Mustika gugup dia tidak tahu harus menjawab pertanyaan Ibrahim seperti apa. Situasi ini membuatnya terdesak, sedetik kemudian Mustika berdehem sekadar untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa kering.
“Nggak ada apa-apa kok,Ibrahim. Tadi hanya pembicaraan hal pribadi Tante dengan seorang teman. Tante nggak mau ada orang yang mendengarnya, bagaimanapun juga pembicaraan di telepon,kan, privasi.” Dengan tenangnya dan suara yang lugas Mustika bicara, seakan-akan apa yang dia sampaikan adalah kebenaran.Alayya berdecak dan itu memancing perhatian Mustika. “Kenapa kamu seperti itu? Kamu pikir aku sedang bicara bohong?”Alayya kembali memutar bola matanya jengah. “Saat ini aku nggak tahu mana yang benar dan mana yang bohong. Terserah juga Anda mau ngomong apa, toh, bukan saya yang mendengarkan pembicaraan Anda,” ujarnya sambil bersidakep.“Kamu ….”“Udah … udah …, jangan berdebat lagi. Kalau memang hanya itu alasaIbrahim berdecih saat membuka pintu kamar Alayya dan mendapati wanita itu terlelap di ranjang besarnya. Dia pun menggeleng pelan sembari melangkahkan kaki mendekati bibir ranjang. Pria yang terlihat segar setelah mandi itu melihat Casio watch di tangan kirinya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menggumam lirih. “Enam belas menit, Ya. Aku hanya terlambat satu menit dari waktu yang 'ku janjikan. Kuharap kamu nggak lagi sandiwara dengan pura-pura tidur, ya?”Ibrahim membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh Alayya. Kemudian pria itu tetap melaksanakan solat dhuhurnya di kamar wanita itu. Bukan dia tidak percaya kalau Alayya sedang tidur, hanya saja membiasakan telinga wanita itu mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran adalah salah satu cara Ibrahim memperbaiki watak wanita cantik satu itu. Seusai solat dan mengaji, Ibrahim bangkit dari duduk bersilanya, lalu dia pastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin melalui remot AC di atas nakas, barulah di
“Kenapa Tante diam aja? Apa pertanyaanku salah? Apa yang aku rasakan soal perubahan sikap Tante itu nggak benar? Sejak ada Ayya di rumah ini, Tante jadi lebih sensitif dan sering marah-marah. Apa ada yang terjadi yang aku nggak tahu, Tante?” cecar Ibrahim bertubi-tubi. Namun, bukannya menjawab pertanyaan sang keponakan, mustika justru menghindar dengan masuk ke kamarnya. Tentu saja Ibrahim tidak ingin membiarkan begitu saja. Dia pun segera menyusul sang Tante.“Tinggalin Tante Ibrahim. Tante ingin sendiri,” ujar Mustika saat tahu Ibrahim mengikutinya dari belakang. 'Nggak. Tante harus jelasin sikap tante dulu, setelah itu baru aku akan keluar,” keukeh pria itu dengan nada tegas seakan tak ingin dibantah. Kesal, Mustika pun memutar tubuhnya. “brahim!” sentaknya dengan bola mata membesar. “Kamu bukan anak yang seperti ini, kan? Aku membesarkan kamu untuk jadi orang yang selalu menghargai orang tua, lupa kamu?” lanjutnya dengan keua tangan sudah terkepal erat.“Tapi, Tante ….”“Cukup I
“Oh, nggak ada apa-apa, Tuan. Saya baru saja datang dan bertemu Nona Ayya di sini.” Oscar lebih dulu menjelaskan. Ibrahim mengerutkan dahi lalu bertanya lagi, “Lalu untuk apa kamu pegang tangannya seperti itu?” Datar nada suaranya, tetapi dirinya tahu ada sebersit rasa tak suka melihat Oscar menyentuh Alayya. “Maaf, Tuan. Ada yang saya mau tanyakan pada Nona Ayya, tapi karena dia nggak dengar makanya saya memegangnya,” terang pria berhidung mancung itu dengan santainya. Padahal di dalam hati dia sedang takut kena marah atasannya itu, karena pertanyaan itu dirasa Oscar seperti bosnya sedang cemburu, bukan? Pria yang memakai koko broken white itu mengalihkan tatapannya pada Alayya yang diam saja sedari dia muncul. “Kamu kenapa diam aja, Ya?” Alayya yang sedang bingung dengan perasaannya pun tersentak karena pertanyaan sang Tuan rumah. “Oh, iya. tuan. Saya nggak apa-apa kok. Maaf, tadi saya ketiduran,” jawabnya dengan gugup. “Udahlah, nggak masalah. Masih banyak waktu, kok.” Ibrahi
Khrisna menggebrak meja, botol dan gelas hampir saja bergelimpangan karena kerasnya hentakan tangan pemuda itu pun tak heran Ghania sampai terlonjak dari sofanya.“Aku bertanya padamu, Ghania, siapa Ibrahim!” sentak Khrisna sekali lagi.“Ma-maaf, Tuan. Saya tidak paham siapa dia, yang pasti dia orang kaya dan orang yang cukup berpengaruh di kota ini. Anda bisa tanya pada Tuan Darel siapa orang itu,” ucap Ghania dengan susah payah pun terbata-bata. “Kurang ajar! Beraninya dia mengambil kesayanganku!” geram Khrisna sambil mengepalkan tangan yang ada di meja. Tanpa ingin membuang waktu, pria itu mengambil ponsel dalam saku jasnya. Mencari kontak pemilik klub ini lalu menggeser icon telepon di atas layar datar tersebut. “Darel? Aku sedang ada di tempatmu. Temui aku sekarang di ruang private nomor tiga … iya, sekarang juga atau aku hancurkan tempatmu ini!” Sambungan telepon itu dia akhiri dengan kasar. Netra hazel miliknya kembali
“Ghania, Tuan Khrisna sedang bicara padamu. Siapa yang meneleponmu, kenapa nggak diangkat?” Kali ini Darel angkat bicara. Akan tetapi, karena wanita itu bergeming, Darel meminta Tora mendekati wanita itu dan memerintahkan mengambil ponselnya. Terang saja hal itu mengejutkan Ghania. “Pak Tora!” wanita itu terlambat, karena Tora sudah lebih dulu mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu berjalan cepat ke arah Darel.“Ayya?” ucapnya lirih dan tanpa permisi Khrisna menyambar ponsel itu, lalu seringai senyum tercetak jelas di bibirnya. “Ya ampun, Nia! Lama amat sih angkat ponselnya? Ngapain aja, sih?” celoteh Alayya menggebu-gebu. Dia pikir yang ada di balik tekrpon itu adalah sahabatnya. Namun, tubuhnya seakan-akan membeku kala suara berat khas seorang pria yang sangat familiar menyapa telinganya.“Halo Sayang, apa kamu ingat aku? Apa kamu juga merindukanku?” Alayya tidak mungkin lupa siapa pria yang sedang menyapanya ini, tetapi kalau untuk merindukannya? Tidak. Alayya tidak punya perasa
Alayya seakan lupa kalau lututnya masih sakit. Setelah dia putus sambungan telepon dengan Darel barusan, dia buru-buru keluar dari kamar dan berjalan dengan cepat menuju kamar seseorang. Bembi dan Ishan yang berjaga di depan pintu kamarnya pun mau tidak mau segera mengikuti langkah Nona kesayangan Tuan mudanya itu. Sampai di depan pintu kamar bercat cokelat kayu itu, Alayya menggedor daun pintunya dengan sangat keras. Tidak dia pedulikan telapak tangannya sakit dan panas, dalam benaknya dia hanya ingin meluapkan kekesalan yang sudah dia tahan sedari masih menelpon darel tadi.“Non, bisa pelan sedikit ngetuk pintunya? Mungkin Tuan sedang sibuk di dalam.” Bembi mencoba menasehati. Wanita itu langsung melirik tajam pada ajudan Ibrahim itu. “Diam! Kalau nggak mau dengar, pergi aja sana,” usirnya tanpa basa basi. Bibir Bembi pun bungkam seketika. Wanita itu tersenyum menyeringai lalu meneruskan menggedor pintu kamar Ibrahim. Suara gedoran pintu itu mengusik Ibrahim yang sedang teleconfe
Detik itu juga jantung Alayya kembali berdetak tak normal. Tatapan netra hitam Ibrahim seakan-akan menenggelamkannya dalam pesona pria tampan itu. “Ya Tuhan. Perasaan apa ini? Kenapa jantungku nggak berhenti berdetak aneh seperti ini? Apa ini perasaan Nisa yang senang karena berada di dekat suaminya, ya?” Alayya bergumam sambil menyentuh dadanya. Dia turunkan pandangannya karena takut kalau-kalau semakin lama dia menatap Ibrahim dirinya akan semakin hanyut dalam pusaran rasa yang tidak jelas ini. “Kenapa begitu, Tuan. Aku ini cuma seorang pelacur, harga segitu terlalu mahal untuk aku yang selalu mendapat julukan sampah masyarakat, bukan?” Akhirnya Alayya ungkapan pendapatnya, menyebut dirinya sendiri seperti itu, mendadak ada nyeri yang menusuk di kalbunya. Perasaan itu pun tidak pernah dia rasakan selama ini. Ibrahim tersenyum simpul, lalu kembali berkata, “Apa kamu masih harus bertanya kalau udah tahu jawabannya?” Alayya mendongak, saat
Alayya berdecih lalu mencibirkan bibir seksinya ketika membaca balasan pesan dari Ibrahim di atas ranjangnya.“Terserah, kalau nggak percaya. Mau lihat? Sini kalau berani,” ujarnya bersungut-sungut. Kesal juga selalu dicurigai oleh Ibrahim, mungkin itulah yang dirasakan Alayya kali ini. Wanita itu kembali berbaring, baru saja dia akan menarik selimut tebalnya menutupi tubuhnya yang tanpa busana itu, ponsel mahalnya kembali berdenting. Mencoba abai karena dirinya lelah dan mengantuk, tetapi suara notifikasi itu kembali terdengar. “Siapa sih, pagi-pagi gini kirim pesan. Apa Tuan kanebo itu lagi ya?” Mendadak Alayya bersemangat meraih ponselnya ketika yang dia pikir Ibrahim si pengirim pesan itu. Akan tetapi harapannya sirna ketika layar menyala, nomor asing terlihat di sana. “Ini nomor siapa?” gumamnya, tetapi tetap menekan chat tanpa nama itu. [Ayya, aku ingin kita ketemu. Tolong, jangan hindari aku atau aku sendiri yang akan menjemput kamu ke sana. Khrisna.]Pesan pertama membuat
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja