Serina mengayunkan kaki dengan hati-hati. Jalannya lambat sedang ia sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Kakinya terangkat hendak masuk, tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia letakkan kembali kakinya di luar pintu. Serina teringat sesuatu. Hari ini adalah hari Rabu, waktu di mana Narumi akan keluar untuk berbelanja. Ia memegang jadwal wanita itu. Hari ini juga termasuk hari di mana Narumi akan mencuci mobilnya. Serina menyugar rambutnya frustrasi, merasa sayang karena ia tak bisa mengikuti wanita itu dalam keadaan seperti ini.Lagi pula Serina belum diberi kebebasan memiliki mobil sendiri. Narumi tidak mengizinkannya memakai mobil ataupun mendapatkan sopir pribadi. Serina mesti naik taksi jika ingin keluar. “Ah, sial. Apa aku beli mobil saja pakai black card itu?”Tanjung memang memberikannya sejak awal dan tak membatasi Serina. Ia bebas menggunakan untuk apa saja, tapi rasanya itu terlalu banyak sebab Tanjung sudah membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Serina berjalan mundur,
“Dia ke rumah sakit?”Sekujur tubuh Risa dilanda gemetar, bahkan meskipun ia hanya mendengar suara sang nyonya dari telepon. Gaya bicara dan intonasi suara Narumi tidak pernah gagal menghadirkan rasa ngeri di hati Risa. “I-iya, Nyonya Besar. Sa-saya membuatnya terpeleset di kamar mandi, lalu menyetel shower untuk air panas. Sepertinya lukanya parah.”“Bagus. Gajimu akan kunaikkan tiga kali lipat.”“Te-terima kasih, Nyonya.”Tak ada jejak kelegaan di hati Risa. Matanya memancarkan ketakutan. Selama bekerja di tempat ini, dia tidak pernah mendapat tugas sekotor itu untuk mencelakai orang lain.Di seberang telepon yang sudah terputus, Narumi yang duduk menyilangkan kaki di dalam mobil juga tidak merasakan kelegaan kendati bocah perempuan tidak tahu malu itu berhasil ia lukai setelah banyak percobaan. Tapi ini baru awal. Serina yang hanya bermodalkan kecerdikan tidak akan menang melawan kekuasaannya. Diangkatnya ponselnya ke depan wajah lalu kembali menelepon.“Halo, dr. Pradipto. Anda
Serina membuka mata, sadar dari tidur yang cukup panjang. Kepalanya terasa sangat berat seolah ia baru saja ditimpuk batu besar. Matanya bergulir, menemukan Tanjung yang terlelap dalam keadaan duduk tegak sambil bersedekap di kursi samping ranjang. Rambut pewaris Maulana itu agak berantakan. Kulitnya sedikit pucat. Serina bisa melihat lingkar hitam yang membayangi kelopak matanya. Untuk pertama kalinya, Serina penasaran seperti apa Narumi menyiksa laki-laki ini sedari kecil. Seberapa tega wanita itu menyengsarakan anak kecil yang tidak berdosa?Jari Serina bergerak, perlahan menyapu tepi ranjang. Tangannya terangkat, menyentuh bahu Tanjung kemudian jatuh begitu saja. Rasanya sekujur tubuhnya sangat lemas. Ia tak sanggup menggapai wajah lelaki itu.Sentuhan kecil itu mampu membangunkan Tanjung. Matanya terbuka dengan waspada. “Serina? Kau sudah sadar?”Serina bertanya-tanya. Seberapa dekat mereka sampai Tanjung dengan santai menautkan jari-jari mereka sambil mengecup punggung tangan
Bunyi bip pintu yang terbuka mengawali langkah Tanjung memasuki kamar yang tak begitu luas itu. Langkahnya semakin memelan, sambil menunduk mengamati Serina yang meringkuk nyenyak dalam gendongannya. Syukurlah jika Serina merasa nyaman. Ia membaringkan wanita itu ke atas ranjang. Tempat tidur itu terlihat luas jika ditiduri sendirian, tapi terasa sempit saat diisi oleh dua orang.Serina berbaring dengan nyaman ketika tubuhnya bertemu dengan kasur. Apa Serina pernah terlihat senyenyak ini saat tidur? Ingatan Tanjung berputar ke kediaman Maulana, saat dia berbaring di sofa dan Serina tidur di ranjang, Tanjung tidak ingat pernah mendengar helaan napas Serina yang teratur. Wanita itu selalu tengkurap tanpa bergerak sedikit pun. Punggungnya pun tidak bergerak naik turun seolah dia adalah benda mati. Sekarang Serina terlihat damai. Ia tampak seperti gadis biasa, sama sekali tak berbahaya. Manis dan sangat cantik. Tanpa sadar Tanjung berlama-lama menatap wajah yang tertidur itu. Tanjung
Serina menemukan mata cokelat yang menatapnya hangat. Untuk pertama kalinya sejak lima tahun, ada pria yang mendekapnya dengan perasaan cemas, bukan karena gairah. Kendati napasnya berlarian, Serina merasa tenang begitu saja. Apa ini? Mengapa dirinya bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan bersama seorang pria?“Tenanglah, Serina … aku ada di sini.”Suara yang dalam, lembut, dan membuai itu menarik Serina sepenuhnya dari ketidaksadarannya. Ia berhenti berdelusi. Ia berhenti ketakutan. Ia membiarkan dirinya lengah. Didekapnya lelaki itu lebih erat lagi. Dia sandarkan kepalanya pada bahu yang lebar itu. Rasa aman yang dia dapatkan menghadirkan kerut tidak suka pada dahi Serina. Mengapa ia harus merasakan semua perasaan itu pada lelaki ini? “Tak apa, Serina. Itu hanya mimpi.”Sayangnya Serina tidak sedang bermimpi. Saat ia membuka mata, langit-langit putih dari kamar ini terjamah oleh matanya ketika tiba-tiba ia melihat wajah Ibu yang dipenuhi dendam melayang di atas tubuhnya dan me
Tanjung mendudukkan Serina di kursi kayu, tepat di depan meja di mana ia meletakkan kantong makan malam mereka. Dengan telaten lelaki itu membuka dan menatanya di atas meja. Nasi goreng yang mengepul langsung menyambut Serina. Tanjung mengeluarkan banyak bungkusan dan kotak makan di hadapannya. Berbagai makanan pinggir jalan menyapu pandangan Serina. “Ini yang belum sempat kau makan tadi pagi. Maaf soal yang tadi, makananmu tumpah semua.”Rasa senang merebak di hati Serina. Ia merindukan makanan jalanan yang seperti ini. Maka, ia mendongak, memberikan senyum tanda terima kasihnya pada Tanjung.Tanjung terpaku. Ada rasa panas yang tiba-tiba merambat di dadanya. Senyuman itu terasa tulus, tanpa kelicikan dan rencana misterius, tapi terlihat sangat cantik. Tanjung berdeham. Rasa gugup mendadak menyerangnya. “Kau bisa makan?”“Tentu saja, aku bisa pakai tangan kiri.”Serina menunduk untuk memasukkan satu suapan ke mulutnya. Tanjung memperhatikan rambut panjang Serina yang terjatuh di b
Serina mengedikkan bahu santai. “Tidur saja.” Lalu ikut berbaring membelakangi Tanjung. Tanjung menatap langit-langit kamar. Plafon putih yang dihiasi noda-noda hitam itu membuat Tanjung menghela napas. Rasanya ia masih berada di tengah jalan. Tujuannya masih sangat jauh. Dulu dia berjalan sendirian tanpa arah, dalam kebingungan dan keputusasaan, sekarang ada seseorang yang ikut berjalan bersamanya.Ia menoleh pada Serina yang berbaring miring dengan punggung yang kaku. Awalnya ia menggantungkan harapan pada wanita ini, tapi sekarang Tanjung merasa harus melindunginya. Narumi tak boleh menyentuh Serina. Ia tak ingin Serina bernasib sama seperti ibunya. “Ugh ….”Mendadak punggung Serina bergetar. Tanjung menoleh cepat. Dilihatnya Serina yang tengah mencengkeram seprei dengan kuat. Dari bahunya yang naik turun, dia tampak tersiksa. Tanjung mengepalkan tangan, menahan diri untuk tak melangkahi batas. Detik berikutnya napas Serina terputus-putus. Rintihannya terdengar jelas. Tanjung b
Serina tak tahu, jika menyentuh dan disentuh oleh seorang pria akan memberinya sensasi seperti ini, seolah ada sesuatu yang menggelitik dirinya dari dalam. Tanjung adalah pria pertama yang memberinya rasa seperti ini. Ia penasaran, sejauh apa rasa asing itu akan ia rasakan. Maka, Serina melangkah lebih nekat. Disapunya rahang tajam yang maskulin itu. Dipertemukannya kedua mata mereka. Serina yang penasaran dan Tanjung yang sibuk mempertahankan kendali diri.“Kau bisa melakukannya, melihat diriku lebih jauh,” bisiknya, seperti dewi pengoda yang amat lihai.Tanjung memejamkan mata rapat-rapat. Jelas-jelas wanita ini baru saja membangun tembok yang sangat kokoh. Mengapa sekarang ia mengundang Tanjung untuk masuk begitu saja? Ia bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk Tanjung. Tanjung sama sekali tak mampu memahami alur pikiran Serina. Napas Tanjung saling bertabrakan. Akal sehat dalam kepalanya seolah perlahan-lahan menyusut. Mengapa Serina bisa semenawan ini? Apa yang terjadi padanya