Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke.
Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening.Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah.Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa.***Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Banyak pengunjung dari kalangan pembisnis. Apalagi tempat karaoke ini cukup tertutup. Jadi, aman untuk para bos-bos besar itu singgah.“Kamu itu punya daya pikat tersendiri, Lan. Abang harap Wulan betah di sini, ya? Jangan sampai berhenti.” Bang Suryadi memuji sekaligus memohon. Aku tersenyum bangga. Baru kali ini bersyukur memiliki paras cantik. Ternyata kecantikanku ada gunanya juga. Namun, tidak sedikit pula pemandu karaoke dan artis dangdut di sini terlihat sinis padaku. Entah karena mereka iri, dengki atau mungkin karena mereka tidak memiliki apa yang aku miliki.Aku pernah mendengar percakapan Tiara dan Delia di toilet.“Aku curiga sama si Wulan, Del,” celetuk Tiara tanpa tahu keberadaanku di salah satu bilik toilet.“Curiga kenapa?”“Curiga kalau si Wulan itu menggunakan susuk pemikat.”Susuk? Dia berpikir aku pakai susuk? Susuk sate kali. Ada-ada saja mereka.“Iya, aku juga berpikir seperti itu. Bayangkan saja, sejak kehadiran dia, tempat ini jadi ramai. Sampai kedatangan pengusaha-pengusaha elite. Edan!” Bicara Tiara bernada sinis, iri dan dengki.“Belum lagi, para pengunjung maunya ditemani si Wulan, terutama kalangan dari bos-bos besar. Aku penasaran deh, dia pasang susuk pemikatnya di dukun mana, ya?” tanya Tiara. Kalimat terakhirnya membuatku geli. Kembali kutajamkan pendengaran.“Aku juga tidak tahu. Eh, bukannya kamu juga pakai susuk pemikat, ya?”“Ssssttt ... Jngan keras-keras bicaranya, Del. Nanti kalau ada yang dengar, bisa gawat.”Kubuka pintu toilet sedikit, temannya itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.“Maaf. Tetapi, yang aku tahu, si Wulan itu tidak mau di-booking ke hotel lho.”“Masa? Sok jual mahal amat. Munafik!”Aku menggelengkan kepala mendengarkan percakapan mereka. sudah tidak dapat dibiarkan mulut Tiara dan si Delia. Dengan kasar, aku membuka pintu toilet.“Siapa yang munafik? Aku?” tanyaku tanpa berbasa-basi.Tiara dan Delia terperanjat. Mereka saling pandang. Mereka pasti tidak menyangka kalau aku ada di dalam toilet. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.Di sini aku tidak boleh lemah. Tidak boleh ada orang yang menghinaku. Cukup di desa saja. Aku harus pandai memanfaatkan perhatian istimewa pemilik tempat karaoke ini.“Kalian mau aku laporin ke Bang Sur?” Aku memicingkan mata, memberi ancaman pada mereka.“Laporin apa? Memangnya kita salah apa?”Tiara pura-pura dungu. Aku mencebik. Aku tahu dalam hati mereka pasti ketar-ketir.Tangan kananku mengeluarkan ponsel. Mengangkat benda canggih itu ke depan wajah. Menakuti mereka dengan pura-pura merekam pembicaraan antara Tiara dan Delia.“Pembicaraan kalian sudah aku rekam. Aku bisa saja, menyuruh Bang Suryadi memilih. Pilih pecat kalian berdua, atau pilih aku yang pergi dari tempat ini!” Ancamku penuh penekanan. Wajah Tiara dan Delia langsung pias.Semua orang di sini tahu, kalau aku karyawan spesial Bang Sur. Adanya aku di sini, omset Bang Sur naik drastis. Apalagi aku mampu menggaet pelanggan dari kalangan atas.“Ja-jangan, Wulan ... Kami minta maaf. Tolong jangan laporin pada Bang Sur.” Tiara mulai memohon.Aku menghela napas. Menatap satu persatu wajah seniorku itu.Harusnya mereka lebih kuat dan berkuasa dari pada aku. Tiara dan Delia kabarnya sudah tiga tahun bekerja di tempat ini. Sedangkan aku, satu tahun pun belum.Lagi-lagi aku bangga akan diri sendiri yang dianugrahi kecantikan alami.“Oke, aku tidak akan lapor, asalkan omongan kalian tentang aku dijaga. Dengar baik-baik, aku Wulandari tidak pernah dan tidak akan memakai susuk! Tidak akan pernah mau di-booking! Bukan aku munafik, tetapi aku masih punya harga diri sebagai wanita! Tidak akan menghinakan diri sendiri hanya demi beberapa lembar rupiah seperti kalian! Kalian mmengert?” Suaraku meninggi. Seperti seorang bos yang memarahi bawahannya yang bekerja tidak becus.“Mengerti, Lan .... mengerti,” sahut mereka dengan kepala merunduk dalam. Aku tersenyum puas.“Bagus. Sekali lagi aku dengar kalian berdua membicarakan hal buruk tentang aku, aku tidak akan segan-segan menyuruh Bang Sur untuk pecat kalian berdua.” Jari telunjukku mengarah pada kedua hidung mereka.Rasanya puas sekali, bisa memarahi dan mengancam si Tiara dan Delia.“Kami janji, Lan ... Tidak akan mengulanginya lagi.”Aku tersenyum puas menyaksikan ketakutan mereka. Mungkin dulu ekspresi wajah aku seperti mereka saat diancam orang kampung. Diancam karena Ambu dan Abah tidak mampu membayar hutang Teh Marni.*** Malam ini, pelanggan dari kalangan bos besar datang. Namanya Pak Sutiyoso. Awalnya dia datang bersama Pak Dewantara. Namun sudah tiga kali datang sendirian.Katanya Pak Dewa dan Pak Sutiyoso berteman akrab sejak mereka masih sekolah menengah.Pak Sutiyoso ke tempat ini bukan untuk bernyanyi. Tetapi, untuk berkeluh kesah atau istilahnya curhat padaku.Seperti biasa, aku minta bayaran tiap jam ketika menemani laki-laki berperut gendut itu. Zaman sekarang tidak ada yang gratis! Semuanya serba aku jadikan uang. Pak Sutiyoso langsung menyanggupi, tidak keberatan sama sekali.“Kalau perlu, Om bayar lebih dari yang kamu minta. Tetapi, dengan satu syarat ....”Mataku langsung berbinar mendengar bayaran lebih yang akan diberikan Om Sutiyoso.“Apa syaratnya, Om?” tanyaku penasaran. Pak Sutiyoso mendekatkan bibirnya di telingaku.“Syaratnya, kamu harus mau Om booking, bagaimana? Kamu mau ‘kan?”Apa? Lelaki tua bangka ini mau membooking? Aku sudah bertekad tidak mau dibawa kemana-mana oleh pelanggan, hanya menemaninya berbicara dan bernyanyi.Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?! Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya. Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.” Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini. Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember
“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.” Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso. “Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia o
Hah? Sedikit dermawan? Sayang sekali. Ternyata dia bukan idamanku. Padahal wajahnya sangat tampan. Tetapi, kalau pelit, ogah!Aku menarik tangan dari genggamannya. Maleslah, naksir cowok pelit! Misalnya laki-laki itu paling tampan sedunia pun, kalau dia pelit, bagiku tetap jelek!! Dalam hidupku saat ini hanya uang, uang dan uang! Urusan cinta nomor sekian. Rasa sakit hatiku karena dikhianati pacar dan tikung sahabat sendiri, cukup membuatku malas jatuh hati pada pria. Sudahlah, aku harus fokus mengumpulkan uang sebanyak mungkin supaya keluargaku di desa dinaikan harkat martabatnya dan dihormati oleh Warga desa. Aku harus fokus! fokus!“Kalau udah selesai, saya pamit ya, Pak.”“Oh iya silakan. Saya harap pikiran Anda tidak dibayangi oleh paras tampan yang saya miliki. Tidur Anda tetap nyenyak, selera makan Anda tetap enak.”Aku paksakan bibir ini tersenyum walaupun sebenarnya agak mual mendengar celotehan Pak Bambang.“I-iya, Pak. Mari Pak, permisi.”Keluar dari ruangan itu, handphone
Kupandangi bergantian dua lelaki yang sedang saling beradu tatap. Raut wajah lelaki muda itu terlihat geram, tangan kanannya mengepal. Sedangkan Pak Sutiyoso dipenuhi kegugupan.“Rahasiakan apa yang kamu lihat! kalau tidak ingin namamu dicoret dari daftar ahli waris," desis Pak Sutiyoso mengancam. Lalu menarik lenganku agar berjalan menjauhi lelaki muda itu.Mungkinkah dia anaknya? Tapi kenapa tidak ada keramahan dan keakraban sama sekali? Atau mungkin karena melihatku menggandeng tua bangka ini? Makanya laki-laki itu sangat geram. Tapi untunglah tidak ada caci maki dan amarah yang ditujukan padaku.Tiba di dalam mobil, tak sabar ingin aku bertanya perihal laki-laki berkulit cokelat sawo matang itu.“Dia anak tiri, Om," jawab laki-laki yang sedang mengalami masa puber kesekian saat kutanya siapa laki-laki tadi. “Jadi, dulu itu Ratna Ayu berstatus janda waktu Om nikahi?” Aku mempertegas status wanita yang tempo hari melabrak kami di pusat perbelanjaan.Pak Sutiyoso mengangguk. Lalu, m
Aku terkejut mendengar ungkapan Pak Sutiyoso. Berasa dilempar kotoran wajahku ini. Di hadapan banyak orang dia mengajakku menikah secara terang-terangan.Bandot tua tak tahu diri! Mana mau aku yang masih muda dan cantik bersedia menikah dengannya? Dia itu pantasnya jadi Bapakku!“Gimana, Lan? Mau jadi istri Om, 'kan” Aduuh ... Aku bingung harus memberi jawaban apa. Satu sisi tidak mau punya suami yang sudah tua bangka. Sisi lain, aku masih butuh uangnya. Kalau aku tolak, kira-kira Pak Sutiyoso akan menjauh tidak, ya?“Hmm ... maaf, Om. Wulan gak mau dinikahi laki-laki yang masih punya istri. Gak mau jadi istri kedua. Gak mau dicap pelakor," selorohku beralasan. Setidaknya untuk sekarang itulah jawaban yang paling tepat. Karena kutahu, bandot tua ini tidak akan menceraikan Ratna Ayu. Aset kekayaannya sudah atas nama wanita licik itu. Pak Sutiyoso pasti tak mau hidup melarat. Walaupun ia pernah bilang, masih ada harta kekayaannya yang tidak diketahui oleh Ratna Ayu.“Tapi, Lan ... Om
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera