Mobil Bastian berhenti tepat di depan kantor polisi sektor kota. Jam di dashboard menunjukkan pukul 00:31 wib. Udara malam yang dingin, justru membuat Bastian dan Ratna berkeringat, akibat cemas memikirkan anak gadis mereka. Mereka turun tergesa, langsung menuju ke ruang piket. Di dalam, hanya ada dua petugas yang berjaga. Seorang duduk di balik meja dengan wajah lelah, sementara satu lagi tertidur di kursi panjang dengan topi menutupi wajahnya.Bastian mengetuk meja dengan cukup keras. “Permisi, Pak. Saya mau melapor, anak saya hilang!”Petugas yang duduk itu menoleh malas, matanya setengah terpejam. “Hilang? Jam segini?”“Iya, Pak. Tadi dia ke rumah temannya, tapi sampai sekarang dia belum pulang, padahal menurut temannya, dia pulang jam sebelas tadi.” Bastian memberi keterangan. “Barangkali dia menginap di rumah temannya,” kata polisi itu. “Tidak, Pak. Temannya ada di depan, bersama kami,” tangkis Bastian. “Berapa usianya?” “Dua puluh tiga tahun, Pak.”Polisi itu menghela nafa
Akhirnya, dengan segala daya upaya, ujung pipa lepas dari dudukannya. Menimbulkan bunyi yang cukup kentara. Alya memejamkan mata dan mulutnya, lalu, dia membuka matanya lagi dan melihat ke arah pintu. Gadis itu bisa membuang nafas lega, karena dirasa aman.Secepatnya, dia menggeser lagi tangannya dengan hati-hati sampai ke ujung pipa. Tangannya pun terlepas, bersama dengan pipa yang jatuh dari tempatnya, membuat tubuh Alya ikut terjatuh ke lantai yang kotor. Namun, dia tetap berusaha menahan pipa itu, agar tidak menimbulkan bunyi yang lebih berisik, meski cukup berat karena pipa itu terbuat dari besi.Alya mengatur nafasnya, lalu menggeser pipa itu perlahan dari atas tubuhnya dengan sangat hati-hati. “Yes, berhasil!” gumamnya serak. Hal ini cukup mengobati hatinya dari rasa takut yang sedari tadi membelenggu.Matanya menajam, memindai sekeliling ruangan tempatnya disekap, mencari benda yang kiranya bisa dijadikan senjata. Di pojok ruangan, ada sebuah sapu yang tak terpakai. Ia bangkit
“Tolong dipause dan dizoom, Pak. Biar terlihat nomor plat mobilnya,” himbau Inspektur Damar. Pemilik rumah pun melakukannya. Bripda Rudi segera mencatat nomor plat mobil van hitam itu, lalu menunjukkan pada Inspektur Damar, untuk memastikan kalau dia tak salah catat, karena memang gambarnya agak buram. “Itu mobil kayak bukan punya warga sini,” kata pemilik rumah. Damar menatap layar, matanya menyipit. “Pak, boleh kami minta salinan rekaman ini?”“Tentu, Pak. Saya punya USB kosong.”Beberapa menit kemudian, rekaman itu sudah ada di tangan tim penyelidik. Walaupun tidak cukup untuk identifikasi penuh, tapi itu petunjuk pertama yang nyata. “Kita harus bergerak cepat. Cari tahu siapa pemilik mobil itu,” kata Inspektur Damar, setelah mereka keluar dari rumah pemilik CCTV. ~~~~~~~Dengan jantung berdebar, Alya bersembunyi di belakang pintu. Langkah kaki semakin dekat. Alya berusaha keras agar bisa tenang dan menahan nafasnya yang menderu, agar tidak menimbulkan suara. Ketika pintu dib
Setelah melihat lewat beberapa CCTV jalan yang saling terhubung, akhirnya polisi mengetahui dimana lokasi mobil van tersebut. Inspektur Damar mengerahkan beberapa petugas. Sebagian baru datang karena dihubungi oleh Bripda Rudi. Semua petugas bergerak dengan cepat. Bastian dan keluarganya diminta menunggu di rumah saja agar tidak mengganggu konsentrasi petugas. Bastian sangat bersyukur, polisi bergerak cepat, tanpa menunggu satu kali dua puluh empat jam. Akhirnya, mereka memutuskan menunggu di rumah dengan perasaan yang cemas. Sementara itu, Laras sangat gelisah. Sampai menjelang pagi, dia tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Alya. Namun, dia juga sungkan menghubungi Alya ataupun Ratna di dini hari. “Ya Allah, semoga Alya nggak kenapa-napa. Lindungi anakku ya Allah,” ucapnya lirih. ~~~~~~Alya terus menunggu dengan diam. Dirinya berharap, orang itu akan putus asa dan pergi setelah menghubungi bosnya. Akan tetapi, itu hanya tinggal harapan. Apalagi temannya yang t
Beruntung mobil itu bisa menghentikan laju mobil di waktu yang tepat, hingga Alya tak sampai celaka. Namun begitu, tetap saja Alya yang memang pada awalnya sudah dalam kondisi ketakutan menjadi sangat lemas dan jatuh terduduk di atas aspal, tepat di depan mobil yang berhenti itu. Ternyata itu adalah mobil patroli polisi. Dua orang penculik yang melihat itu, segera melarikan diri sebelum polisi menyadari keberadaan mereka. Inspektur Damar secepatnya turun dan melihat kondisi gadis itu. Laki-laki itu berjongkok di depan Alya. “Dek, kamu nggak papa?” tanyanya. Inspektur Damar belum bisa melihat wajah Alya yang menunduk ketakutan. Tubuh Alya gemetar, tak mampu menjawab. Dia tak tahu, apakah orang yang ada dihadapannya ini, orang baik atau tidak. Inspektur Damar berusaha melihat wajah Alya, dengan menyibak rambutnya yang sebagian menutupi wajah. Alya reflek menghindar. Gadis itu benar-benar trauma. Dahi Inspektur Damara mengernyit, merasa mengenali wajah itu. Bripda Rudi yang juga tur
Beberapa menit kemudian, mobil patroli memasuki halaman Rumah Sakit Bhayangkara. Petugas medis yang sudah dihubungi sebelumnya langsung menghampiri, membawa tandu.Dengan hati-hati, Inspektur Damar mengangkat Alya dari jok belakang ke atas tandu. Gadis itu masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak penuh luka lecet akibat pelariannya. "Segera bawa ke UGD!" seru salah satu perawat. Inspektur Damar mengikuti mereka beberapa langkah sebelum berhenti di pintu UGD, membiarkan tim medis bekerja. Ia menghela napas berat, baru kali ini rasanya ada kasus penculikan yang begitu membuat emosinya terseret dalam-dalam. Beruntung, tadi malam polisi bergerak cepat dan tidak menyepelekan laporan keluarga. Tak lama, Bastian datang berlari-lari kecil bersama istrinya, Ratna. Wajah mereka tampak panik dan cemas. "Pak Inspektur! Di mana anak saya?!" tanya Bastian sambil berusaha mengatur nafasnya. "Nona Alya sudah di dalam ruang UGD. Kondisinya stabil, tapi dia kelelahan berat dan
Ketika Laras tiba di rumah sakit, Ratna memilih pulang. Dia tak mau menyiksa hatinya sendiri dengan berlama-lama bertatap muka dengan Laras. Meski dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa, karena kehadiran Laras dalam kehidupan pribadinya, justru atas kemauannya sendiri. Kehadiran Laras akan membuat suasana menjadi canggung di antara mereka. Lagipula, dia percaya, Alya sudah aman sekarang.Laras duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Alya yang masih tertidur. Tangannya bergerak pelan, menggenggam jari-jari Alya dengan hati-hati, seolah takut membuat putrinya akan terbangun. Matanya berkaca-kaca, kala melihat bekas rantai di pergelangan tangan Alya yang meninggalkan bekas luka memerah. Tanpa bicara, Laras membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke tangan Alya yang digenggamnya. Ia mengecup punggung tangan itu, merasakan dingin kulit putrinya di bibirnya sendiri.“Maafkan Ibu, Nak,” ucapnya lirih. Mata Laras basah, tapi ia buru-buru menghapus air matanya. Beberapa menit berlalu. Suasa
Bastian masuk ke kamar Alya berama Inspektur Damar dan Bripda Rudi. Laki-laki paruh baya itu tampak terpaku sejenak melihat Laras yang berada di kamar Alya. Ekpsresi Bastian, tak luput dari perhatian Alya, tentu saja Audi juga. Audi semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan, apalagi Laras juga pamit keluar, seolah-olah menghindari Bastian.“Ibu ke mushola dulu ya, kayaknya udah Dzuhur,” kata Laras. Kebetulan rumah sakit itu jauh dari Mesjid, hingga tidak terdengar suara adzan. Alya mengangguk. “Nanti balik lagi ya, Bu. Temani Alya sampai pulang,” kata Alya, Laras mengangguk, lalu keluar tanpa melihat Bastian. Bastian berupaya bersikap biasa saja, tetapi matanya tak bisa bohong. Matanya tampak mengikuti Laras, namun segera dialihkan saat Inspektur Damar mulai mengajukan pertanyaan pada Alya. “Bagaimana kondisinya?” tanya Inspektur Damar.“Sudah jauh lebih baikan, Pak,” balas Alya. “Syukurlah. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kamu ajukan. Apa Nona Alya sudah bisa menjawab?”“
Reza mengangkat bungkusan di tangannya. “Aku bawa kue dari toko favorit kamu. Katanya kamu suka banget cheese tart.”Alya menyipitkan mata. “Kamu tau dari mana aku suka itu?”“Aku suka sama kamu, tentunya aku mencari tahu segala hal tentang kamu, termasuk makanan kesukaan,” balas Reza dengan senyumnya yang menawan. “Kelihatan kamu cowok suka ngegombal.” “Ya terserahlah kamu bilang apa. Ini kuenya, wajib diterima. Nanti mubadzir.” Reza memaksa memberikan kotak kue itu ke tangan Alya. Gadis itu terpaksa menerimanya. “Makasih,” ucapnya singkat. “Mama Papa kamu, ada?” tanya Reza. “Mau ngapain nyari Mama Papa aku?” tanya Alya dengan dahi mengernyit. “Ya mau pendekatan lah, sama calon mertua,” ujar Reza santai, tangannya dimasukkan ke saku celana sambil menyunggingkan senyum percaya diri.Alya menyipitkan mata, menatap lelaki di hadapannya dengan ekspresi menyelidik. “Kayaknya, kamu selalu begini ya, sama customer kamu. Makanya, bengkel kamu rame.”Reza tertawa kecil, terlihat sangat
Yolanda, Mama dari Naura jalan mendekati Alya. Dia melihat Reza sekilas. Reza agak membungkuk, pertanda hormat karena memang sudah mengenal Yolanda. “Kamu yang bernama Alya?” tanya Yolanda. Caranya bertanya, menyiratkan kesombongan. “Iya, Bu,” jawab Alya dengan sopan. “Saya Mama Naura,” balas Yolanda. “Saya harap, kamu bisa berdamai dengan kasus ini. Saya akan kasih berapa aja yang kamu mau, asal kasus ini jangan sampai ke pengadilan.” Alya melihat wanita itu. Mungkin, kalau cara wanita itu bicara sedikit sopan, dia akan mempertimbangkan permintaan tersebut. Tetapi wanita di hadapannya ini, tampak sangat angkuh. Merasa kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Dia tak tahu, kalau perempuan muda dihadapannya, bukan orang yang kekurangan. “Maaf, Bu. Ikuti saja alurnya. Yang anak Ibu lakukan itu sangat mengerikan. Seandainya saya waktu itu tidak bertemu dengan polisi, bisa jadi, saya tak akan lagi bisa bertemu dengan orang tua saya,” kata Alya tanpa takut. Wajah Yolanda memerah
Bastian meletakkan cangkir kopinya, lalu bangkit. “Papa mau ke kantor. Mama sebentar lagi mungkin pulang. Mama mau buat syukuran untuk kamu. Katanya cuma mengundang anak yatim sekitar lingkungan kita,” kata Bastian. Setelah mencium pucuk kepala Alya, Bastian langsung beranjak ke kamarnya. Alya cuma terdiam. Sikap Bastian, merupakan sebuah jawaban menurutnya. “Huft, ternyata rasa cinta itu sulit hilang ya, biarpun sudah lama,” gumamnya. ~~~~~~~Setelah menyelidiki dan bekerja tanpa pantang menyerah, dalam waktu sehari saja, akhirnya Naura berhasil diamankan oleh polisi. Ternyata Naura bersembunyi tak jauh dari rumahnya. Di sebuah rumah kos-kos an. Setelah Naura tertangkap, Alya sebagai korban dipanggil untuk mengenali, dan Reza dipanggil untuk memberi kesaksian, karena menurut Alya, tindakan Naura dipicu rasa cemburu. Setelah bertemu Naura, Alya membenarkan kalau Naura lah dalang penculikan dirinya. Reza sendiri sangat terkejut, melihat tindakan nekat Naura. “Saya dan Alya tak
Pintu mobil terbuka. Seorang pria paruh baya turun lebih dulu, mengenakan batik lengan panjang dan celana bahan. Tak lama, seorang wanita dengan penampilan elegan menyusul turun dari pintu sebelah. Dari raut wajah mereka yang kebingungan melihat keberadaan polisi.Arif yang melihat mereka segera menghampiri. “Tuan … Nyonya.”“Ada apa ini?” tanya lelaki bersuara bariton itu.Bripda Rudi yang menyadari kalau orang yang datang adalah pemilik rumah, segera menghampiri.“Selamat malam, saya Bripda Rudi,” katanya memperkenalkan sembari mengulurkan tangan. Laki-laki itu tak langsung menyambut uluran tangannya, tetapi akhirnya menjabat tangan Bripda Rudi juga. Bripda Rudi langsung memberikan surat tugasnya pada laki-laki itu. “Maaf, kalau kami melakukan penggeledahan di rumah Bapak, karena saat ini, saudari. Naura Shaquilla, sedang dicari polisi,” jelas Bripda Rudi. Laki-laki itu menunjukkan ekspresi terkejut, begitu juga wanita itu. Laki-laki itu segera melihat surat tugas tersebut. “Ngg
“Iya. Nona kamu sedang pergi kan? Bapak pasti tau dia pergi kemana. Kami harap, Bapak bisa bekerjasama, atau akan dianggap ikut mengelabui petugas,” tegas Bripda Rudi. Arif tampak bingung. Dia sesekali melihat ke dalam rumah majikannya. Majikannya bisa marah kalau sampai tahu dia membiarkan polisi menggeledah rumah. Sementara untuk menghentikan polisi dirinya juga tak memiliki keberanian.“Setahu saya, Non Naura nggak pergi kemana-mana,” katanya. “Bapak yakin?” “Ya waktu saya belum ke pasar, Non Naura masih di rumah. Saya juga nggak tau, apa No Naura pergi waktu saya ke pasar ya?” Arif malah seperti balik bertanya seperti orang yang linglung. Bripda Rudi memperhatikan wajah Arif. Mencoba membaca ekspresi wajah Arif, apakah dia berbohong atau tidak. “Bagaimana dengan orang tua Naura? Dimana mereka tinggal?” Bripda Rudi terus menggali informasi. “Tuan dan Nyonya, lagi ke Bandung. Ada acara keluarga. Katanya hari ini pulang, mungkin ini lagi di jalan,” jawab Arif.“Mereka bukannya
“Atau … kamu anak angkat?” Audi kembali menebak, tetapi Alya tetap menggeleng sebagai jawaban. “Aku udah males nebak. To the point aja napa sih, Al?” Audi mulai merengek dihadapan Alya. Alya menghembus poninya sendiri. Dia masih saja ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Audi. Sementara Audi terus menatapnya dengan tatapan yang memohon. Gadis itu akhirnya menunduk, seperti menyerah pada kegigihan sahabatnya itu. Ia menatap mata Audi, mencari secercah keyakinan bahwa Audi benar-benar bisa dipercaya.“Mamaku yang meminta Bu Laras untuk jadi istri kedua Papa,” kata Alya pelan. Mata Audi seketika membola. Ingin tak percaya, tetapi tak mungkin Alya berbohong. Apalagi untuk hal yang begitu penting dan rahasia. “Jadi, Bu Laras istri kedua Om Bas?” tanya Audi untuk memastikan kalau Alya tidak salah bicara. “Ya. Tapi sayangnya, setelah aku lahir, Ibu harus meninggalkan aku untuk dijadikan anak Mama.” “Al … serius?” tanya Audi tak percaya. Alya mengangguk pelan. “Kok Tante Ratna ja
Di kantor polisi, suasana makin tegang. Bripda Rudi berdiri di belakang kursi seorang petugas IT, matanya menatap layar komputer penuh dengan data yang tak kunjung memberikan titik terang.“Gimana, Ris?” tanya Bripda Rudi tak sabar pada rekannya. Petugas IT itu menggeleng pelan. “Gak ada data yang cocok, Rud. Tak ada perusahaan di daerah Dago, bernama Adiprana Land. Sementara nama Dimas Adiprana sendiri, tak ada di daftar nama pengusaha di Bandung, maupun Medan.”Bripda Rudi langsung menghubungi Inspektur Damar yang sedang di ruang penyelidikan.“Ndan, laporan terbaru. Sepertinya, security itu membohongi kita. Semua data yang dia kasih palsu.”Inspektur Damar menghentikan langkahnya di depan ruang briefing. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras mendengar laporan dari Bripda Rudi. Kesal, karena merasa dibodohi oleh seorang security biasa.“Palsu semua?” tanyanya untuk memastikan. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan marah. “Termasuk perusahaan dan nama orang tuan
Inspektur Damar akhirnya sampai juga di rumah Naura. Kali ini, komandan polisi itu membawa beberapa personil, untuk berjaga-jaga. Sebagai anggota kepolisian, Inspektur Damar cukup paham, kalau orang seperti Naura akan melakukan segala cara untuk terlepas dari jeratan hukum. Melihat ada mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah, seorang security segera membuka gerbang. Inspektur Damar keluar dari mobil. “Selamat sore,” kata Inspektur Damar seraya mengulurkan tangan. Security itu segera menjabat tangan Inspektur Damar. “Sore, Pak. Cari siapa ya?” tanya security terdengar agak takut. “Benar ini kediaman saudara Naura Shaquila?” Pertanyaan Inspektur Damar membuat dahi sang security mengernyit. “Benar. Tapi Nona Naura sudah pergi,” kata si security.Inspektur Damar mempersempit tatapannya. “Pergi ke mana?” tanyanya cepat.Security itu terlihat gugup. “Saya kurang tahu, Pak. Tadi pagi beliau buru-buru keluar pakai mobil, bawa koper. Katanya mau ke Bandung, menemui Tuan dan Nyonya.”
“Om!” Baru lagi Bastian akan jalan mendekati Laras, terdengar Audi memanggil. Bastian segera menolah dan berbalik melihat Audi. “Iya, Audi. Ada apa?”“Alya bilang, dia minta dibuka infusnya. Tangannya pegel katanya,” balas Audi. “Oh, ya udah. Biar Om bilang sama perawat,” kata Bastian dan berbalik dari hadapan Audi. Audi yang penasaran dengan yang Bastian lihat, melihat ke arah tempat tadi Bastian lihat. Dahinya mengernyit melihat Laras yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan jauh ke depan, seperti sedang melamun. Bastian bersama perawat masuk lagi ke kamar Alya. Perawat segera membuka infus Alya. Tak lama Audi juga masuk ke ruangan itu. “Makasih, Sus,” kata Alya pada sang perawat. “Sama-sama,” balas perawat tersebut, lantas permisi keluar. “Pa, jam berapa kita pulang?” tanya Alya. “Sebentar lagi,” jawab Bastian. “Ibu mana ya? Kok sholat lama banget?” tanya Alya. Bastian tidak menjawab. Audi ingin menjawab, tetapi khawatir Bastian curiga kalau dia mengintip. “Hap