Nada sambung terdengar, tapi Rose tak kunjung mengangkat telepon, sedangkan Rena dan Haris akan segera pulang. Rena menatap suaminya dan menggeleng.”Coba telfon Aldi,” usul Haris pada istrinya. Rena segera menelfon mantan suaminya itu, hingga di dering terakhir, telfonnya diangkat.”Ya, Re?” sahutnya di sana.”Katya mana, Di? Gue sama Haris mau balik,” ucap Rena to the point.”Oh, sebentar ....” Kemudian telfon dimatikan. Tak lama Aldi dan Rose datang menghampiri Rena dan Haris. Katya sudah terlelap dalam dekapan Rose, dan Rena bersiap mengambil putrinya tapi Rose menghindar.”Ren, boleh nggak lain kali Katya tidur sama gue?” pintanya.Rena menghela napas, ”Untuk sekarang ini nggak boleh, Rose. Dia masih kecil, sering bangun malem minum susu, dia masih ASI,” jelasnya.”Kalau begitu gue bawa asi yang udah lo bekuin, tinggal lo ajarin gimana caranya aja, gue pasti bisa kok,” ujar Rose, masih berusaha agar Rena mengizinkan.”Nggak bisa. Kalau lo mau maen sama Katya, silahkan ke rumah. T
Aldi mendengarnya, ia memang tidak tidur. Setiap kata yang diucapkan istrinya membuat pikirannya perlahan bisa menerima. Mengetahui istrinya tengah menangis, Aldi mulai duduk di samping Rose, kepalanya ia sandarkan di bahu kurus Rose.Seakan tersentak dengan kepala suaminya, Rose menoleh, matanya menghangat tapi bibirnya tersenyum. Bulir bening berdesakan keluar, ia tak tahu terlalu bahagia pun bisa membuatnya menangis. Kedua pasangan suami istri itu saling berpelukan.***Setahun kemudian ...Keesokan harinya, di rumah Rena, tengah mempersiapkan beberapa bekal makanan untuk dibawa ke pantai. Ia sengaja membawa makanan dari rumah dan karpet lainnya untuk sekalian piknik kecil-kecilan bersama semua orang rumah. Suaminya meminta dibuatkan sandwich dengan saus mentai sudah disajikan di dalam kotak makanan.Rena dan Haris sudah bersiap dengan pakaian santai, begitu pun Katya yang ikut mondar-mandir merecoki Lira dan Mbok Nah. ”Sayang, kamu sama papa dulu,” ujar Rena pada anaknya itu. Ha
”Maaf, Mbak.” Shilla bersuara, wajahnya sudah merembes karena air mata yang tak kunjung berhenti. Ia merasa sangat kotor saat ini, tapi ini pun bukan kesalahannya semua. Ini karena Wulan yang ternyata sudah menjadikannya jaminan atas hutangnya. Almarhumah kakaknya itu menjual keperawanannya pada seorang lelaki tua bangka dengan perut buncit.”Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Shilla, ia ikut luruh di samping Fitria. Kedua kakak beradik itu saling menangisi nasib mereka yang malang.”Mati saja kamu! Mati aja!” bentak Fitria, ia bahkan menjambak rambut adiknya. Shilla tidak membalas, ia hanya diam menikmati amukan dari kakak sulungnya. Ia memang merasa salah.Mati? Bahkan Fais menghalanginya. Saat ia akan terjun dari jembatan sepi, ternyata Fais menghalangi jalannya untuk mati. Ia sudah putus asa, bahkan kebahagiaan tampak begitu jauh di matanya.”Bocah gob lok!” maki Fitria, rupanya wanita itu masih belum puas melampiaskan rasa kesalnya. ”Hilang sampe setahun, begitu datang bawa
Rose hanya diam tak bermaksud menimpali. Pikirannya melayang jauh pada temannya, Clara. Bagaimana kalau Clara mampir ke rumah dan melihat Shilla. Tapi apa Clara tahu Shilla menjadi simpanan papa-nya? Rose bermonolog. Keningnya terasa berkeringat, hingga Rose mengusap kening dengan tangan gemetar.”Apa aku harus ngomong siapa Subroto?” ujar Rose lirih.”Terus sekarang gimana keadaan Shilla?” tanya Rena.”Dia berantakan. Perutnya udah gede, mungkin beberapa bulan lagi lahir,” jawab Aldi. ”Fais ada di rumah, karena Fitria pingsan sejak tau adiknya dijual sama Wulan.””Beb ...,” panggil Rose. Aldi menatapnya ingin tahu. ”Subroto itu ..., papanya Clara.”Semuanya mendengar apa yang Rose ucapkan, ”Clara sering mampir ke rumah lo berdua?” Rena bertanya. Rose dan Aldi menggeleng.”Dia cuma ke cafe, nongkrong sama temennya yang lain--””Ya kemungkinan dia juga bisa ke rumah kalian, kan rumah kalian cuma berapa langkah doang jaraknya,” ujar Rena, kemudian kembali mual sambil menutup mulut.”Lo
”Shilla, kamu pake ini biar kamu nyaman.” Rose mendekat memberinya baju. Ia menggamit tangan Shilla dan mengajaknya ke kamar, matanya berkedip ke suaminya sebagai kode untuk menenangkan Fitria.Shilla mau diajak Rose ke kamar, bahkan kini ia duduk di kursi rias. Rose mengusap wajah Shilla pelan untuk membasuh air matanya. Mata Shilla sembab, entah berapa lama ia menangis.”Gantilah, biar aku tunggu di sini,” ujar Rose. Shilla mengambil baju tidur pendek pemberiannya. Setelah memakainya, Shilla duduk menghadap cermin. Dari sudut matanya, masih menelurkan embun bening.”Apa yang kamu rasain sekarang? Kamu tau, Shil? Harga dirimu sama sekali nggak hancur atau kehormatanmu sama sekali tidak jatuh. Kamu masih terhormat. Kamu nggak hancur.” Rose mencoba memberikan sugesti.Shilla yang mendengar petuah dari Rose menggigit bibirnya yang bergetar, kata-kata Rose benar-benar menghujam ulu hatinya. ”Yang hancur bukan kamu, Sayang. Yang hancur adalah lelaki itu,” sambung Rose.”Tapi anak ini ...
Shilla merasa perutnya lapar, memakan roti selai tidak membuatnya kenyang. Saat dirasa rumah kembali sepi, ia mencoba bangkit menuju pintu dan membukanya sedikit untuk melihat ada siapa di ruang makan. Shilla masih malu untuk bertemu orang luar selain Aldi dan Rose. Bertemu Rena membuatnya tak nyaman karena pernah bertingkah bodoh hanya untuk mengikuti ucapan Wulan.Kreeek.Pintunya berderit saat ia membukanya. Matanya mengedarkan pandang, dan tersenyum lega saat tak ada Rena dan yang lainnya. Shilla segera ke dapur dan menuju panci, begitu membukanya ia sangat bersemangat ketika opor Rose masih banyak dan hangat.Shilla mengambil piring dan mengambil 2 potong paha ayam, setelah sebelumnya mengambil nasi hangat. Shilla duduk di ruang makan dan segera melahap opor di hadapannya. Perutnya terasa hangat ketika kuahnya sampai ke lambung. ”Enak banget,” pujinya.Suasana begitu lengang, karena Rena dan Rose agaknya di cafe dengan Katya. Setelah perutnya merasa kenyang, Shilla berdiri untuk
AC rumah sakit terasa menusuk tulang Shilla yang baru saja siuman. Ia merasa mual dan pening, disaat itu juga perutnya merasakan sakit yang amat sangat. Kini baju yang dikenakannya berwarna biru muda, dengan infus yang terpasang di tangan.Pandangannya mengedar, ia melihat Lira yang sedang memegang ponselnya disertai suara lirih dari benda pipih itu. ”Mbak ...,” panggilnya, membuat Lira mencari-cari arah suara. Saat melihat Shilla tengah menatapnya, matanya membesar dan segera melesat keluar menuju majikannya.Akan tetapi begitu di ambang pintu, Lira tidak melihat Rena. Melainkan hanya melihat Rose dan Aldi saja yang tengah duduk saling menautkan jemari.”Bu Rose, mbak Shilla udah bangun,” sentaknya. Aldi segera melesat menuju Shilla yang masih terbaring lemah.Sedangkan Shilla merasa aneh dengan perutnya yang rata. Ia bahkan tak merasakan denyut dari janin yang dikandungnya. Bahkan saat ia menyibak baju rumah sakit yang ia pakai, hanya terdapat perban memanjang. Ia tak tahu apa yang
Shilla mengusap dahinya yang berkeringat meski dalam ruangan sebenarnya sangat dingin karena ada AC yang menyala 24 jam. Fitria merasa ada yang tidak beres terhadap adiknya. ”Kamu kenapa, apa ada yang kamu sembunyiin dari mbak?” Fitria menatap penuh ke arah adiknya. Alih-alih menjawab, Shilla justru menangis hingga bahunya bergetar hebat dan jahitannya semakin terasa sakit. Shilla meringis. Ia ingin berkata jujur pada Fitria agar ada yang melindunginya, tapi ia justru takut wanita yang tadi datang akan membuat nyawa kakaknya pun terancam.”Aku cuma lega anakku nggak selamat, mbak,” ucap Shilla sambil menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit.Fitria menganga tak mempercayai apa yang adiknya katakan. Meski anak yang dikandung adiknya adalah anak yang tak diinginkan, menurut Fitria tak seharusnya Shilla berkata terang-terangan seperti itu. ”Edan! Kamu emang edan,” makinya.”Emang bener mbak, lebih baik anakku nggak selamat dari pada nantinya harus hidup dan akan aku benci seumur hi