"Apa kamu sudah bicara sama Malilah soal rumahnya yang dijual Dimas?" tanya Bu Ratih sesaat sebelum mereka pulang. Hanan menggeleng.
"Lah? Tadi pas belajar motoran ngomong apa?"
"Eng ... gak ada Ma. Lupa! Tadi terlalu fokus ngajarin Lila sampe lupa," jawab Hanan sambil garuk-garuk kepala. Bu Ratih mencebik.
"Ya sudah. Omongin dulu. Sekalian, bujuk dia cerai secepatnya!"
"Mama kenapa jadi ngebet nyuruh aku ngurusin cerai Dimas sama Malilah?" Hanan mengernyitkan dahi.
"Hah? Eh, ya ... itu! Supaya ... supaya Arumi aman di sini. Supaya Dimas gak nyari-nyari Malilah lagi!" sahut Bu Ratih beralasan.
"Besok aja, Ma! Kan besok aku kesini lagi!"
Bu Ratih setuju dan mereka pun pulang.Sampai di rumah, Hanan hanya sebentar mengambil surat tanah yang asli milik Malilah. Lalu ia kembali menemui orang yang mau menempati rumah Malilah.
"Ada apalagi, Mas?" tanya pembeli yang bernama Sa
Hanan langsung menuju ke tempat Arumi dan Malilah. Ah, rasanya sudah tak sabar ingin tiba di sana dan mencium Aruminya."Anak Papa ...."Hanan sumringah saat melihat Malilah dan Arumi berdiri menyambutnya. Malilah langsung masuk meninggalkan Hanan bercengkrama bersama Arumi di luar. Hanan membawa Arumi masuk."Mau kopi, Mas?" tawar Bu Seno melihat Hanan sudah datang."Enggak usah, Bu! Aku mau titip Arumi aja nanti kalau udah tidur.""Kemana?""Oh, itu ... mau lanjut ngajarin Lila naik motor lagi," jawab Hanan."Isss, Mas. Tadi Mbak Lila udah berani sendiri loh, di depan rumah mutar-mutar, kalau mau jalan sekarang, gak apa-apa kok. Arumi pinter kok," ucap Bu Seno meminta Arumi ke pangkuannya.Ucapan Bu Seno membuat dahi Hanan berkerut. Berani sekali dia. Hanan langsung menyerahkan Arumi pada Bu Seno dan memanggil Malilah.***"Bawa! Aku dibelakang!" Hanan menyodorkan kunci.
Fania! Itu suara Fania.Sial sekali!Biasanya bila sedang bertengkar, Fania bersemedi sekitar satu minggu dirumah orang tuanya, kenapa dia mendadak kembali cepat."Fania! Fania! Tolong. Nanti akan kujelaskan. Aku akan pulang, tapi jangan sekarang, Arumi enggak bisa ditinggal!" Hanan mendadak berkeringat dingin."Oh. Aku enggak bisa nunggu. Aku akan menemuimu di sana. Tapi, sepertinya aku harus mengajari Mama untuk berbuat benar dulu sebelum pergi," ucap Fania dingin."Fania! Jangan sakitin Mama! Aku akan pulang sekarang!" Hanan mengusap keringat di dahinya."Oke, aku tunggu sekarang!""Lila! Titip Arumi. Aku pulang sebentar!" ucap Hanan langsung keluar meninggalkan mereka. Malilah yang mendengar Hanan menyebut nama Fania sudah paham, tak menjawab hanya mengangguk.Hanan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Perasaannya langsung tak nyaman. Bergitu tiba di rumah, ia langsung berlari masuk.
Sementara di dalam, Bu Ratih dengan tubuh menggigil melepas bajunya yang basah. Bu Ratih memegang kepala yang terasa sakit, karena sempat melawan Fania walau akhirnya kalah tenaga dan dia yang jatuh tersungkur. Masih sempat ia mendengar Fania menelpon ibunya dan memerintahkan menuju rumah sakit. Bu Ratih tak berdaya saat Fania mengikat anggota tubuhnya. Tenaganya yang sudah rapuh dan pernah mengalami gejala stroke, bukanlah tandingan seorang Fania, apalagi saat itu Fani seperti orang kesurupan karena dilanda emosi. Berulang kali ia memaki Bu Ratih, sebelum akhirnya menyeret ke kamar mandi. Entah dapat energi darimana, Fania bisa mengangkat Bu Ratih dan menenggelamkan tubuhnya dalam bak mandi. Setelah itu ia tersenyum puas, meninggalkan Bu Ratih yang tak bisa bergerak dan membuka mulut."Ssshhhh! Bbbrrrr!"Gigi Bu Ratih sampai gemeretak menahan dingin. Dengan langkah tertatih, ia menuju kamar. Sesekali tangannya berpegangan di di tembok rumah, karena pusing. C
Buggh!Satu bogem mentah sudah mendarat diwajah Hanan. Hanan diam saja, tak membalas juga tak menjawab karena tidak ingin membuat keributan dalam ruangan. Walaupun hanya ada mereka di situ."Ternyata benar, kamu wanita jalang! Diam-diam menyimpan Arumi sebagai pancingan, supaya apa? Supaya kamu bisa bebas menyerahkan tubuhmu pada Hanan tanpa terganggu olehku?" Fania gantian mencengkram rahang Malilah yang terduduk di kursi dekat ranjang pasien."Fania! Jaga mulutmu! Dia hanya bertugas menjaga Arumi. Lepaskan dia!""Mama liat, kan? Bagaimana dia membela wanita murahan ini?" Fania tertawa mengejek sambil melepas rahang Malilah. Bu Heni menatapnya dengan pandangan jijik."Kamu sakit, Fania! Kamu sakit!"Hanan mendekat dan langsung menarik tangan Fania, tapi Pak Irman langung menghadang."Iya! Tentu saja dia sakit melihat perlakuan kalian yang sama-sama penghianat. Dia sakit karena tekanan batin!"
"Katakan, Hanan! Kenapa kamu berbohong dan menyembunyikan Arumi? Kenapa kamu memfitnah Fania!" Suara Pak Irman gemetar menahan amarah."Maaf pak. Hanya itu jalan satu-satunya Arumi bisa tenang. Dia sudah terlanjur terikat batin dengan Malilah. Dan Malilah, tak bisa berada di rumah karena Dimas selalu mengintainya!" jawab Hanan pelan."Alasanmu cukup masuk akal. Tapi masih bisa dibantah. Kamu yang menjauhkan Arumi dari Fania. Coba saja kamu selalu berusaha mendekatkan mereka. Tak akan tergantung pada Wanita jalang itu!""Tolong Pak. Jangan sebut dia dengan kata jalang. Di dalam tubuh Arumi mengalir darahnya," suara Hanan masih rendah."Bisa saja kamu berkelit, Hanan. Tapi itu tak cukup membayar fitnah keji dari mulut ibumu pada Fania!" sahut Bu Heni."Mama sudah membayarnya. Tanyakan pada Fania apa yang ia lakukan pada Mama tadi. Hampir saja mama mati ditangannya! Dan hampir saja dia jadi pembunuh!" sahut Hanan mulai tak saba
Usai menciptakan kebingungan untuk Hanan, Fania berdiri lalu meninggalkan mereka masuk. Hanan ikut berdiri dan menyusul Fania ke kamar."Apa kubilang, Pa! Harusnya Fania kemaren-kemaren gak usah diijinin balik-balik lagi ke rumah Ratih," gerutu Bu Heni yang semula diam seribu bahasa."Gak usah diijinin gimana? Kayak gak tau Fania aja, Ma. Kalau ada kemauan.""Halah. Papa aja yang lembek emang!""Eh, Ma. Baguslah kalau Fania hamil. Biar Hanan enggak cuma fokus sama Arumi yang terlanjur lengket sama perempuan itu."Bu Heni berpikir sebentar."Bener juga ya, Pa. Kalau dipikir-pikir, Fania pintar juga ya. Secara tidak langsung menjauhkan Hanan dari perempuan itu dengan memaksa Hanan tinggal di sini. Biar deh, Arumi sementara diurusin sama jalang itu. Kalo udah gede, kan kita tinggal ambil!"Bu Heni tiba-tiba berubah pikiran dan senang dengan kehamilan Fania."Tapi, Ma. Kalau Hanan tinggal di sini, kasian jug
Fania akhirnya setuju. Hanan sedikit lega dan membawanya kembali menemui Arumi. Disana Malilah sudah pasti lelah mengurusnya seorang diri sejak tadi."Mas! Malam ini, kita tidur disini, kan?" tanya Fania ketika mereka memasuki ruangan. Malilah yang terkantuk-kantuk mendadak segar. Ia langsung duduk tegak, kemudian menunduk saat melihat Hanan datang bersama Fania yang bergelayut manja disampingnya."Iya! Malilah, kamu istirahat aja, kita gantian menjaga Arumi. Nanti kalau dia mau nyusu, aku panggil,' ucap Hanan sambil melirik Malilah.Malilah mengangguk tanpa menjawab, kemudian bergeser ke tempat duduk yang lain. Fania mengambil alih tempat duduk Fania di dekat Arumi sambil menarik Hanan untuk berdiri lebih dekat dengannya."Mas! Aku lapar. Mas cari makan, ya? Kasian kan, adiknya Arumi kalau kurang nutrisi?" ucap Fania manja sambil mendongak menatap wajah suaminya"Ehem. Iya! Lila, kamu mau makan apa?" tanya Hanan sembari menoleh p
Setelah Hanan keluar, Fania langsung mendekati Malilah."Malilah, maaf ya. Aku lagi labil. Soalnya, kan tahu sendiri rasanya hamil muda," ucap Fania sambil mendekat pada Malilah. Malilah hanya tersenyum sambil mengangguk. Ada yang tercubit sedikit di bagian hatinya mendengar ucapan Fania. Tadi ia sempat heran, melihat Hanan kembali bersama Fania dengan wajah yang datar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya Hanan terlihat begitu marah."Enggak apa-apa, kok!" jawab Malilah berusaha tersenyum."Tadi Hanan bilang, akan ikut pindah ke rumah. Soalnya dikehamilanku yang kedua aku pengen dekat orang tuaku sendiri," ucap Fania sambil mengangkat bahu.Malilah terdiam sebentar. Membayangkan ucapan Fania. Dahinya berkerut membayangkan Bu Ratih. Tapi, sesaat kemudian wajah Malilah kembali datar."Wajar kok!" sahutnya kemudian singkat.Fania tersenyum. Ia makin semangat memamerkan bayangan-bayangan indah