Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?!
Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya.Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.”Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini.Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.“Terus maksud Om, booking itu apa?”Hebat sekali orang tua ini, walaupun sudah lansia. Tetapi, masih tetap kuat meminum minuman yang mengandung alkohol. Dia masih waras, belum mabuk berat.“Kita jalan-jalan saja. Misalnya temenin Om makan siang, nonton, shopping. Selama di sini Wulan belum pernah shopping 'kan?”Aku berpikir sejenak. Menimang-nimang ajakan laki-laki beristrikan Ratna Ayu.“Om tidak bohong kalau tidak akan mengajakku ke hotel? Hanya mengajakku jalan-jalan saja?” Aku memastikan jika ucapan Om Sutiyoso tidaklah bohong.“Tidak, Lan. Lagian Om cuma minta ditemani dari pukul delapan pagi sampai jam lima sore. Setelah itu, Om antar kamu ke sini lagi.” Aku bersandar di sofa sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Bayarannya berapa?”“Ini cek kosong. Wulan tinggal isi. Tetapi, satu lagi ... Di luar sana, Wulan harus bersikap manja dan centil kayak biasanya, oke?” Om Sutiyoso menjawil dagu lancipku. Aku mengambil secarik kertas persegi panjang itu. Mengibas-ibaskannya lalu terbersit ide. Mungkin ide ini awal dari kesuksesanku yang sesungguhnya.Aku memberikan kembali cek ke telapak tangan Pak Sutiyoso.“Kali ini Wulan tidak mau uang. Tetapi, Wulan mau pekerjaan!” ucapku dengan sangat yakin.“Pekerjaan? Pekerjaan apa?”Om Sutiyoso menatapku lekat. Aroma alkohol dari mulutnya tercium jelas.“Aku ingin bekerja di kantor, Om. Minimal jadi sekretaris.”Kelopak mata Pak Sutiyoso membulat. Mungkin dia terkejut dengan permintaanku.“Wulan pernah kuliah?”“Tidak. Tetapi, waktu masih sekolah, aku salah satu siswa berprestasi. Sebelum memberikan pekerjaan, Om bisa tes aku dulu. Asalkan kasih aku materinya. Apa saja yang harus aku pelajari dan kerjakan. Apa Om ragu dengan kemampuanku?”Aku menatap lekat laki-laki yang usianya mungkin sebaya dengan Abah.Om Sutiyoso menggeleng cepat, “Bukan, bukan begitu, Lan. Justru Om semakin kagum sama kamu. Ternyata Wulan wanita yang ambisius. Bagus itu! Calon wanita yang sukses.”Mendapat pujian, aku tersenyum bangga. Ya, aku memang harus sukses. Harus banyak uang. Harus!Tiba-tiba aku membayangkan berpakaian wanita kantoran yang sering kutonton di televisi. Sepertinya aku semakin cantik jika mengenakan pakaian seperti itu. Bibirku menyunggingkan senyum percaya diri.Aku menoleh ke arah Om Sutiyoso yang sedang meneguk minumannya kembali.“Kalau Om keberatan, tidak masalah. Berarti besok aku tidak bisa menemani, Om!” Ancamku dengan wajah ditekuk.Apa mungkin tua bangka ini meragukan kecerdasanku?“Tidak, Om tidak keberatan. Om sangat senang. Setidaknya hubungan kita semakin dekat. Hahaha ....” Gelak tawa yang menjijikkan!Aku bukan anak kecil yang tak tahu laki-laki yang dalam otaknya hanya nafsu dan nafsu saja.Om Sutiyoso tipikal laki-laki yang haus kasih sayang. Aku memaklumi soalnya istri Om Sutiyoso itu seperti Harimau betina. Begitulah kesimpulanku menangkap cerita dari mulut Om Sutiyoso.***Jarum jam belum menunjukkan angka delapan pagi dengan tepat. Namun, Om Sutiyoso sudah menampakkan batang hidung.Penghuni rumah petak di sebelah kanan kiriku mulai berkasak-kusuk. Samar kudengar mereka berbicara.“Si Wulan ternyata sekarang jadi simpanan Om-om.” Mpok Tarmi mulai menyebar gosip murahan.“Sayang banget, punya wajah cantik bukannya cari laki yang single dan muda malah pilih bandot tua.” Si Yeni yang usianya lebih muda setahun dariku menimpali.“Jangan salah, bandot tua juga banyak duit. Lah, mobilnya juga bagus banget.”Telingaku mulai terasa panas! Tetapi, biarlah. Tidak ada guna melayani perkataan mereka. Toh, Mpok Tarmi dan si Yeni tidak pernah memberikan aku yang!Om Sutiyoso membukakan pintu mobil mewahnya. Setelah aku duduk dengan nyaman, tua bangka itu masuk ke jok pengemudi. Lalu, kendaraan yang kami tumpangi pun melaju, meninggalkan kontrakan petak.***Sesuai kesepakatan, sepanjang jalan aku bermanja-manja dengannya. Tak peduli dengan tatapan sinis orang lain. Bagiku sekali lagi, yang penting duit!Tempat pertama yang kami kunjungi adalah bioskop yang terletak di pusat perbelanjaan.Jujur saja, baru kali ini kakiku menginjakkan Mall. Waktu di Desa, jangankan ke Mall, ke pasar pun jarang sekali. Mungkin hanya menjelang Idul Fitri.“Sayang, sambil nunggu filmnya mulai. Kita belanja dulu, ya?”Hah? Sayang?“Oke, Sayang!” sahutku menggamit lengannya manja.Alamaaakk ... Tua bangka ini wajahnya langsung sumringah. Dasar laki-laki kurang kasih sayang.Aku berjalan sambil menahan tawa.Di depan toko sepatu, aku dilayani bak seorang Ratu. Duduk di sofa empuk, seorang karyawan wanita berambut sebahu begitu telaten memasangkan sepatu pada kaki jenjangku.Beberapa kali kutolak sepatu yang karyawan itu pasangkan. Sebenarnya bukan aku tak suka. Tetapi, bingung harus pilih yang mana.Aku melirik Om Sutiyoso. Dia berdiri tak jauh dariku. Aku melempar senyum genit saat kami beradu pandang.Pemilik toko menghampiri tua bangka itu, oh rupanya Pemilik toko ini teman Om Sutiyoso.“Yos, itu pacar kau?” tanya si Pemilik toko. Aku pura-pura acuh.“Iya dong!”Si tua bangka hanya tersenyum. Melipat kedua tangan ke depan dada. Perut buncitnya maju beberapa senti.Sekitar setengah jam kami berada di toko ini. Om Sutiyoso menghampiri.“Sayang, sepuluh menit lagi filmya dimulai. Ayo, cepat pilih sepatunya.”“Aku suka sepatu yang ini, itu, sama yang dipegang si Mbak.”“Ya sudah ambil semua. Mbak tolong diberesin. Hei, Jok! Uangnya nanti aku transfer sajalah. Rekening kau masih sama ‘kan?”“Masih! Aku tunggu transferannya, Yos!” sahut Pak Joko mengacungkan ibu jari.Kami berjalan setengah berlari. Namun, tiba-tiba Om Sutiyoso menghentikkan langkah saat seorang wanita berpakaian glamour mendekati kami. Tua bangka juga menepis tanganku dari lengannya.“Siapa dia, Pak?” Wanita yang kutaksir seumuran dengan Pak Sutiyoso bertanya. Matanya menelisikku dari ujung kepala sampai ujung kaki.“Di-dia, sekretaris Bapak, Bu.”Bu? Jangan-jangan wanita yang berdiri angkuh di hadapanku adalah istri si tua bangka.“Benar kamu sekretarisnya?”“Iya, Bu,” jawabku setenang mungkin.Wanita yang bernama Ratna Ayu mendekatiku hingga jarak kami hanya beberapa senti.“Mulai hari ini, kamu dipecat!!!”Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember
“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.” Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso. “Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia o
Hah? Sedikit dermawan? Sayang sekali. Ternyata dia bukan idamanku. Padahal wajahnya sangat tampan. Tetapi, kalau pelit, ogah!Aku menarik tangan dari genggamannya. Maleslah, naksir cowok pelit! Misalnya laki-laki itu paling tampan sedunia pun, kalau dia pelit, bagiku tetap jelek!! Dalam hidupku saat ini hanya uang, uang dan uang! Urusan cinta nomor sekian. Rasa sakit hatiku karena dikhianati pacar dan tikung sahabat sendiri, cukup membuatku malas jatuh hati pada pria. Sudahlah, aku harus fokus mengumpulkan uang sebanyak mungkin supaya keluargaku di desa dinaikan harkat martabatnya dan dihormati oleh Warga desa. Aku harus fokus! fokus!“Kalau udah selesai, saya pamit ya, Pak.”“Oh iya silakan. Saya harap pikiran Anda tidak dibayangi oleh paras tampan yang saya miliki. Tidur Anda tetap nyenyak, selera makan Anda tetap enak.”Aku paksakan bibir ini tersenyum walaupun sebenarnya agak mual mendengar celotehan Pak Bambang.“I-iya, Pak. Mari Pak, permisi.”Keluar dari ruangan itu, handphone
Kupandangi bergantian dua lelaki yang sedang saling beradu tatap. Raut wajah lelaki muda itu terlihat geram, tangan kanannya mengepal. Sedangkan Pak Sutiyoso dipenuhi kegugupan.“Rahasiakan apa yang kamu lihat! kalau tidak ingin namamu dicoret dari daftar ahli waris," desis Pak Sutiyoso mengancam. Lalu menarik lenganku agar berjalan menjauhi lelaki muda itu.Mungkinkah dia anaknya? Tapi kenapa tidak ada keramahan dan keakraban sama sekali? Atau mungkin karena melihatku menggandeng tua bangka ini? Makanya laki-laki itu sangat geram. Tapi untunglah tidak ada caci maki dan amarah yang ditujukan padaku.Tiba di dalam mobil, tak sabar ingin aku bertanya perihal laki-laki berkulit cokelat sawo matang itu.“Dia anak tiri, Om," jawab laki-laki yang sedang mengalami masa puber kesekian saat kutanya siapa laki-laki tadi. “Jadi, dulu itu Ratna Ayu berstatus janda waktu Om nikahi?” Aku mempertegas status wanita yang tempo hari melabrak kami di pusat perbelanjaan.Pak Sutiyoso mengangguk. Lalu, m
Aku terkejut mendengar ungkapan Pak Sutiyoso. Berasa dilempar kotoran wajahku ini. Di hadapan banyak orang dia mengajakku menikah secara terang-terangan.Bandot tua tak tahu diri! Mana mau aku yang masih muda dan cantik bersedia menikah dengannya? Dia itu pantasnya jadi Bapakku!“Gimana, Lan? Mau jadi istri Om, 'kan” Aduuh ... Aku bingung harus memberi jawaban apa. Satu sisi tidak mau punya suami yang sudah tua bangka. Sisi lain, aku masih butuh uangnya. Kalau aku tolak, kira-kira Pak Sutiyoso akan menjauh tidak, ya?“Hmm ... maaf, Om. Wulan gak mau dinikahi laki-laki yang masih punya istri. Gak mau jadi istri kedua. Gak mau dicap pelakor," selorohku beralasan. Setidaknya untuk sekarang itulah jawaban yang paling tepat. Karena kutahu, bandot tua ini tidak akan menceraikan Ratna Ayu. Aset kekayaannya sudah atas nama wanita licik itu. Pak Sutiyoso pasti tak mau hidup melarat. Walaupun ia pernah bilang, masih ada harta kekayaannya yang tidak diketahui oleh Ratna Ayu.“Tapi, Lan ... Om
Kenapa hidupku selalu dihina orang?? Kenapa, ya Tuhan?? Tidak di Desa, tidak di sini, selalu saja dihina!Alasanku mendekati tua bangka itu cuma ingin uang, bukan ingin jadi simpanan om-om apalagi istrinya!Kulewati kerumunan orang dengan setengah berlari. Tak mempedulikan tatapan tanda tanya mereka.Untunglah, begitu kaki menjejakkan aspal di pinggir jalan, sebuah taksi tanpa penumpang melintas. Tanganku melambai memberhentikan taksi tersebut.“Jalan, Pak," titahku pada supir taksi, begitu duduk di jok penumpang.Air mata semakin mengalir deras. Kenangan pahit yang menimpaku seolah menari-nari di pelupuk mata.Ditambah omongan orang-orang yang mengiraku sebagai simpanan Om-om, semakin pedih hati ini. Meskipun itu suatu kebenaran, kalau aku seorang wanita penggoda simpanan om-om, tetapi rasanya hatiku sangat sakit mendengar orang lain men-cap-ku demikian.Tak kuhiraukan ponsel yang berdering beberapa kali. Pasti dari Pak Sutiyoso. Apa benar aku adalah simpanan bandot tua itu? Tidak!
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera