“Tuan Khrisna cinta sama kamu, Ya.”Alayya terperanjat. Dia sampai bangkit dari duduknya karena shock dengan informasi yang Ghania sampaikan. “Astaga, Nia. Kamu jangan asal bicara deh, ya? Itu nggak mungkin. Tuan Khrisna memang orang baik, tapi dia nggak mungkin cinta sama aku,” kilah Alayya penuh percaya diri. Ghania di atas ranjangnya berdecak tidak suka. “Apanya yang nggak mungkin, sih, Ya? Kalian sama-sama ‘kan udah lama. Dan karena sama kamu juga dia nggak lagi jadi pria yang gonta-ganti cewek, ngerti, kamu?” Mendadak tubuh Alayya gemetar. Memang benar apa kata Ghania soal Khrisna yang tidak lagi jadi casanova setelah mengenalnya, tetapi bukan berarti itu artinya dia mencintai dirinya, kan?“Nggak, Nia. Kamu jangan coba-coba nakutin aku, ya? Terus, kalau memang dia cinta sama aku, apa yang mau dia lakukan padaku?” “Aku nggak tahu, Ayya. Tuan Khrisna cuma bilang kamu itu urusannya, makanya ak
“Selamat pagi, Tuan,” sapa Oscar tepat di samping pintu mobil Mercedes Benz hitam yang sudah dia buka. “Pagi. Maaf, merepotkanmu di hari libur,” ujar Ibrahim datar. “Tidak sama sekali, Tuan. Silakan.” Ibrahim melangkah untuk masuk ke mobilnya, tetapi dari pantulan kaca mobil dengan jelas dia melihat Alayya berdiri di pagar balkon kamarnya. Pria itu tersenyum menyeringai, inginnya tak acuhkan keberadaannya di sana. Namun, seketika pikirannya berubah. Ibrahim tiba-tiba memutar tubuh kekarnya. Dan di saat yang sama Alayya juga membelakanginya. “Berhenti di situ, Ayya!” titahnya ketika tahu Alayya akan melarikan diri dari sana. “Maaf, aku hanya ingin menghirup udara segar. Aku akan ma ….”“Sepuluh menit.” Alayya mengedipkan kelopak matanya. Dia sedang mencerna ucapan Ibrahim yang singkat itu. Tidak sabar menunggu kelanjutannya, Alayya pun berbalik. “Apanya yang sepuluh menit, Tuan?” pekiknya kencang. Dengan santainya Ibrahim menjawab, “Turunlah, saya beri waktu sepuluh menit untuk b
Siapa yang tidak terkejut kalau tiba-tiba ada seorang anak yang menghampiri lalu memanggilmu ibu? Alayya salah satunya. Mau itu dalam mimpi pun, wanita satu ini tidak akan pernah berharap hal seperti itu terjadi dalam hidupnya, tetapi sialnya justru semua dia alami di dunia nyata. Hari ini. Pagi ini juga.“Si-siapa kamu?” tanya Alayya dengan terbata. Tubuhnya hampir tidak bisa bergerak karena sang anak merangkul pinggangnya. “Meisya, kemari Sayang.” Alayya makin terperangah karena panggilan itu keluar dari mulut Ibrahim. “Ayah?” sebutnya dengan mata Berbinar. Ibrahim pun mengangguk lalu merentangkan kedua tangannya sebagai isyarat agar anak itu memeluknya.“Ayah kenapa baru datang? Ibu kok nggak kenal sama Esya?” Gadis kecil berambut sama cokelatnya dengan Alayya itu sedang merajuk dalam pelukan Ibrahim. Perlahan Ibrahim urai pelukannya. Dia sibak anak rambut yang menutupi wajah imut anak itu barulah dia kembal
“Masuk,” titah Khrisna dari dalam kamarnya. Pintu bercat putih itu dibuka perlahan, sang asisten rumah tangga muncul di sana. “Maaf, Tuan Muda. Ada tamu yang mencari Anda,” lapor sang pelayan dengan kepala tertunduk. Khrisna mengerutkan keningnya. “Siang-siang begini ada tamu? Hari sabtu? Mikael nggak kasih kabar kok.” “Saya tidak paham itu, Tuan. Lalu bagaimana? Apa Anda mau menemuinya?” Pelayan wanita berpostur tinggi dan ramping itu kembali bertanya. “Memangnya siapa dia?” Khrisna bertanya sambil menyisir rambutnya. Rencananya hari ini dia akan ke rumah Ibrahim untuk menemui Alayya. Pelayan bernama Resti itu sejenak mengingat nama sang tamu. “Mustika Danadyaksa, tantenya Ibrahim Danadyaksa. Ya, Nyonya Mustika namanya, Tuan.”Jawaban Resti cukup mengejutkan Khrisna. Sisir yang dia pegang saja sampai terjatuh tanpa dia sadari. “Kamu bilang Tantenya Ibrahim?” Resti
“Apa kamu juga ketularan sama Tante Tika? Kenapa nada suara kamu saat bicara soal Ayya terdengar nggak suka gitu?” Oscar pun terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim bisa menilainya seperti itu. “Bukan begitu maksud saya, Tuan. Bagaimana juga Anda orang terpandang, sedangkan Nona Ayya siapa? Bahkan kita nggak tahu asal usul keluarganya,” terang Oscar tanpa bisa fokus menatap Ibrahim. Dia takut kalau justru isi hatinya yang terlihat. Ibrahim terkekeh. “Kamu benar, Oscar. Tenang aja, ya, hati saya masih cuma buat Nisa kok.”Oscar mengangguk puas. Harapannya Semoga saja apa yang baru saja terlintas dipikirannya tidak akan pernah terjadi. ***“Alayya di sini aja sama Tante, ya?”“Nggak mau, Tante. Aku mau ikut ibu.” Alayya kecil menangis untuk kesekian kalinya. Namun, sayangnya bagiamana pun dia merajuk dan meraung tetap tidak bisa membawa wanita yang sudah meninggalkannya di rumah seorang mucikari itu kembali. “Jangan nangis. Nanti cantiknya hilang lho, lebih baik Alayya mandi dan ga
Pria paruh baya yang rambutnya sudah beruban itu masuk ke ruang kerja Ibrahim di lantai dua. Ruangan yang khusus ibrahim gunakan sendiri untuk mengerjakan tugas kantornya atau pun saat dirinya tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tempat ini juga ruang kesukaan Nisa sewaktu dia masih hidup karena ruang kerja ini banyak terdapat buku-buku bacaan yang Nisa suka. Belum lagi ada balkon yang bisa melihat pemandangan kota dengan sangat jelas juga karena mengarah pada hutan buatan di belakang rumah besar ini. “Assalamu'alaikum, Tuan Muda,” sapa pria bernama Yakub Gumilar dengan suara tegas. Maklum saja, Yakub adalah pensiunan polisi yang sekarang bekerja sebagai detektif swasta.“Wa'alaikumsalam, Pak Yakub. Silakan duduk.” Ibrahim bangkit dari kursi kerjanya lalu menghampiri pria itu sembari mengulurkan tangannya. Yakub dengan senang hati menyambut tangan Ibrahim, kemudian keduanya menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Maaf, kalau saya malam-malam memanggil Anda ke mari,” ucap Ibrahim m
“Pagi, Ma,” sapa Khrisna sambil mencium pipi ibu kesayangannya saat dirinya tiba di ruang makan rumah utama Devananta.“Tumben muncul pagi-pagi di rumah?” Maura Amerta Devananta bertanya dengan nada sinis pun tangannya tak melepaskan perangkat makan yang sedang dia tata di atas meja makan.Khrisna terkekeh, dia menempati kursi makannya lebih dulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Maura. “Aku kangen sama Mama masa nggak boleh? Makanya aku datang. Maaf, ya? Karena baru ke sini lagi,” ucap Khrisna dengan wajah memelas. Maura berdecih. “Seminggu, Khris. Kamu ini kayak udah nggak punya Mama aja, sih?” Sekali lagi Khrisna memasang wajah sangat memelas. Ini semua karena kesibukannya dan juga rencananya membawa kabur Alayya yang membuat dia kehilangan banyak waktu untuk bersama wanita yang telah melahirkannya itu. “Tapi aku telepon ‘kan, Ma. Maaf ya? Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Senyum dong ….
“Masuk,” titah Ibrahim dari dalam ruangannya. Pintu bercat hitam itu terbuka, ada Alize, sekretaris cantik Ibrahim masuk dan berjalan anggun mendekati meja kerja sang atasan. “Anda memanggil saya, Tuan?”ibrahim mengangkat pandangannya, dengan wajah datar dia berkata, “Hari ini kamu sibuk?”“Nggak, Tuan. Maksud saya, sampai pukul 2 nanti saya hanya akan bekerja di meja saya saja,” jawab Alize sambil tersenyum. “Ok, kalau begitu sekarang pergilah ke rumah saya dan ajaklah Ayya pergi mengurus paspor.”Perintah Ibrahim membuat kening Alize berkerut. “Ayya? Siapa?” “Astagfirullah. Maaf, Al. Dia teman wanita saya. Nanti saya akan menelponnya dari sini untuk ikut denganmu. Pastikan besok bisa jadi dan belikan juga tiket ke Korea untuknya.” Alize mengerti sekarang. Ternyata wanita itulah yang sering dibicarakan Oscar padanya. “Baik, Tuan. Saya berangkat sekarang.” Ibrahim me
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja