Ketegangan semakin memuncak. Tak ada satu pun di antara mereka yang berniat menyurutkan adu tatap yang sengit itu. Dari dalam rumah, Tanjung buru-buru datang dengan dasi yang belum terpasang sempurna dan lengan kemeja yang tidak terkancing. Buru-buru ia menghampiri teras yang berantakan itu. Dilihatnya kaki Serina yang tertimpa pecahan mangkuk dan makanan yang masih mengepul.“Apa-apaan ini?!”Tanjung segera menyingkirkan makanan panas dan pecahan mangkuk pada kaki Serina, lalu kembali berdiri menatap nyalang Narumi. “Apa lagi yang Ibu lakukan?!”Narumi bersedekap angkuh. “Urus perempuan tidak tahu diri ini. Apa yang dia lakukan pagi ini sudah mencerminkan dari mana dia berasal. Itu yang kau makan setiap hari sebelum datang ke sini?”Tanjung mengikuti arah pandang Narumi yang menunduk menatap remeh makanan yang terbuang di bawah kakinya.“Jangan mengotori rumahku dengan makanan sampah seperti itu.” Mata Narumi kembali menyorot Serina. “Dan jangan samakan aku dengan ibumu yang memberi
“Kita harus ke rumah sakit.”Serina tidak mengeluarkan setetes pun air mata. Ia melepaskan pelukan Tanjung dan dengan cepat menguasai ekspresinya kembali. Air mukanya menjadi dingin. “Tidak perlu. Ini luka yang kecil.”Tanjung kembali berlutut. Mendongak memandang Serina dengan tatapan yang lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini selama aku pergi bekerja. Tidak ada yang bisa dipercaya di rumah ini.”Serina menemukan binar khawatir di mata Tanjung. Perasaannya saja atau sebenarnya tembok pembatas di antara mereka semakin menipis? Untuk pertama kalinya ada seorang klien yang berlutut dan memandangnya lembut tanpa merendahkannya. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Tanjung.”Tanjung menggeleng. “Tidak setelah kejadian demi kejadian yang membuatmu dalam bahaya.”“Aku datang ke sini bukan untuk dijaga olehmu.”“Dan aku membawamu bukan untuk mengorbankan nyawa.”Perhatian, nada suara yang cemas, dan sentuhan yang lembut hampir-hampir merobohkan logika Serina. Lima tahun dia
“Permisi, Nyonya Muda. Ini saya, Risa.” Pintu terketuk dengan sopan. Serina yang sedang memangku laptop sambil bersandar di kepala ranjang menengok ke arah pintu. “Masuk.”“Nyonya butuh sesuatu? Mau saya bawakan minum?”Serina menatap Risa dari balik kacamata beningnya. Tidak seperti biasa, mata wanita cantik itu tidak terlihat santai. “Tidak perlu.”“Nyonya Muda belum memakan apa pun sejak tadi.” Meski ia mengucapkannya dengan tulus, tetap saja ada tugas berat di balik kedatangan Risa ke kamar ini. Serina yang duduk bersandar pada kepala ranjang di depan sana terasa mengintimidasi. Dia tidak tersenyum sama sekali. Ia berkonsentrasi penuh pada laptopnya. “Aku sedang diet, pergilah.”Pelayan bertubuh pendek dan sedikit berisi itu diam-diam menghela napas kecewa. Dia tidak punya kesempatan memberikan obat yang diberikan oleh Narumi kepada Serina. Meski terkesan ramah dan santai sejak awal, perempuan yang dibawa Tuan Tanjung ternyata sulit didekati. Di balik senyum manisnya, ada jar
Serina mengayunkan kaki dengan hati-hati. Jalannya lambat sedang ia sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Kakinya terangkat hendak masuk, tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia letakkan kembali kakinya di luar pintu. Serina teringat sesuatu. Hari ini adalah hari Rabu, waktu di mana Narumi akan keluar untuk berbelanja. Ia memegang jadwal wanita itu. Hari ini juga termasuk hari di mana Narumi akan mencuci mobilnya. Serina menyugar rambutnya frustrasi, merasa sayang karena ia tak bisa mengikuti wanita itu dalam keadaan seperti ini.Lagi pula Serina belum diberi kebebasan memiliki mobil sendiri. Narumi tidak mengizinkannya memakai mobil ataupun mendapatkan sopir pribadi. Serina mesti naik taksi jika ingin keluar. “Ah, sial. Apa aku beli mobil saja pakai black card itu?”Tanjung memang memberikannya sejak awal dan tak membatasi Serina. Ia bebas menggunakan untuk apa saja, tapi rasanya itu terlalu banyak sebab Tanjung sudah membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Serina berjalan mundur,
“Dia ke rumah sakit?”Sekujur tubuh Risa dilanda gemetar, bahkan meskipun ia hanya mendengar suara sang nyonya dari telepon. Gaya bicara dan intonasi suara Narumi tidak pernah gagal menghadirkan rasa ngeri di hati Risa. “I-iya, Nyonya Besar. Sa-saya membuatnya terpeleset di kamar mandi, lalu menyetel shower untuk air panas. Sepertinya lukanya parah.”“Bagus. Gajimu akan kunaikkan tiga kali lipat.”“Te-terima kasih, Nyonya.”Tak ada jejak kelegaan di hati Risa. Matanya memancarkan ketakutan. Selama bekerja di tempat ini, dia tidak pernah mendapat tugas sekotor itu untuk mencelakai orang lain.Di seberang telepon yang sudah terputus, Narumi yang duduk menyilangkan kaki di dalam mobil juga tidak merasakan kelegaan kendati bocah perempuan tidak tahu malu itu berhasil ia lukai setelah banyak percobaan. Tapi ini baru awal. Serina yang hanya bermodalkan kecerdikan tidak akan menang melawan kekuasaannya. Diangkatnya ponselnya ke depan wajah lalu kembali menelepon.“Halo, dr. Pradipto. Anda
Serina membuka mata, sadar dari tidur yang cukup panjang. Kepalanya terasa sangat berat seolah ia baru saja ditimpuk batu besar. Matanya bergulir, menemukan Tanjung yang terlelap dalam keadaan duduk tegak sambil bersedekap di kursi samping ranjang. Rambut pewaris Maulana itu agak berantakan. Kulitnya sedikit pucat. Serina bisa melihat lingkar hitam yang membayangi kelopak matanya. Untuk pertama kalinya, Serina penasaran seperti apa Narumi menyiksa laki-laki ini sedari kecil. Seberapa tega wanita itu menyengsarakan anak kecil yang tidak berdosa?Jari Serina bergerak, perlahan menyapu tepi ranjang. Tangannya terangkat, menyentuh bahu Tanjung kemudian jatuh begitu saja. Rasanya sekujur tubuhnya sangat lemas. Ia tak sanggup menggapai wajah lelaki itu.Sentuhan kecil itu mampu membangunkan Tanjung. Matanya terbuka dengan waspada. “Serina? Kau sudah sadar?”Serina bertanya-tanya. Seberapa dekat mereka sampai Tanjung dengan santai menautkan jari-jari mereka sambil mengecup punggung tangan
Bunyi bip pintu yang terbuka mengawali langkah Tanjung memasuki kamar yang tak begitu luas itu. Langkahnya semakin memelan, sambil menunduk mengamati Serina yang meringkuk nyenyak dalam gendongannya. Syukurlah jika Serina merasa nyaman. Ia membaringkan wanita itu ke atas ranjang. Tempat tidur itu terlihat luas jika ditiduri sendirian, tapi terasa sempit saat diisi oleh dua orang.Serina berbaring dengan nyaman ketika tubuhnya bertemu dengan kasur. Apa Serina pernah terlihat senyenyak ini saat tidur? Ingatan Tanjung berputar ke kediaman Maulana, saat dia berbaring di sofa dan Serina tidur di ranjang, Tanjung tidak ingat pernah mendengar helaan napas Serina yang teratur. Wanita itu selalu tengkurap tanpa bergerak sedikit pun. Punggungnya pun tidak bergerak naik turun seolah dia adalah benda mati. Sekarang Serina terlihat damai. Ia tampak seperti gadis biasa, sama sekali tak berbahaya. Manis dan sangat cantik. Tanpa sadar Tanjung berlama-lama menatap wajah yang tertidur itu. Tanjung
Serina menemukan mata cokelat yang menatapnya hangat. Untuk pertama kalinya sejak lima tahun, ada pria yang mendekapnya dengan perasaan cemas, bukan karena gairah. Kendati napasnya berlarian, Serina merasa tenang begitu saja. Apa ini? Mengapa dirinya bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan bersama seorang pria?“Tenanglah, Serina … aku ada di sini.”Suara yang dalam, lembut, dan membuai itu menarik Serina sepenuhnya dari ketidaksadarannya. Ia berhenti berdelusi. Ia berhenti ketakutan. Ia membiarkan dirinya lengah. Didekapnya lelaki itu lebih erat lagi. Dia sandarkan kepalanya pada bahu yang lebar itu. Rasa aman yang dia dapatkan menghadirkan kerut tidak suka pada dahi Serina. Mengapa ia harus merasakan semua perasaan itu pada lelaki ini? “Tak apa, Serina. Itu hanya mimpi.”Sayangnya Serina tidak sedang bermimpi. Saat ia membuka mata, langit-langit putih dari kamar ini terjamah oleh matanya ketika tiba-tiba ia melihat wajah Ibu yang dipenuhi dendam melayang di atas tubuhnya dan me