Angin bertiup dengan kencangnya, membuat Dina harus beberapa kali membenarkan tatanan rambutnya yang diterpa angin. Dia sekarang sedang berada di puncak gedung, dari sini Dina dapat memandang gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekitarnya, bahkan pemandangan gunung di kejauhan terlihat dengan jelas dari ini. Apalagi suasana yang sunyi dan tenang membuatnya langsung jatuh cinta.
“Aku tidak menyangka di atas gedung pemandanganya seindah ini,” kata Dina. “Ini tempat biasa aku melarikan diri dari rutinitas di kantor, tempatnya tenang dan cocok untuk orang yang ingin menyendiri.” Bara di belakangnya tersenyum melihat Dina yang antusias berkeliling atap gedung. “kamu sering kemari, Bar?” “Kalau sedang suntuk aku suka kemari.” “Sendiri?” tanya Dina heran. “Iya, aku lebih suka sendiri.” “Kenapa sekarang mengajakku?” tanya Dina lagi dengan penasaran.“Apa maksudmu, aku juga punya pekerjaan ditempat lain?” tanya Dina heran. “Mbak nggak pernah dengar perselingkuhan sering terjadi di lingkungan kantor?” “Itu hany terjadi di film saja, Bar, lagi pula ada kamu di samping Mas Angga dan sekretarisnya juga laki-laki.” “Mbak lupa ada orang yang juga berpotensi untuk dekat dengan Mas Angga, dengan beberapa alasan.” Dina memperhatikan Bara dengan seksama,apa maksud laki-laki itu Vanya?“Vanya?” Bara mengangguk samar. “Ceritakan padaku tentang wanita itu?’ Pinta Dina. Bara memandang Dina dalam. “Dulu aku mengenalnya saat Mas Angga mengajakku ke rumah kekasihnya, Ghea.” Mulai Bara, dia mengamati reaksi Dina apa ada kecemburuan di wajah wanita itu, tapi wajah itu hanya datar saja tak terbaca. Membuat Bara mau tak mau melanjutkan ceritanya. “Dan Vanya adalah adek Ghea, meski begitu Mas Angga juga sangat dekat dengan Vanya dan sudah menganggapnya sebagai adeknya sendiri. Semula semua baik-baik saja. Mas Angga dan Ghea bertunangan, tapi sat
Siapa sangka berpetualangan mempercantik diri bisa semelelahkan ini. Setelah Sasa menmintanya lebih tepatnya memaksanya untuk browsing berbagai skincare dan make up juga baju-baju yang pantas digunakan untuk pesta seperti itu, kini mereka harus berjalan mengelilingi mall, untuk sampai ke tempat itu, karena baik Dina maupun Sasa tak ada yang tahu pasti lokasinya.“Kenapa kita tidak ke tempat biasanya ibu mertuaku perawatan saja, sih, Mbak?” tanya Dina dengan kesal, padahal mereka sudah berputar-putar, tapi tempat itu belum juga berhasil dia temukan. “Dina, kamu sender yang bilang kalau perawatan di situ mukamu gatal-gatal, itu artinya tidak sesuai dengan jenis kulitmu.”“Tapi nggak sampai yang parah banget kok, Mbak, mungkin itu efek sampingnya setelah itu kulitku baik-baik saja.” “Iyalah, kamu Cuma perawatan sekali terus ngilang.” Dina kembali berdecak kesal tapi tak bisa mengatakan apa-apa memang benar dia hanya melakukan perawatan saat ma
Dunia memang terasa sangat sempit, itulah yang dirasakan Dina saat ini, bayangkan dari ratusan klinik kecantikan yang tersebar di seluruh kota ini kenapa dia harus memilih klinik yang sama dengan Anggun Paramitha. Bukan Dina takut atau membenci wanita itu, tapi malas saja dengan drama yang pasti akan wanita itu lakukan kalau bertemu dengannya, apalagi terakhir kali mereka bertemu saat dirinya memilihkan baju untuk Brian di sebuah butik dan berakhir tidak baik. Tapi melihat wanita itu mengernyit kesakitan seorang diri membuat hati Dina tak tega. Aku hanya ingin membantunya kalau memang dia butuh bantuan, lalu aku akan pergi, terserah dia mau bilang apa. Batin Dina berusaha menghentikan peperangan di dalam kepalanya. Perlahan Dina melangkah mendekati wanita itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Dina. Spontan wanita itu mendongak dan melotot melihat siapa yang ada di depannya. “Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Anggun tidak dapat menutupi r
Rapat yang akan di gelar siang nanti membuat Dina harus berangkat lebih pagi dari biasanya, untunglah anak-anak mengerti dan mau diantar Pak Amin ke sekolah, sedangkan Dina menumpang mobil suaminya yang di kendarai Pak Joko. Brian, Bosnya yang perfeksionis itu baru menyampaikan tentang hal ini tadi malam melalui pesan yang panjang di ponselnya, membuat Dina sepanjang malam di hantui pekerjaan yang belum selesai dia kerjakan. “Harus banget kamu berangkat sepagi ini?” tanya Angga yang duduk di sampingnya. “Ya mau bagaimana lagi, Mas, laporan yang menjadi tanggung jawabku belum selesai.” Angga menyandarkan punggungnya, menatap istrinya yang hari ini terlihat begitu berbeda, lebih cantik dan segar. Tapi bukannya pujian yang dia sampaikan tapi malah perasaan was-was, karena seharian istrinya akan bersama-sama dengan teman-temannya, yang sebagian dari mereka adalah laki-laki muda yang sangat menarik, apalagi meski enggan meng
"Pak Angga tadi menghubungiku dan meminta kamu untuk dimutasi ke perusahaannya, Apa kamu bersedia?" tanya Brian.Dina yang sedang membereskan kertas-kertas di tangannya segera menghentikan pekerjaan itu, dan menatap Brian yang berdiri menunggu jawaban darinya.Ini pasti ulah Bara, Dina tak menyangka laki-laki itu akan begitu cepat menjalankan rencananya, tanpa menunggu persetujuannya terlebih dahulu."Din, atau kamu yang meminta pada suamimu?" tanya Brian lagi saat tak ada tanggapan dari Dina."Saya juga baru tahu, Pak," jawabnya singkat.Brian menggangguk. "Aku akan memberimu waktu untuk berpikir sebelum memutuskan, bagaimanapun Pak Angga bukan hanya penyumbang dan investor terbesar di sini tapi posisinya sebagai suamimu membuat dia mempunyai hak mutlak untuk menempatkanmu di posisi manapun." Dina mengerti maksud Brian, tapi suaminya bukan orang seperti itu, dia tahu dengan jelas, batas yang ditetapkan suaminya soal profesionalitas.
Pagi ini Angga tersenyum senang ini hari pertama Dina akan bekerja di kantornya. Setelah tarik ulur yang alot dan berbagai persyaratan yang harus Angga penuhi, Dina menyetujui untuk membantunya untuk sementara waktu sampai perusahaan Angga mendapatkan semua karyawan yang diinginkan. “Kamu kelihatannya senang sekali aku bekerja di kantormu, Mas?” tanya Dina yang menatap suaminya dari kaca spion hari ini berwajah cerah, tidak datar seperti biasanya. Angga berbalik dan menatap sang istri yang duduk di belakang bersama dua orang anaknya. “Tentu saja, bukankah itu bisa semakin mendekatkan kita,” kata Angga.“Tergantung kamu seberapa lebar membuka pintu,” kawan Dina. “Bunda akan kerja dengan Papa?” tanya Aksa tiba-tiba. “Iya sayang mulai hari ini mama kerja di kantor Papa.”“Bukannya Bunda kerja sama Om Brian?” “Karena Papa butuh bantuan Bunda kalian.” kali ini Angga yang menjawab pertanyaan Aksa, sedikit panas telinganya
Terbiasa bekerja di lingkungan yayasan yang lebih banyak bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, ternyata sangat berbeda dengan pekerjaan yang dia lakukan sekarang di perusaahan konvensional yang seratus persen hanya berorentasi pada keuntungan. Banyak tantangan yang harus di hadapi, terutama karena perusahaan ini adalah perusahaan keluarga yang memiliki berbagai kubu yang berkuasa meski direktur utama adalah suaminya. Dina menghela napas kasar ternyata begitu mengerikan persaingan orang-orang kaya itu, dia yang hanya tahu saingan berebut makanan waktu kecil tentu saja kaget dengan hal seperti ini. Dina sedikit paham kenapa suaminya kadang pulang dalam keadaan stress dan lelah. Bukan hal yang mudah memang menyatukan pikiran banyak orang menjadi sebuah karya yang pantas untuk dijual. Suara ketukan pintu membuat Dina yang sedang sibuk dengan lamunannya mendongak dan mempersilahkan si pengetuk untuk masuk. “Saya diminta untuk menyampaikan data pela
Sore sudah merambat naik sebentar lagi pasti matahari akan digantikan oleh bulan, suasana cerah langit sore berubah menjadi kegelapan yang dihiasi bintang. Tak ada awan yang menyelimuti, malam ini begitu cerah seakan alam sedang bermandikan cahaya bintang. Tapi tidak demikian dengan hati Dina, malam ini akan diadakan pesta ulang tahun suaminya, meski ini bukan pesta ulang tahun Angga yang pertama setelah mereka menikah tapi ini ulang tahun pertama yang digabung dengan acara perusahaan apalagi ini juga tahun pertama bagi Dina untuk berbagi suami dengan wanita lain. Dia tahu mungkin kali ini tidak hanya dia yang akan disorot oleh banyak orang sebagai tuan rumah tapi juga ada Keira yang memiliki hak yang sama. Dina harus menyiapkan hati kalau ada banyak orang yang akan berbicara tentang kerumitan hubungannya ini, meski dia tau dirinya tak pernah siap. “Ada apa?” tanya Angga yang sudah duduk di sampingnya dalam mobil yang dikemudikan Pak Joko. Malam ini Dina mengenakan baju berwarna l