Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikiran. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Lalu merekam pembicaraan dua lelaki tua tersebut.“Kapan kau taubat, Yos? Kita ini sudah tua. Tak elok bicara soal gituan.” Perkataan yang dilontarkan Pak Dewa ditanggapi gelak tawa.Sutiyoso terbahak. Gelak tawanya seperti orang yang kesurupan Jin Iprit. Dasar iblis tua! “Dari dulu kau ini terlalu polos, Dewa. Untuk kesekian kalinya aku sarankan,” Perkataan bandot tua terjeda. Lalu, "Sekali-kali kau cicipi rasanya perawan,” Sangat pelan suara Sutiyoso, hingga aku menempelkan telinga di pintu toilet. “Rasanya itu ... gurih-gurih enyooooyyy ..... Hahahaha.” Sutiyoso kamprett!! Aku menggeram di bilik toilet, ingin kucabik-cabik wajah tuanya. Mengebiri kelelakiannya hingga tidak ada lagi yang dia banggakan!Mungkin suatu saat nanti keinginan itu akan terjadi.Cih!! Perkasa sebab obat kuat saja bangga. Dasar tidak tahu malu! Tidak tahu diri!“Kau ini sudah menjadi budak nafsu, Yos! Kalau sudah ketemu
Selepas pulang kantor, aku memutar kembali rekaman percakapan dua orang yang telah bersahabat sejak sekolah menengah itu.Sungguh tak menduga sebelumnya, kalau Sutiyoso adalah seorang pembunuh yang sangat licik! Si tua bangka itu benar-benar pandai merancang pembunuhan tersebut hingga tim forensik pun terkecoh oleh hasil perbuatan kejinya.Rasa iba mengusik hati, saat membayangkan wanita atau istri si korban pembunuhan yang dilakukan oleh bandot tua.Menurut Pak Dewa, wanita itu sedang hamil ketika suaminya meninggal ditangan Sutiyoso. Apalagi sebulan sebelum kepergian sang suami, ibu kandung wanita itu pun meninggal dunia.Tak dapat kubayangkan bagaimana menjalani hari tanpa orang-orang yang kita kasihi. Hati nurani Sutiyoso sepertinya sudah mati!Kali ini aku tidak boleh menganggap Sutiyoso orang yang tidak berbahaya. Apalagi dia sempat berkata pada Pak Dewantara, jika tak dapat memiliki aku, tak segan ia membuat keluargaku menderita bahkan tak segan untuk membunuh. Seketika bulu k
Setibanya di Desa, Ambu menyambut kedatanganku dan Mas Bambang dengan wajah berseri. Jaka, Asep dan Ujang juga menyalami punggung tangan calon suamiku itu. Hanya Abah yang tidak ada di rumah. Kata Ambu, Abah masih di sawah.Rasanya senang sekali mendengar Abah tidak lagi berpangku tangan di rumah. Sekarang Abah punya kegiatan. Menjaga dan merawat sawah yang setahun lalu kami beli.“Abah teh sekarang rajin pisan, Neng. Tiap hari kerjaannya di sawah terus. Ada saja yang dia kerjain," ucap Ambu memuji Abah. Aku bahagia karena Ambu tidak membicarakan sifat buruk Abah lagi.“ Syukur atuh, Ambu.”Warga Desa yang sedang berlalu lalang mendadak berhenti. Memerhatikan aku dan Mas Bambang yang sengaja belum dipersilahkan masuk ke rumah oleh Ambu. Biar semua warga Desa tahu, kalau aku Wulandari bukan lagi perawan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh si Minah.Sebenarnya syarat yang Ambu ajukan untuk menjadi calon suamiku tidaklah berat. “Ambu mah teu muluk-muluk neangan mantu. Nu penting ca
Tidak mungkin! Orang itu tidak mungkin Sutiyoso. Mana mau laki-laki bergaya borjouis seperti dia mau turun ke sawah. Tapi ... kalau benar yang mengobrol adalah si tua bangka, bisa terancam nasib keluargaku. Apalagi Pak Dewantara pernah berkata kalau Sutiyoso tidak segan-segan membunuh orang yang telah membuatnya kecewa.Aku menutup mulut dengan sebelah tangan kanan. “Kamu kenapa, Lan?” Mas Bambang menatapku heran. “Enggak kenapa-napa, Mas.” Mataku beralih kembali memandang Abah dengan laki-laki yang masih misterius itu.“Sawah Abah Lalan yang mana?” “Kita pulang saja, Mas. Perut Wulan tiba-tiba mules. Ingin buang air besar,” kataku penuh kebohongan. Biarlah, yang penting sekarang harus pulang dulu. Jangan sampai Abah memergoki kami lalu menyuruh menghampirinya.Aku mempercepat langkah, berjalan lebih dahulu ketimbang Mas Bambang. “Lan, tunggu! Jalannya cepat amat? Udah mules banget emang?” Mas Ambang berusaha mensejajarkan langkah. Aku menarik tangannya agar cepat-cepat tiba di ru
Aku terhenyak saat Abah mengatakan kalau besok orang kota itu akan ke rumah. Bagaimana jika orang kota itu ternyata Sutiyoso? Ya Tuhan ... jangan sampai dugaanku benar. Semoga saja salah. “Kamu kenapa, Neng? Mukanya tegang gitu?” Gelagapan saat Ambu menyentuh pundakku. “Oh, enggak-gak Ambu. Neng gak kenapa-napa. Mas Ambang, kita nonton tivi yuk!” Aku menarik lengan Mas Bambang guna menghindari tatapan menyelisik Ambu. Sudah hampir setengah jam menunggu Abah keluar kamar. Ingin memastikan siapa sebenarnya laki-laki itu. Terdengar suara deheman Abah dari dapur. Aku bergegas menghampiri. Rupanya Abah hendak makan. “Kenapa, Neng?” tanya Abah begitu aku berdiri tak jauh dari meja makan. “Si Neng dari tadi sikapnya aneh. Ada apa atuh, Neng?” Ambu ikutan bertanya sambil tangan kanannya menyendokkan nasi ke atas piring yang berada di hadapan Abah. “Gak ada apa-apa, Ambu," jawabku menyembunyikan rasa curiga lelaki yang berbincang dengan Abah di sawah tadi.“Masalah orang kota tadi?” Pert
Mereka semua terdiam, mungkin termangu dengan ucapanku yang cukup berani membeberkan kesalahan masa lalu seseorang. Bukan cuma Abah dan Ambu yang merasa heran, laki-laki yang seumuran dengan Abah pun tak bisa berkutik."Maaf, Lan. Waktu itu aku gak sengaja." Jaka mengelak, aku tersenyum sinis. "Mas, ayok kita pergi!" Aku beranjak, menarik tangan Mas Bambang keluar dari dalam rumah.Enak saja sekarang setelah perekonomianku sudah stabil, mereka berusaha mendekati. Dulu saja, ketika keluargaku masih susah, mereka selalu menghina dan menganggap kami rendah. Aku bukanlah Wulan yang dahulu lagi. Yang Cuma bisa diam, menangis, mengangguk dan merunduk. Apalagi menghadapi laki-laki yang selalu merasa tidak berdosa akan tindak kejahatannya. *** Esok adalah hari pernikahan aku dan Mas Bambang. Semua warga Desa bergotong royong membantu. Bahkan Jaka adik pertama, membuat kepanitian khusus di momen bersejarah dalam kehidupanku dan Mas Bambang. Para panitia aku belikan kaos seharga tiga puluh
Dari kejauhan kulihat tiga orang banci berlari ke arah kami. Mereka semua mengenakan rok mini, kaos ketat, dan mengenakan sepatu high heels. Tetapi, tadi salah satu dari mereka ada yang memanggil Mayang. Siapa gerangan orang yang bernama Mayang?Ketiga banci semakin mendekati kami. Aku harap-harap cemas, takut nantinya menjadi bahan cemoohan warga desa."Maayaaang ... astaganaga ... kenapa yey tidak mengundang kami, Yang?"Astaga, ternyata Mayang itu adalah nama lain Mas Bambang. Apakah dulunya suamiku seorang banci? Oh, Tidak, tidak! Mas Bambang lelaki tulen, dia bukan banci!"Ka-kalian siapa? Mau apa kalian ke sini?"Kudengar suara Mas Bambang yang bergetar. Entah karena dia ketakutan atau karena memang benar kalau suamiku mengenalnya."Aku ini temanmu dulu, Mayang ... Oh my God ... yey, sekarang sombong! Eike Mince, Mayang ... Mince!"Mataku mengitari tamu undangan. Mereka memerhatikan ketiga waria yang datang dengan begitu heboh ingin mendapat pengakuan dari Mas Bambang kalau ket
Hari ini aku dan Mas Bambang kembali lagi ke ibu kota. Mas Bambang memintaku untuk tinggal di rumahnya. Tidak masalah, asalkan selalu ada dia di sisi, aku pasti bersedia dengan senang hati. Meski malam pertama Mas Bambang tidak dapat mencetak gol, aku tidak boleh berputus asa. Bagaimana pun suamiku itu harus bisa melakukannya. Minimal satu kali.Di tengah perjalanan, aku melihat pamflet obat kuat yang tokonya cukup besar. Kusuruh Mas Bambang berhenti dan memarkir mobil di sisi jalan. “Mau ngapaian, Lan?”“Mas tunggu di sini, ya? Sebentar kok.” Mas Bambang mengangguk walah kutahu di wajahnya jelas ada rasa penasaran. Biarkan saja, aku sedang malas memberi tahu. Setelah berdiri di depan toko, seorang Bapak-bapak tua bermata sipit menyapa. Sebenarnya aku malu beli obat kuat. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya burung Mas Bambang kesulitan untuk berdiri.“Mau beli apa, Mbak?” Bapak yang berwajah Cina itu bertanya. “A-anu, Pak ... saya mau beli obat kuat.” “Obat kuat untuk laki-laki a
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera