendiri bisa berbu
"Nina?" Maureen makin penasaran. Matanya menatap papanya dengan aneh."Nanti kamu tahu." Gio tersenyum manis lalu beranjak ke kamarnya."Kak, lanjutin masaknya, ya. Tinggal angkat ikannya terus selesai. Aku bikin minuman dulu," kata Maureen pada Felipe. Dia menekan rasa kesal yang mulai merayap cepat di dadanya."Siap," sahut Felipe.Maureen membuat es jeruk dan membawanya ke ruang tamu. Maureen memperhatikan wanita muda yang duduk di sana. Ya, ini wanita yang berdua dengan papa di food court siang itu. Cantik dengan rambut berombak sebahu. Wajahnya lembut. Maureen tidak akan lupa.Maureen menaruh gelas di meja. Gadis cantik itu tersenyum ramah ke arah Maureen."Terima kasih," ucap wanita itu. Suaranya lembut terdengar.Tidak salah lagi. Wanita ini yang memang sedang dekat papanya."Kamu pasti Maureen, ya?" ujarnya wanita itu. Suara lembut, tatapan ramah, masih tertuju pada Maureen."Nama kamu Paulina, kan?" Maureen berkata dengan sinis. Dia membalas sikap ramah tamu papanya dengan di
Dengan senyum lebar, Veronica masuk ke gedung di depannya. Untuk kesekian kali, Veronica melangkahkan kakinya di sana. Jika yang lalu, dia sedang berjuang menaklukkan hati CEO dingin untuk menerima tawaran kerja sama, kali ini, Veronica datang dengan kabar gembira. Dia yakin CEO itu akan tersenyum, tidak memandang dengan wajah datar dan dingin. Veronica bicara pada resepsionis, meminta waktu bertemu CEO sebentar. Dan, sangat normatif, Veronica ditanya apakah sudah ada janji. Veronica sedikit kesal, kenapa seketat itu aturan perkantoran. Tetapi tetap dia menjawab dengan senyum yang ramah, agar bisa meluluhkan hati pegawai manis itu dan menolongnya bertemu sang CEO Sedingin Kulkas. “Terima kasih,” ucap Veronica lega, saat resepsionis itu akhirnya mau menghubungi kantor Gio. Veronica duduk di lobi menunggu. “Bu, Pak Gio akan turun sebentar lagi,” kata resepsionis manis itu. “Oh? Terima kasih.” Veronica cukup kaget. Jawaban yang menyenangkan. Hari ini memang hari baik untuknya. Hati
"Tidak mengecewakan. Beberapa hari distro buka, lumayan yang berkunjung. Apalagi dengan menggunakan media sosial untuk mengenalkan distro, menolong sekali orang mengenal A&L." Veronica berbicara di telpon dengan sahabatnya.Cukup sering Veronica berkomunikasi dengan sahabatnya untuk menumpahkan apa yang dia rasa dan alami. Dengan orang tuanya juga tidak jarang Veronica berkirim kabar, tetapi tetap lebih terasa free mengungkap semua yang dia rasa jika pada sahabat."Great job, Ve. Aku senang kamu begitu bersemangat. Boleh aku bilang sahabat cantikku telah lahir kembali?" Kalimat itu tak Veronica kira akan dia dengar."Ahh, kamu membuat aku meleleh, Lady." Veronica terharu mendengar itu."Teruslah begini. Aku tahu kamu akan jadi seseorang yang hebat. Proud of you, really." Lady membuat hati Veronica makin bergairah.Gairah untuk menata hidup dan memulai masa depan yang baik, yang Veronica tidak pernah yakin akan indah setelah dia kehilangan suami dan anaknya."Thank you for always suppor
Gio masih terdiam di tempatnya. Kalimat terakhir yang Ranintya ucapkan terngiang kuat di telinga pria itu. Apa memang benar yang Ranintya katakan? Gio melukai hati wanita hanya karena menolak pemberiannya?"Kalian saja yang terlalu sensitif." Gio bicara lirih.Lalu tangan Gio terulur ke arah kotak di meja. Dia menarik kotak itu mendekat. Kotak yang manis. Berwarna hitam dengan pita emas menghiasinya. Ada kartu kecil terpasang di pojok kiri atas.'A little gift. Nothing can say, but thank you'Tulisan tangan ditorehkan dengan tinta emas tertulis di sana. Rapi. Tulisan tangan Veronica enak dilihat. Gio membuka pita emas yang membalut kotak itu. Dia lanjutkan membuka penutup kotak dan melihat isinya. Aroma wangi dan manis segera merebak ke penciuman Gio."Bolen pisang?" Gio tidak mengira isi kotak itu adalah bolen pisang, salah satu makanan khas Bandung.Gio mengangkat kotak itu, mencium lebih kuat aroma dari makanan yang ada di depannya."Ini Veronica membuatnya sendiri?" tanya Gio.Tam
Maureen berjalan lambat ke ruang tamu. Dalam hati dia menata apa saja kata-kata yang akan dia ucapkan waktu berhadapan dengan Paulina. Malu sekali jika ingat sikapnya yang lalu. Kata-kata Maureen tajam, menuduh begitu saja pada Paulina.Di ruang tamu, Paulina duduk bersebelahan dengan pemuda hitam manis dengan rambut agak gondrong. Mereka tampak bicara serius. Hati Maureen makin berdebar-debar tak karuan."Ah, Maureen sudah antar minumannya?" Dari belakang Maureen, Gio muncul.Paulina dan pemuda itu menoleh melihat ke arah Maureen dan Gio. Seketika Paulina mengurai senyumnya. Pemuda di sampingnya ikut tersenyum tipis. Tatapan ramah yang pernah Paulina tunjukkan terlihat lagi.Gio mendahului Maureen mendekat pada kedua tamunya lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka."Sini, Reen," panggul Gio.Maureen mendekat, berdiri di samping Gio. Gio membantu Maureen menyuguhkan minuman pada tamunya."Maureen duduk di samping Papa, ya?" pinta Gio.Maureen makin tidak tenang. Paulina te
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur