"Minum dan tenang dulu, Ma!"
Hanan menyodorkan segelas minum pada ibunya yang masih emosi setelah kedatangan mertuanya tadi. Setelah menunggu emosi Bu Ratih reda beberapa saat, Hanan kembali menyambung pembicaraan mereka sebelumnya.
"Kenapa Mama menyudutkan Fania? Kasian Fania Ma. Sekarang ibu juga enggak bolehin dia kesini."
"Hanan! Biar saja. Biar Fania di sana sementara waktu. Bukankah itu bagus, supaya kamu bisa membantu Malilah lebih cepat bercerai dengan Dimas tanpa disibukkan oleh kecurigaan Fania yang berlebihan?" Bu Ratih menatap Hanan. Hanan mencerna ucapan ibunya, lalu mengangguk kecil.
"Betul juga!" gumamnya kemudian.
"Tapi, Ma. Kenapa Mama harus menuduh Fania?"
"Supaya dia tak protes bila kamu kesana kemari, sibuk mencari Arumi karena kesalahannya," jawab Bu Ratih tegas. Hanan diam. Walaupun alasannya cukup masuk akal, tapi tetap saja ia merasa ibunya keterlaluan terhadap Fania.
"Tapi Ma ... bagaimana kalau Fa
"Apa kamu sudah bicara sama Malilah soal rumahnya yang dijual Dimas?" tanya Bu Ratih sesaat sebelum mereka pulang. Hanan menggeleng."Lah? Tadi pas belajar motoran ngomong apa?""Eng ... gak ada Ma. Lupa! Tadi terlalu fokus ngajarin Lila sampe lupa," jawab Hanan sambil garuk-garuk kepala. Bu Ratih mencebik."Ya sudah. Omongin dulu. Sekalian, bujuk dia cerai secepatnya!""Mama kenapa jadi ngebet nyuruh aku ngurusin cerai Dimas sama Malilah?" Hanan mengernyitkan dahi."Hah? Eh, ya ... itu! Supaya ... supaya Arumi aman di sini. Supaya Dimas gak nyari-nyari Malilah lagi!" sahut Bu Ratih beralasan."Besok aja, Ma! Kan besok aku kesini lagi!"Bu Ratih setuju dan mereka pun pulang.Sampai di rumah, Hanan hanya sebentar mengambil surat tanah yang asli milik Malilah. Lalu ia kembali menemui orang yang mau menempati rumah Malilah."Ada apalagi, Mas?" tanya pembeli yang bernama Sa
Hanan langsung menuju ke tempat Arumi dan Malilah. Ah, rasanya sudah tak sabar ingin tiba di sana dan mencium Aruminya."Anak Papa ...."Hanan sumringah saat melihat Malilah dan Arumi berdiri menyambutnya. Malilah langsung masuk meninggalkan Hanan bercengkrama bersama Arumi di luar. Hanan membawa Arumi masuk."Mau kopi, Mas?" tawar Bu Seno melihat Hanan sudah datang."Enggak usah, Bu! Aku mau titip Arumi aja nanti kalau udah tidur.""Kemana?""Oh, itu ... mau lanjut ngajarin Lila naik motor lagi," jawab Hanan."Isss, Mas. Tadi Mbak Lila udah berani sendiri loh, di depan rumah mutar-mutar, kalau mau jalan sekarang, gak apa-apa kok. Arumi pinter kok," ucap Bu Seno meminta Arumi ke pangkuannya.Ucapan Bu Seno membuat dahi Hanan berkerut. Berani sekali dia. Hanan langsung menyerahkan Arumi pada Bu Seno dan memanggil Malilah.***"Bawa! Aku dibelakang!" Hanan menyodorkan kunci.
Fania! Itu suara Fania.Sial sekali!Biasanya bila sedang bertengkar, Fania bersemedi sekitar satu minggu dirumah orang tuanya, kenapa dia mendadak kembali cepat."Fania! Fania! Tolong. Nanti akan kujelaskan. Aku akan pulang, tapi jangan sekarang, Arumi enggak bisa ditinggal!" Hanan mendadak berkeringat dingin."Oh. Aku enggak bisa nunggu. Aku akan menemuimu di sana. Tapi, sepertinya aku harus mengajari Mama untuk berbuat benar dulu sebelum pergi," ucap Fania dingin."Fania! Jangan sakitin Mama! Aku akan pulang sekarang!" Hanan mengusap keringat di dahinya."Oke, aku tunggu sekarang!""Lila! Titip Arumi. Aku pulang sebentar!" ucap Hanan langsung keluar meninggalkan mereka. Malilah yang mendengar Hanan menyebut nama Fania sudah paham, tak menjawab hanya mengangguk.Hanan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Perasaannya langsung tak nyaman. Bergitu tiba di rumah, ia langsung berlari masuk.
Sementara di dalam, Bu Ratih dengan tubuh menggigil melepas bajunya yang basah. Bu Ratih memegang kepala yang terasa sakit, karena sempat melawan Fania walau akhirnya kalah tenaga dan dia yang jatuh tersungkur. Masih sempat ia mendengar Fania menelpon ibunya dan memerintahkan menuju rumah sakit. Bu Ratih tak berdaya saat Fania mengikat anggota tubuhnya. Tenaganya yang sudah rapuh dan pernah mengalami gejala stroke, bukanlah tandingan seorang Fania, apalagi saat itu Fani seperti orang kesurupan karena dilanda emosi. Berulang kali ia memaki Bu Ratih, sebelum akhirnya menyeret ke kamar mandi. Entah dapat energi darimana, Fania bisa mengangkat Bu Ratih dan menenggelamkan tubuhnya dalam bak mandi. Setelah itu ia tersenyum puas, meninggalkan Bu Ratih yang tak bisa bergerak dan membuka mulut."Ssshhhh! Bbbrrrr!"Gigi Bu Ratih sampai gemeretak menahan dingin. Dengan langkah tertatih, ia menuju kamar. Sesekali tangannya berpegangan di di tembok rumah, karena pusing. C
Buggh!Satu bogem mentah sudah mendarat diwajah Hanan. Hanan diam saja, tak membalas juga tak menjawab karena tidak ingin membuat keributan dalam ruangan. Walaupun hanya ada mereka di situ."Ternyata benar, kamu wanita jalang! Diam-diam menyimpan Arumi sebagai pancingan, supaya apa? Supaya kamu bisa bebas menyerahkan tubuhmu pada Hanan tanpa terganggu olehku?" Fania gantian mencengkram rahang Malilah yang terduduk di kursi dekat ranjang pasien."Fania! Jaga mulutmu! Dia hanya bertugas menjaga Arumi. Lepaskan dia!""Mama liat, kan? Bagaimana dia membela wanita murahan ini?" Fania tertawa mengejek sambil melepas rahang Malilah. Bu Heni menatapnya dengan pandangan jijik."Kamu sakit, Fania! Kamu sakit!"Hanan mendekat dan langsung menarik tangan Fania, tapi Pak Irman langung menghadang."Iya! Tentu saja dia sakit melihat perlakuan kalian yang sama-sama penghianat. Dia sakit karena tekanan batin!"
"Katakan, Hanan! Kenapa kamu berbohong dan menyembunyikan Arumi? Kenapa kamu memfitnah Fania!" Suara Pak Irman gemetar menahan amarah."Maaf pak. Hanya itu jalan satu-satunya Arumi bisa tenang. Dia sudah terlanjur terikat batin dengan Malilah. Dan Malilah, tak bisa berada di rumah karena Dimas selalu mengintainya!" jawab Hanan pelan."Alasanmu cukup masuk akal. Tapi masih bisa dibantah. Kamu yang menjauhkan Arumi dari Fania. Coba saja kamu selalu berusaha mendekatkan mereka. Tak akan tergantung pada Wanita jalang itu!""Tolong Pak. Jangan sebut dia dengan kata jalang. Di dalam tubuh Arumi mengalir darahnya," suara Hanan masih rendah."Bisa saja kamu berkelit, Hanan. Tapi itu tak cukup membayar fitnah keji dari mulut ibumu pada Fania!" sahut Bu Heni."Mama sudah membayarnya. Tanyakan pada Fania apa yang ia lakukan pada Mama tadi. Hampir saja mama mati ditangannya! Dan hampir saja dia jadi pembunuh!" sahut Hanan mulai tak saba
Usai menciptakan kebingungan untuk Hanan, Fania berdiri lalu meninggalkan mereka masuk. Hanan ikut berdiri dan menyusul Fania ke kamar."Apa kubilang, Pa! Harusnya Fania kemaren-kemaren gak usah diijinin balik-balik lagi ke rumah Ratih," gerutu Bu Heni yang semula diam seribu bahasa."Gak usah diijinin gimana? Kayak gak tau Fania aja, Ma. Kalau ada kemauan.""Halah. Papa aja yang lembek emang!""Eh, Ma. Baguslah kalau Fania hamil. Biar Hanan enggak cuma fokus sama Arumi yang terlanjur lengket sama perempuan itu."Bu Heni berpikir sebentar."Bener juga ya, Pa. Kalau dipikir-pikir, Fania pintar juga ya. Secara tidak langsung menjauhkan Hanan dari perempuan itu dengan memaksa Hanan tinggal di sini. Biar deh, Arumi sementara diurusin sama jalang itu. Kalo udah gede, kan kita tinggal ambil!"Bu Heni tiba-tiba berubah pikiran dan senang dengan kehamilan Fania."Tapi, Ma. Kalau Hanan tinggal di sini, kasian jug
Fania akhirnya setuju. Hanan sedikit lega dan membawanya kembali menemui Arumi. Disana Malilah sudah pasti lelah mengurusnya seorang diri sejak tadi."Mas! Malam ini, kita tidur disini, kan?" tanya Fania ketika mereka memasuki ruangan. Malilah yang terkantuk-kantuk mendadak segar. Ia langsung duduk tegak, kemudian menunduk saat melihat Hanan datang bersama Fania yang bergelayut manja disampingnya."Iya! Malilah, kamu istirahat aja, kita gantian menjaga Arumi. Nanti kalau dia mau nyusu, aku panggil,' ucap Hanan sambil melirik Malilah.Malilah mengangguk tanpa menjawab, kemudian bergeser ke tempat duduk yang lain. Fania mengambil alih tempat duduk Fania di dekat Arumi sambil menarik Hanan untuk berdiri lebih dekat dengannya."Mas! Aku lapar. Mas cari makan, ya? Kasian kan, adiknya Arumi kalau kurang nutrisi?" ucap Fania manja sambil mendongak menatap wajah suaminya"Ehem. Iya! Lila, kamu mau makan apa?" tanya Hanan sembari menoleh p
"Kamu belum datang bulan lagi, Mah?" tanya Hanan suatu malam. Malilah mengangguk."Kita cek lagi, ya? Kita ke Dokter lagi?"Malilah menggeleng. Udah beberapa kali dalam setahun terakhir ia kecewa karena sempat telat hampir seminggu, namun saat di cek hasilnya negatif dan menurut dokter hanya pengaruh hormon makanya sering telat. Benar saja, beberapa hari setelah periksa, tamu bulanannya datang kembali."Ya sudah kalau enggak mau. Enggak usah sedih gitu," ucap Hanan menghibur. Malilah masih saja murung."His, kenapa sih? Kok cemberut gitu. Kalo memang waktunya di kasih, ya pasti di kasih," Hanan tak tega melihat Malilah bersedih."Kalo enggak dikasih-kasih gimana, kamu bakal kawin lagi enggak?" tanya Malilah sambil mendongak."Kawin lagi lah, kalau boleh. Awwww" jawab Hanan meringis karena cubitan Malilah sudah melayang di lengannya. Hanan kemudian tertawa melihat Malilah malah menangis."Kamu kok jadi cen
Waktu berlalu dengan cepat. Arumi kini berusia kurang sedikit lagi tiga tahun."Amaaa ... tupah!" ucap bocah manis yang sedang meminum susu di dalam gelas."Nah ... nah ... nah .... apa nenek bilang, tumpah lagi kan? Makanya kalau makan atau minum itu sambil duduk. Jangan sambil jalan," sahut Bu Ratih sambil berdiri meraih kain lap dan membersihkan susu Arumi yang tertumpah."Lagi susunya?" tawar Malilah sembari bertanya. Arumi menggeleng."Maaa ... mau dalan-dalan," Arumi mengalungkan tangan di leher Malilah."Mau jalan kemana sihh?" tanya Malilah. Bukannya menjawab, Arumi malah merengek sambil mengeratkan tangan di leher Malilah." Ayo kita bilang dulu sama Papa. Kalau Papa mau, kita berangkat ya," ucap Malilah menggendong Arumi mencari Hanan."Nah, itu Papa ...."Malilah menurunkan Arumi dari gendongan."Kenapaa?" tanya Hanan melihat Arumi menyembunyikan wajah.
Hanan kemudian berlari keluar menuju kamar Arumi. Ia mencari baju Fania yang masih baru, dibeli saat tubuhnya agak melar setelah melahirkan Arumi. Ia kembali ke kamar dan menyodorkan baju Fania."Inih, boleh dipake tapi batasnya sampe Arumi tidur aja," goda Hanan lagi.Malilah mendelik mendengar ucapan Hanan, namun akhirnya lega, karena akhirnya bisa keluar dari kamar. Setelah salat magrib, ia langsung menyediakan makan malam untuk keluarga besar mereka.***Jam sembilan malam. Arumi malah asik bermain di lantai. Matanya masih saja segar bugar padahal Hanan sudah gelisah. Malilah pura-pura tak melihat kegelisahan Hanan, asik menemani Arumi main."Tadi Arumi tidurnya lama, ya?" tanya Hanan. Malilah mengangguk."Tadi kamu datang sore, dia baru bangun tidur, tuh," jawab Fania."Pantesan," jawab Hanan dengan raut kecewa. Malilah jadi tak tega melihatnya. Ia langsung naik ke ranjang dan mendekat.
"Mana buktinya anak saya melakukan kejahatan? Mana?" tanya Pak Irman begitu selesai membaca surat perintah penangkapan, saat Fania dijemput oleh pihak yang berwajib beberapa hari setelah Hanan melaporkannya."Nanti, akan dibuktikan di kantor, Pak. Makanya anak bapak dibawa ke kantor untuk proses selanjutnya," jawab Pak Polisi."Kalau anak saya terbukti tidak bersalah, saya akan tuntut kalian semua!" kecam Pak Irman berang. Bu Heni tak bisa melawan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya ketika pihak kepolisian membawa Fania untuk diintrogasi.Memasuki kantor polisi, Hanan yang sejak tadi sudah menunggu langsung berdiri melihat Fania masuk dengan caci maki dan sumpah serapah dari mulutnya. Pak Irman pun menatapnya tak kalah tajam. Mereka tahu Hanan adalah orang yang melapor.Fania menampik semua pertanyaan yang diajukan padanya. Ia bersikeras tidak pernah terlibat dengan kasus kehilangan seseorang apalagi pembunuhan.Namun begitu rekaman
Aku surprise sekali melihat perlakuan Hanan pada Malilah. Kenapa dia bersikap manis pada Malilah sementara padaku dia sering ketus? Aku tidak bisa terima ini. Wanita itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya.Malilah yang lugu, mengiraku benar-benar bersikap baik padanya. Demi apa? Aku hanya mencari informasi tentang suamimya. Saat aku tahu, aku mengajak pria bernama Dimas itu bertemu."Apa keperluanmu?" tanya Dimas."Bawa istrimu itu keluar dari rumahku. Kamu tahu? Di sana dia selalu berduaan dengan Hanan! Kadang Hanan pun tidur di ranjangnya!" jawabku memanas-manasi.Kulihat ia terpancing dan mulai geram. Tapi, sesaat kemudian kemarahannya kembali mengendor."Aku enggak berani ketemu mertuamu yang ganas itu," sahut Dimas.Setelah kutanya, ternyata dia pernah bermasalah soal uang. Jumlahnya tidak seberapa sih, bagi aku. Aku bahkan memberinya tiga kali lipat dari jumlah utangnya, dengan syarat dia harus membaw
"Ya ampun Bibik. Ngapain ngomong gitu. Bibik kan kesusahan gara-gara kami juga. Bibik boleh kok, kerja di sini sampaibkapan saja yang bibik mau. Selamanya juga boleh, itung-itung jadi teman berantemnya Mama. Soal perhiasan mah, enggak usah dipikirin. Enggak ada apa-apanya dibanding nyawa Bibik. Iyakan, Ma?" tanya Hanan tersenyum melirik Bu Ratih. Walau sempat mendelik karena ucapan Hanan soal teman berantem, Bu Ratih kemudian tersenyum dan mengangguk. Malilah pun tersenyum senang."Enggak ingat, Mas! Dia pakai masker sama kacamata hitam. Seingatku orangnya tinggi. Terus di tangannya, pas ngambil perhiasan, aku sempat liat ada tato naga gitulah, di sini. Kanan," ucap Bik Timah sambil mengusap punggung tangan kanannya."Tato elang?"Mata Malilah menyipit mendengar ucapan Bik Timah. Ia kemudian menatap Hanan. Keduanya mungkin memiliki kecurigaan pada orang yang sama. Tapi, bagaimana bisa?"Eh, iya Mas! Aduh, pas kejadian itu sengaja saya tinggali
"Malilaaah, Arumi ...." ucap Hanan mendekat langsung mengangkat Arumi dan menciumnya. Bu Ratih berinisiatif untuk membawa Arumi keluar, dan membiarkan Hanan berbicara dari hati ke hati menenangkan Malilah."Sini sama Nenek," ucap Bu Ratih kemudian menenangkan Arumi di kamarnya."Malilah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka enggak akan menganggapmu pelakor," ucap Hanan membawa Malilah berdiri dan bicara di ranjang Arumi."Bohong!" ucap Malilah menepis tangan Hanan."Malilah, jangan begini. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hanan bingung. Malilah menggeleng. Hanan meraih tisu dan mengusap air mata Malilah."Aku minta maaf! Aku minta maaf karena membawamu ke situasi sulit seperti saat ini," Hanan menyandarkan kepala Malilah di dadanya. Malilah masih menangis sesenggukan."Semuanya pasti akan membaik seiring waktu," ucap Hanan meyakinkan. Malilah perlahan mulai tenang."Bagaimana kalau ternyata aku
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]