Siapa sangka berpetualangan mempercantik diri bisa semelelahkan ini. Setelah Sasa menmintanya lebih tepatnya memaksanya untuk browsing berbagai skincare dan make up juga baju-baju yang pantas digunakan untuk pesta seperti itu, kini mereka harus berjalan mengelilingi mall, untuk sampai ke tempat itu, karena baik Dina maupun Sasa tak ada yang tahu pasti lokasinya.
“Kenapa kita tidak ke tempat biasanya ibu mertuaku perawatan saja, sih, Mbak?” tanya Dina dengan kesal, padahal mereka sudah berputar-putar, tapi tempat itu belum juga berhasil dia temukan.“Dina, kamu sender yang bilang kalau perawatan di situ mukamu gatal-gatal, itu artinya tidak sesuai dengan jenis kulitmu.”“Tapi nggak sampai yang parah banget kok, Mbak, mungkin itu efek sampingnya setelah itu kulitku baik-baik saja.”“Iyalah, kamu Cuma perawatan sekali terus ngilang.”Dina kembali berdecak kesal tapi tak bisa mengatakan apa-apa memang benar dia hanya melakukan perawatan saat maDunia memang terasa sangat sempit, itulah yang dirasakan Dina saat ini, bayangkan dari ratusan klinik kecantikan yang tersebar di seluruh kota ini kenapa dia harus memilih klinik yang sama dengan Anggun Paramitha. Bukan Dina takut atau membenci wanita itu, tapi malas saja dengan drama yang pasti akan wanita itu lakukan kalau bertemu dengannya, apalagi terakhir kali mereka bertemu saat dirinya memilihkan baju untuk Brian di sebuah butik dan berakhir tidak baik. Tapi melihat wanita itu mengernyit kesakitan seorang diri membuat hati Dina tak tega. Aku hanya ingin membantunya kalau memang dia butuh bantuan, lalu aku akan pergi, terserah dia mau bilang apa. Batin Dina berusaha menghentikan peperangan di dalam kepalanya. Perlahan Dina melangkah mendekati wanita itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Dina. Spontan wanita itu mendongak dan melotot melihat siapa yang ada di depannya. “Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Anggun tidak dapat menutupi r
Rapat yang akan di gelar siang nanti membuat Dina harus berangkat lebih pagi dari biasanya, untunglah anak-anak mengerti dan mau diantar Pak Amin ke sekolah, sedangkan Dina menumpang mobil suaminya yang di kendarai Pak Joko. Brian, Bosnya yang perfeksionis itu baru menyampaikan tentang hal ini tadi malam melalui pesan yang panjang di ponselnya, membuat Dina sepanjang malam di hantui pekerjaan yang belum selesai dia kerjakan. “Harus banget kamu berangkat sepagi ini?” tanya Angga yang duduk di sampingnya. “Ya mau bagaimana lagi, Mas, laporan yang menjadi tanggung jawabku belum selesai.” Angga menyandarkan punggungnya, menatap istrinya yang hari ini terlihat begitu berbeda, lebih cantik dan segar. Tapi bukannya pujian yang dia sampaikan tapi malah perasaan was-was, karena seharian istrinya akan bersama-sama dengan teman-temannya, yang sebagian dari mereka adalah laki-laki muda yang sangat menarik, apalagi meski enggan meng
"Pak Angga tadi menghubungiku dan meminta kamu untuk dimutasi ke perusahaannya, Apa kamu bersedia?" tanya Brian.Dina yang sedang membereskan kertas-kertas di tangannya segera menghentikan pekerjaan itu, dan menatap Brian yang berdiri menunggu jawaban darinya.Ini pasti ulah Bara, Dina tak menyangka laki-laki itu akan begitu cepat menjalankan rencananya, tanpa menunggu persetujuannya terlebih dahulu."Din, atau kamu yang meminta pada suamimu?" tanya Brian lagi saat tak ada tanggapan dari Dina."Saya juga baru tahu, Pak," jawabnya singkat.Brian menggangguk. "Aku akan memberimu waktu untuk berpikir sebelum memutuskan, bagaimanapun Pak Angga bukan hanya penyumbang dan investor terbesar di sini tapi posisinya sebagai suamimu membuat dia mempunyai hak mutlak untuk menempatkanmu di posisi manapun." Dina mengerti maksud Brian, tapi suaminya bukan orang seperti itu, dia tahu dengan jelas, batas yang ditetapkan suaminya soal profesionalitas.
Pagi ini Angga tersenyum senang ini hari pertama Dina akan bekerja di kantornya. Setelah tarik ulur yang alot dan berbagai persyaratan yang harus Angga penuhi, Dina menyetujui untuk membantunya untuk sementara waktu sampai perusahaan Angga mendapatkan semua karyawan yang diinginkan. “Kamu kelihatannya senang sekali aku bekerja di kantormu, Mas?” tanya Dina yang menatap suaminya dari kaca spion hari ini berwajah cerah, tidak datar seperti biasanya. Angga berbalik dan menatap sang istri yang duduk di belakang bersama dua orang anaknya. “Tentu saja, bukankah itu bisa semakin mendekatkan kita,” kata Angga.“Tergantung kamu seberapa lebar membuka pintu,” kawan Dina. “Bunda akan kerja dengan Papa?” tanya Aksa tiba-tiba. “Iya sayang mulai hari ini mama kerja di kantor Papa.”“Bukannya Bunda kerja sama Om Brian?” “Karena Papa butuh bantuan Bunda kalian.” kali ini Angga yang menjawab pertanyaan Aksa, sedikit panas telinganya
Terbiasa bekerja di lingkungan yayasan yang lebih banyak bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, ternyata sangat berbeda dengan pekerjaan yang dia lakukan sekarang di perusaahan konvensional yang seratus persen hanya berorentasi pada keuntungan. Banyak tantangan yang harus di hadapi, terutama karena perusahaan ini adalah perusahaan keluarga yang memiliki berbagai kubu yang berkuasa meski direktur utama adalah suaminya. Dina menghela napas kasar ternyata begitu mengerikan persaingan orang-orang kaya itu, dia yang hanya tahu saingan berebut makanan waktu kecil tentu saja kaget dengan hal seperti ini. Dina sedikit paham kenapa suaminya kadang pulang dalam keadaan stress dan lelah. Bukan hal yang mudah memang menyatukan pikiran banyak orang menjadi sebuah karya yang pantas untuk dijual. Suara ketukan pintu membuat Dina yang sedang sibuk dengan lamunannya mendongak dan mempersilahkan si pengetuk untuk masuk. “Saya diminta untuk menyampaikan data pela
Sore sudah merambat naik sebentar lagi pasti matahari akan digantikan oleh bulan, suasana cerah langit sore berubah menjadi kegelapan yang dihiasi bintang. Tak ada awan yang menyelimuti, malam ini begitu cerah seakan alam sedang bermandikan cahaya bintang. Tapi tidak demikian dengan hati Dina, malam ini akan diadakan pesta ulang tahun suaminya, meski ini bukan pesta ulang tahun Angga yang pertama setelah mereka menikah tapi ini ulang tahun pertama yang digabung dengan acara perusahaan apalagi ini juga tahun pertama bagi Dina untuk berbagi suami dengan wanita lain. Dia tahu mungkin kali ini tidak hanya dia yang akan disorot oleh banyak orang sebagai tuan rumah tapi juga ada Keira yang memiliki hak yang sama. Dina harus menyiapkan hati kalau ada banyak orang yang akan berbicara tentang kerumitan hubungannya ini, meski dia tau dirinya tak pernah siap. “Ada apa?” tanya Angga yang sudah duduk di sampingnya dalam mobil yang dikemudikan Pak Joko. Malam ini Dina mengenakan baju berwarna l
Pesta kali ini diadakan di halaman samping perusahaan yang terbentang luas dengan di kelilingi taman di kanan kirinya, biasanya area ini memang digunakan untuk tempat bersantai para karyawan baik untuk duduk-duduk saja atau bermain sepeda mengelilingi taman. Bekerja dengan tekanan dan konsentrasi yang tinggi membuat perusahaan harus mampu memberikan sedikit hiburan dan rasa nyaman pada karyawannya agar tidak terlalu stress, dan hal ini sepertinya diterapkan betul oleh perusahaan yang di pimpin oleh Angga. Wicaksana Tech. begitulah tulisan yang terpampang besar di depan pintu masuk. “Besar sekali perusahaan Mas Angga,” kata Keira yan takjub untuk pertama kalinya dia dbawa kemari. Angga yang mendengar komentar istri mudanya hanya menoleh sekilas tanpa mengatakan apapun. “Tolong bantu Non Keira duduk di kursi rodanya lagi, Pak,” kata Angga saat mobil sudah berhenti dan Pak Joko bersiap turun untuk membukakan pintu untuk tuannya itu. “B
Dina masih di sana berdiri diam terlindung di bawah bayang-bayang kelam sebuah tiang. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada wanita yang berstatus sebagai istri muda suaminya itu. Dinginnya angin malam membuat tubuh Dina sedikit menggigil kedinginan, gaun yang dia gunakan memang bukan jenis gaun yang terbuka tapi tetap saja, bahan sutra yang tidak terlalu tebal itu tak mampu melindunginya dari udara malam. “Aku heran bagaimana seorang Bos perusahaan besar seperti ini mau menikah dengan wanita cacat sepertimu!” hardik suara itu. Dina merasa suara itu begitu familiar tapi dia lupa suara siapa yang di dengarnya, apalagi sekarang dia sedang dalam posisi bersembunyi yang tidak bisa melihat jelas orang itu. “A…apa maumu?” tanya Keira dengan suara gemetar. “Mauku kamu menjauh dari kehidupan Mas Angga, jangan terbiasa jadi benalu. Aku tahu kamu memang sengaja mendekatinya setelah gagal mendapatkan anak Rudi Hartono.” Dengan kasar suara itu kembali menghardik. Mas Angga? Siapa wanita it
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda