"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
"Hanum, kamu kenapa?" Dava terkejut ketika melihat Hanum, sang istri sedang menangis terduduk di bawah wastafel kamar mandi."Mas, Dava," lirih Hanum sambil mendongakkan kepalanya."Apa yang terjadi, Sayang?" Dava menghampiri Hanum, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Kamu sakit? Kamu terluka?""Tuhan nggak adil, Tuhan nggak sayang sama aku. Kenapa Tuhan tega melakukan ini sama aku, Mas. Setiap bulan aku terus menanti kepercayaan. Aku menanti Tuhan menitipkan bayi ke dalam perutku, tetapi sampai sekarang Tuhan belum juga percaya sama aku. Apa aku nggak layak jadi seorang ibu?" Hanum menangis meraung dalam pelukan Dava, Dava Mahendra. Seorang suami yang begitu mencintai istrinya yang bernama Hanum Sabilla."Jangan bicara seperti itu, Hanum. Mungkin memang belum waktunya Tuhan memberikan kita keturunan. Sabar ya, Sayang." Dava coba menenangkan sang istri dengan trus memeluk, mengusap punggungnya dengan lembut."Sampai kapan, Mas. Kita udah menikah selama 3 tahun, tapi sampai sekarang aku
Hanum melupakan pesan yang dikirim oleh sang ibu mertua. Saat dia mencari obat di dalam laci nakas, ponselnya kembali berdering tanda pesan masuk. Dari layar terlihat kalimat, "Ada pesan dari mertua bukannya bales, ini malah cuma diliat doang.""Oh, iya. Aku lupa bales," gumam Hanum sambil menahan sakit ia membuka pesan dari sang mertua, lalu mengetik balasan."Maaf, Bu. Hanum baru baca pesan dari ibu. Hanum ada di rumah, ada apa ya, Bu?""Antar ibu ke pasar!" balasnya singkat, jelas, padat."Maaf, Bu. Bukan Hanum nggak mau, tapi perut Hanum lagi sakit, sakit banget malah. Buat jalan aja ini susah.""Kenapa? Kamu datang bulan lagi?"Tidak langsung membalas. Bukan tidak mau, hanya saja Hanum merasa takut mengatakan yang sebenarnya. Dia pasti kena marah dan parahnya lagi niat sang mertua yang sudah sejak lama menginginkan putranya Dava menikah dengan wanita lain demi keturunan akan semakin bulat. Namun, jika berbohong pun tidak ada untungnya sehingga Hanum mengatakan hal yang sebenarnya
Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat."Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku.""Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua."Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava."Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."Dava menggelengkan kepalany
Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya."Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?""Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu.""Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?""Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?""Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut."Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu sel
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya."Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya."Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru."Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok.""Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
"Nara?" Hanum mendorong stroller menuju ruang keluarga, terlihat Nara sedang berjalan cepat menghampirinya dengan memasang wajah marah."Dasar perempuan tidak punya hati, perempuan egois.""Berhenti, Nara!" Teriak Hanum meminta Nara untuk tidak menghampirinya.Dia yang saat ini hati dan pikirannya sedang diselimuti rasa amarah, tidak mau mendengar ucapan Hanum dan tetap berjalan cepat menghampirinya."Kembalikan putraku!"Hanum langsung menggendong Abiyu dari stroller, memeluknya seraya memberikan perlindungan. "Nggak! Aku nggak mau.""Kembalikan!" Nara merebut Abiyu secara paksa dari dekapan Hanum, hingga akhirnya dia berhasil memindahtangankan Abiyu dari tangan Hanum."Apa yang kamu lakuin? Jangan ambil anak aku!""Anak kamu? Ini anak aku!" Suara Nara membentak."Mas Dava ayahnya dan aku adalah istrinya!" Suara Hanum tak kalah membentak."Kamu sadar kalau Abiyu Itu anak aku bersama mas Dava, kenapa kamu merusak kebahagiaan kami? Kenapa kamu tega memisahkan kamu?""Aku nggak misahin
Setelah Dava pergi, Hanum meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada Nara. "Maafkan aku, Ra. Aku udah berusaha supaya kamu tetap menjadi istri mas Dava, tapi ternyata mas Dava tetap pada keputusannya.Tidak terima akan kekalahan yang ia dapatkan, Nara melepaskan diri dari pelukan Fitri, lalu berjalan menghampiri Hanum, mengangkat tangannya hendak menampar. Beruntung Dava kembali masuk ke dalam berhasil menahan tangan Nara yang sudah melayang di udara."Mas Dava?" Nara terkejut."Berani kamu menyentuh istri aku, akan aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Abiyu lagi. Paham?" Secara kasar Dava mengibaskan tangan Nara, lalu Dava meraih tangan Hanum. "Ayo kita pergi, Num."Tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan Dava. Baik itu Heru, Fitri, sekalipun Nani. Semua diam ketika Dava mengambil sikap tegas. Akhirnya Dava, Hanum, Abiyu, juga Fitri meninggalkan kediaman Nara tanpa embel-embel apa pun, mereka pergi tanpa menoleh lagi ke belakang."Ayo, Num. Kita harus cari mini
Hanum terkejut atas apa yang sudah Dava ucapkan, pasalnya dia sendiri saja tidak tahu akan tujuan Dava mengumpulkan semua orang. Dava tidak pernah mendiskusikan masalah ini dengan dirinya.Nara yang tidak setuju terus menolak, Dava mengeluarkan semua berkas perjanjian yang pernah mereka tanda tangani lalu menyimpannya di atas meja."Kamu sudah menandatangani semuanya, Ra. Aku harap kamu bisa kooperatif."Nara mengambil surat tersebut bukan untuk membacanya, tetapi untuk merobeknya dan beberapa kertas itu ia robek di hadapan semua orang, robekan kertas itu dia lempar ke sembarang arah."Aku nggak peduli! Pokoknya aku nggak mau kita bercerai!""Aku nggak cinta sama kamu, Ra," tegas Dava."Pikirkan bagaimana nasib putra kita, Mas. Abiyu masih membutuhkan aku, Abiyu masih minum ASI.""Itu bukan masalah serius, aku bisa kasih dia susu formula.""Aku nggak setuju. Kamu mau anak kita sakit?""Susu formula itu kurang bagus, Dava. Ada ASI, buat apa susu formula?" Nani ikut membela menantu kesa
Selama lebih dari dua jam Dava mengadakan pertemuan dengan guru ngaji Haris di salah satu mesjid kota Jakarta. Dia mengutarakan semua isi hatinya, keluh kesahnya selama ini, selama menikahi Nara secara diam-diam. Dava menceritakan semuanya dari A-Z, tidak ada yang dikurangi apa lagi dilebih-lebihkan.Guru ngaji Haris memberikan beberapa nasihat, mengutarakan pendapat, juga menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. Bukan tanpa ilmu, semua yang beliau sampaikan tidak melenceng dari syari'at agama islam, tidak melenceng dari peraturan-peraturannya sehingga Dava sudah tau keputusan apa yang harus ia ambil.Setelah mendapatkan jawaban atas kegusarannya selama ini, malam harinya Dava pun memutuskan untuk pulang ke rumah Nara tentunya."Assalamualaikum," ucap salam Dava seraya membuka pintu utama.Tidak ada siapa pun, tetapi televisi dalam keadaan menyala. Dava berjalan menuju meja, mengambil remote control, lalu televisi pun dimatikan. Dia berpikir kalau saat ini Nara bersama putranya
Sejak Dava memimpikan Nara, sejak saat itu juga hatinya merasa gusar. Tidak berhenti ia memikirkan makna dari mimpi itu apa, hingga akhirnya ia pun menghubungi sang sahabat bernama Haris untuk mengutarakan kegusarannya, bertukar pikiran dengan harapan mendapatkan jalan keluar terbaik."Di mana?" tanya Dava dalam sebuah pesan.Tidak lama ia pun langsung mendapatkan balasan. "Di kantor. Kenapa?""Bisa ketemu sekarang?""Di mana?""Kafe depan kantor lu aja.""Oke, lu bisa datang ke sini satu jam lagi. Gue lagi nanggung kerjaan nih.""Oke, kalau udah nyampe gue kabarin lagi.""Sip."Setelah berbalas pesan dengan sang sahabat, Dava menyeruput kopinya, lalu mengetik pesan untuk dikirim kepada Hanum."Assalamualaikum, Num.""Waalaulaikumsalam. Ada apa, Mas?""Kamu lagi apa?""Lagi di butik. Kenapa, Mas? Mas Dava mau pulang sekarang?""Nggak. Aku mau izin pulang ke rumah Nara, boleh?"Lama tidak mendapatkan balasan, Dava meletakkan handphonenya di atas meja. Sambil menunggu, dia menyandarkan
Nara: Oh, jadi lu yang nyuruh Mas Dava bawa Abiyu ke sana? Gila ya emang lu, anak gue belum juga satu bulan udah lu bawa-bawa ke sana. Mau lu apa sih?Balasan dari Nara yang Hanum terima.Tidak ingin ketahuan kalau saat ini dia sedang berbalas pesan dengan Nara, Hanum pun pergi ke kamar mandi dengan dalih ingin buang air kecil. Dia pergi meninggalkan Dava yang sedang asik ngobrol bersama Abiyu di sofa ruang keluarga.Hanum: Apaan sih lu? Marah-marah nggak jelas. Masih untung gue kasih tau mas Dava ada di sini.Balasan yang Hanum kirim kepada Nara. Sabil berdiri di depan cermin kamar mandi, Nara: Suruh mas Dava pulang! Hanum: Gue udah nyuruh dia pulang dari kemaren, tapi mas Dava nggak mau.Nara: Bohong! Pasti lu yang ngelarang mas Dava pulang.Hanum: Terserah lu mau percaya atau nggak deh.Nara: Gue ke rumah lu sekarang.Hanum: Silakan.Selesai berbalas pesan dengan Nara, Hanum berdiri sebentar di depan wastafel sambil mencuci tangan. Selesai mencuci tangan, barulah ia keluar dari k