“Selamat pagi, Tuan,” sapa Oscar pada Ibrahim yang baru saja turun dari mobil mewahnya.
“Pagi,” jawab pria tampan itu dengan nada dingin pun tanpa menoleh pada asistennya itu.“Saya pikir Anda belum akan ke kantor hari ini, Tuan.”Ucapan itu menghentikan langkah Ibrahim, pria itu pun segera menengok pada sang asisten. “Mau saya ke kantor atau nggak, itu nggak ada hubungannya sama kamu, kan? Jadi, nggak usah bicara hal yang nggak perlu.”Oscar terperangah. Dari cara Ibrahim menjawab, pria bertubuh tinggi itu seakan-akan sedang berhadapan dengan orang lain saja. Bagaimana bisa dalam semalam bisa merubah tabiat seseorang, bukan?“Anda nggak lagi marah sama saya, kan, Tuan?” tanya Oscar hati-hati saat mereka masih di dalam lift.Tanpa melihat kepada Oscar, Ibrahim menjawab, “Kenapa saya harus marah padamu? Apa kamu ada salah sama saya?”Terang saja ungkapan itu langsung mengena pada dir“Lepasin aku, Bang!” Alayya masih saja meronta sambil menggoyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Khrisna. Akan tetapi, pria tampan berkulit putih itu tidak menggubris dan semakin mengeratkan pegangannya. Sampai akhirnya Khrisna masuk ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai satu rumah orang tuanya. Membanting pintu dengan keras kemudian menarik tangan Alayya cepat lalu mendorong tubuh langsing itu ke atas ranjang besar yang ada di tengah ruangan. Akibatnya Alayya mengaduh dan kepalanya sedikit pening karena guncangan spring bed yang cukup kuat. Belum lagi sempat Alayya memutar tubuhnya sendiri, Khrisna sudah lebih dulu membalik dan menindih tubuh ramping itu. “Kamu mau ngapain, Bang?” tanya Alayya yang tersentak dan berusaha mendorong tubuh atletis Khrisna. “Mau ngapain? Dalam posisi seperti ini kamu masih tanya aku mau ngapain?” desis Khrisna diiringi senyuman sinis. “Nggak, Bang! Ini salah. Jangan lakukan itu, aku udah bukan Ayya yang dulu lagi,” pek
Alayya turun dari mobil mewahnya masih dalam keadaan menangis. Sepanjang perjalanan dia mengumpat dan bersungut kesal atas apa yang sudah Khrisna lakukan. Dia memang bukan anak gadis lagi, mahkotanya sudah dia berikan pada pria hidung belang jauh sebelum mengenal Khrisna atau pun Ibrahim. Akan tetapi, dirinya sudah bertobat, bukan? Dan sekarang dia hanya ingin menyerahkan diri juga hidupnya kepada pria yang mencintai dan dia cintai. Kebetulan dia sudah menemukannya. Dia adalah Ibrahim, pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Alayya benar-benar kecewa atas apa yang Khrisna perbuat. Kalau saja Maura tidak masuk ke kamar itu, entah apa yang akan terjadi padanya. Lalu apa yang akan dia katakan pada Ibrahim nanti dan saat ini? Belum lagi Alayya dapat jawaban dari kegalauannya, dia dikejutkan dengan sosok yang ada di balik pintu yang baru dia buka. “A-abang di rumah?” “Ayya? Kebetulan. Abang baru aja mau—.” Ibrahim tidak bisa melanjutkan ucapannya karena matanya melihat baju Ala
Benar kata Alayya. Di kediaman Devananta, Khrisna benar-benar sedang di sidang oleh Maura. Masih berada di kamar tamu, kedua ibu dan anak itu belum ada yang bicara lagi setelah sempat berdebat hebat tadi. Bagaimana tidak begitu? Setelah kepergian Alayya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja tadi, Maura kembali memberi tamparan keras pada pipi sang anak.“Ma!” pekik Khrisna saat itu.“Ma? Masih bisa kamu panggil mama padaku? Apa dosa Mama sampai Mama harus lihat kelakuan kamu yang seperti ini, Khris? Di mana otak kamu sampai punya pikiran untuk melecehkan sepupu kamu sendiri?” Maura tak kalah memekik. Sakit hatinya melihat putra kesayangannya kehilangan kendali atas dirinya. Kecewa dan marah menyelimuti hatinya saat mengetahui kalau tabiat sang putra ternyata sudah di luar batas. “Aku nggak lagi melecehkan dia, Ma. Seperti yang aku bilang. Ayya mantan wanita malam dan aku pernah jadi pelanggan dia selama hampir satu tahun ini sebelum dia bertemu dengan Ibrahim. Lalu di mana salahny
Sesuai rencana Ibrahim, hari ini dia akan mengantarkan Alayya untuk memilih gaun pengantinnya. Dia sudah merubah rencananya yang tadinya hanya akan mengadakan ijab qobul di rumah saja, tetapi akhirnya pria itu akan merayakan pesta pernikahannya di sebuah hotel ternama.Bukan tanpa sebab kalau akhirnya Ibrahim merubah konsep pernikahannya. Itu semua karena Alayya sudah menemukan keluarganya. Ibrahim ingin keluarga dari kedua belah pihak bisa merasakan kebahagiaan yang dia rasakan. “Kenapa harus pilih baju lagi, Bang? Bukannya kemarin udah ya buat acara ijab qobulnya?” Alayya bertanya saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah butik cukup terkenal di kota ini. “Kalau ini kamu harus pilih gaun untuk resepsi. Abang dan pihak WO udah merubah rencana pernikahan kita. Malam harinya kita akan adakan pesta resepsi di hotel,” jelas Ibrahim sambil melepas seatbelt-nya. Alayya sempat terkejut sebelum akhirnya melakukan hal yang sama dengan Ibrahim. “Kok jadinya ada resepsi?” Ibrahim m
Ariyanto menyambut dengan tersenyum Alayya dan Ibrahim di dalam ruang kerjanya. Keempatnya kini duduk saling berhadapan di sofa tamu yang memang ada di sana. “Maaf, kalau Om mendadak memanggil kalian kemari.” Aryanto mengawali pembicaraan setelah sekretarisnya menyajikan minuman buat mereka dan pergi dari ruangan tersebut. “Nggak masalah, Om. Bilang aja ada hal penting apa yang ingin Om bicarakan,” balas Ibrahim sembari tersenyum tipis, sedangkan Alayya lebih banyak diam dan menghindari bertatapan langsung Ariyanto. Perasaan Alayya tidak nyaman sama sekali. Ariyanto sendiri menyadari sikap keponakannya itu, dia maklum kalau Alayya bersikap demikian apalagi kalau wanita itu tahu yang sebenarnya Ariyanto sudah mengetahui apa yang terjadi padanya di rumah tadi pagi, wanita itu pasti akan bersikap berbeda lagi padanya. Ariyanto pun segera berdehem dan kembali memfokuskan diri pada apa yang akan dia bicarakan kepada kedua tamunya ini. “Iya, setelah Om dan Tante pikirkan baik-b
Alayya meneguk salivanya susah payah saat harus menghadapi tatapan penuh tanda tanya dari Ibrahim.“Kenapa diam aja, Ayya? Jawab pertanyaanku! Apa maksud ucapanmu tadi?” Alayya pun segera menghela nafasnya pelan, lalu menatap Ibrahim dengan takut-takut. “Itu Bang, aku pernah lihat foto Nisa ada di dalam buku agendanya Oscar. Tadinya aku nggak tahu kalau itu Nisa sampai bembi yang bilang padaku.”“Kapan itu terjadi? Dan kenapa kamu nggak bilang padaku?” cecar Ibrahim tampak kesal. Alayya mencelos, masih dengan perasaan takut yang sama, dia pun bicara, “Maaf, Bang. Karena waktu itu aku nggak tahu harus bagaimana membuktikan kalau itu adalah foto Nisa. Aku sendiri belum pernah melihat Nisa, kan? dan Bembi udah takut duluan sama Oscar.”“Tapi kamu seharusnya bisa bilang padaku. Jangan malah disembunyikan seperti ini, Ya.”“Gimana bisa bilang, sih, Bang? Dia pasti bisa berkilah karena aku memang nggak tahu wajahnya Nisa seperti apa, kan? Posisi Bembi waktu itu juga nggak lihat secara l
Benar saja, keesokan harinya Ibrahim yang memang sudah tidak ke kantor, sengaja meluangkan waktu sebelum rangkaian acara hari ini dimulai untuk menyambut calon mertuanya yang akan datang ke rumah. “Sabar, Sayang. duduk dulu sini, tadi sopir juga udah ngabarin kalau mereka sedang di jalan,” ujar Ibrahim mencoba menghentikan Alayya yang berjalan mondar-mandir di depannya.“Iya tahu, Bang. Tapi aku benar-benar nggak sabar pingin lihat mama datang,” jawab Alayya dengan wajah berseri.Ibrahim pun hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari tersenyum simpul. Belum lagi dia menanggapi ucapan calon istrinya, bel pintu menggema di seluruh ruang tamu. Alayya pun tahu kalau itu pasti ibunya yang datang, maka dengan cepat dia sendiri yang menuju ke pintu utama dan membuka daun pintu besar itu. “Assalamu'alaikum, Ya.” Tepat sesuai dugaan Alayya kalau Nazila yang datang bersama dengan susternya dan juga Maura.“Wa'alaikumsalam, Tante,” sahut Alayya sambil tersenyum canggung saat melihat Maura kar
“Aku nggak janji, Ya. Tapi, aku akan pikirkan saran kamu, kok,” jawab Ghania masih dalam pelukan Alayya.Wanita yang sudah rapi dengan hijabnya itu pun mengangguk dan lalu mengurai pelukannya. “Janji, ya? Kamu pasti bisa, Nia. Nanti kalau nggak punya kerjaan, aku bisa bantu cariin, insya Allah. Abang ‘kan banyak relasi siapa tahu dia bisa bantu kita, oke?” “Kamu serius, Ayya?” Alayya mengangguk tegas. “Oke, deh. Aku pasti akan pikirkan. Makasih Ayya, kamu memang sahabat terbaikku.” Kedua sahabat itu pun kembali berpelukan. Waktu pun berlalu dengan cepat. Acara pengajian di rumah Ibrahim berjalan dengan lancar meski dihiasi tangis haru Alayya saat melakukan sungkeman dengan sang ibu. Setelah selesai acara Alayya memutuskan untuk pergi ke kamar Nazila. Dia berencana bermalam di kamar sang ibu untuk terakhir kalinya sebelum menjadi istri Ibrahim.“Aku senang banget hari ini, Ma. Nggak nyangka di hari penting aku, ada Mama, Om dan Tante yang nemenin.” Alayya mulai berceloteh saat ked
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja