Dina hanya menatap heran atasannya yang sudah berlalu menuju ruangannya.
Ada ya atasan yang selesaikan tugas bawahannya, kok kesannya kurang ajar banget itu bawahan? Batin Dina bingung."Dia barusan putus sama tunangannya, Din, kabarnya tunangannya selingkuh."Dina hanya bisa melongo bengong, Mbak Sasa berjalan melewatinya sambil membawa setumpuk dokumen.'Hah! Lalu apa urusannya sama aku?' batin Dina gemas.Dia hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kembali pekerjaannya, setidaknya dia ada pekerjaan yang bisa dia gunakan untuk melanjutkan hidup kalau nanti dia sudah tak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.Dia memang bukan tipe orang yang sangat update terhadap gosip-gosip yang berseliweran, bukan juga tipe yang cuek sama sekali, beberapa kali dia akan pergi hangout dengan beberapa karyawan wanita yang sudah berteman akrab dengannya.Saat seperti itu apalagi yang bisa mereka laSore itu Dina pulang kerja dengan tubuh yang lelah luar biasa. Godaan untuk merebahkan diri di ranjang empuk seolah tak terbendung lagi. tapi dia masih punya kewajiban lain yang harus dia lakukan. Sebagai seorang ibu dan istri dia tak bisa begitu saja langsung tidur setelah pulang kerja apalagi dia punya anak yang masih kecil yang harus dia perhatikan. Kekesalannya pada sang suami tak membuat Dina mengabaikan anak-anaknya, bagi Dina anak-anak juga korban dari semua ini dia tak ingin menjadi orang yang naif dengan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Mereka anak-anaknya juga setidaknya untuk saat ini, saat dia masih terikat pernikahan yang sah dengan Angga. Saat memutuskan menikah dengan Angga dulu dia sudah mengatakan “Iya” untuk masuk ke dalam kehidupan Angga yang rumit, jadi sekarang dia akan berusaha bertahan dengan caranya sendiri. Ini hidupnya, Angga memang suaminya tapi laki-laki itu sama sekali tak berhak m
“Apa tidak bisa Mas Angga mengusahakannya?” “Itu hanya acara sekolah, Din, aku datang atau tidak, tidak akan ada pengaruhnya acara akan berjalan seperti biasa.” Dina menarik nafas panjang, dia berusaha meredamkan emosinya dengan meremas kedua tangannya,dia rasanya ingin mengangkat kursi riasnya dan memukul kepala Angga dengan itu, tapi dia urungkan karena mungkin hal itu akan membuatnya jadi janda dan anak-anak menjadi yatim. “Kenapa Aksa tadi bilang, Mas akan usahakan? Sepertinya kita sudah sepakat tidak akan membuat kebohongan meski alasannya untuk kebaikan termasuk juga pada anak-anak,” kata Dina tajam. "Haruskah kita bertengkar masalah ini, Din, aku hanya berpikir praktis saja." "Praktis seperti apa?" tanya Dina tidak mengerti dengan ucapan suaminya. "Aku pikir kamu bisa handle itu." "Jadi karena aku bisa melakukannya jadi kamu bisa biark
“Apa maksudmu? Mama memang meninggal karena sakitkan?” tanya Dina dengan heran, setidaknya itulah yang dia dengar dari mertuanya, Angga sendiri tak pernah menceritakan tentang istri pertamanya itu, dia hanya bilang sangat mencintai sang istri dan belum bisa membuka hati untuk wanita lain. “Aku sering lihat, Papa ribut sama Mama, lalu Mama sering nangis, kata Nenek kalau sedih terus bisa sakit, makanya aku nggak mau karena aku Bunda nangis terus sakit,” kata Aksa lirih, nadanya yang terdengar getir membuat Dina tak sampai hati melihatnya, anak sekecil ini harus melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Dina tak tahu harus menanggapi apa dengan cerita Aksa, dia tak tahu mana apa yang sebenarnya terjadi, sejak awal Angga juga sudah memberi batas padanya untuk tidak menggantikan posisi Mama mereka, dan Dina pun setuju dia memang merasa sosok ibu kandung tak bisa digantikan oleh siapapun, dan lagi dia memang membatasi diri untuk tidak bertanya hal yang da
“Dan apa maksudmu menguping seperti itu, kamu takut aku akan mengajarkan hal yang tidak baik pada putramu?” tanya Dina berang, kenapa Angga bersikap seolah dia orang licik yang perlu diawasi dengan ketat. Angga bergerak mendekat pada Dina. “Aku hanya penasaran dengan pembicaraan kalian, selama ini Aksa lebih nyaman bicara denganmu dari pada aku ayah kandungnya sendiri.”“Apa itu salahku?” Dina menyipitkan matanya, Angga memang bukan sosok ayah yang dingin dan tak peduli pada anak-anaknya, tapi diantara mereka Dina selalu merasa ada jarak tak kasat mata yang membatasi , Aksa tak pernah sekalipun membanggakan Angga sebagai Papanya begitupun Arsyi, seolah Angga hanya sebuah simbol yang harus dihormati. Dina tak tahu apa keadaan ini normal untuk interaksi ayah dan anak, dia sendiri tidak tahu role model seorang ayah bagi anaknya, selain apa yang telah dia baca atau yang dia lihat di televisi.Angga menggeleng. “Ten
Dina bergegas bangun dari ranjangnya saat matahari sudah menampakkan diri, saking paniknya dia lupa ada manusia yang tidur di sampingnya."Ada apa? Ada apa, Din?" Angga yang tidur di sampingnya spontan terbangun karena terkejut guling hidup yang dipeluknya semalam menghempaskan tangannya dengan kasar, diikuti suara orang berlari.Dina yang baru saja melangkah ke kamar mandi hanya nyengir melihat kepanikan suaminya. "Ayam jago sudah bangun, Mas, takut rejekiku ikut dipatuk," jawabnya iseng."Hah! Ayam siapa? Kita tidak pelihara ayam?" tanyanya masih bingung."Cepetan bangun, Mas, nanti aku kasih tahu ayam siapa?" Dina segera melesat ke kamar mandi untuk cuci muka, tak peduli lagi pada suaminya yang masih kebingungan.Dia sudah terlambat bangun, jangan sampai nanti anak-anak juga ikut terlambat ke sekolah. Ini semua gara-gara suaminya yang memaksanya untuk bangun sampai dini hari, batin
Angga bergerak turun saat sampai di depan kantor Dina, laki-laki itu lalu membukakan pintu mobil untuk sang istri, bahkan menggenggam tangan Dina lembut untuk membantunya turun dari mobil. Pagi tadi setelah pertengkaran mereka, Angga tiba-tiba memaksa Dina untuk berangkat bersamanya, karena hari sudah semakin siang dan dia akan telat jika harus mengantar anak-anak ke sekolah terlebih dahulu. Meski sedikit kesal tapi Dina tak bisa menolak.Dina hanya memandang tajam suaminya, tapi tak melepaskan pegangan tangan mereka, bagaimanapun sekarang sedang banyak mata yang sedang melihat ke arah mereka, dia tidak akan merusak harga diri laki-laki yang masih sah sebagai suaminya. Dia juga tak tahu sandiwara apa yang sedang dilakoni Angga dengan mempertontonkan kemesraan mereka di depan orang banyak, mereka hanya tinggal di kota kecil jadi berita tentang pernikahan kedua Angga sudah pasti menyebar luas, apalagi Angga dikenal juga sebagai salah satu d
Pagi ini seperti biasa Dina harus bertarung dengan berbagai kegiatan paginya, wanita itu bahkan sudah berpakaian rapi dan menyiapkan enam buah piring di atas meja. Anak-anak juga sudah duduk rapi di kursi mereka masing-masing, sedangkan Angga masih menjemput Keira untuk makan bersama mereka. Aksa tersenyum senang saat papanya mengatakan akan datang ke pesta perpisahannya bersama bundanya, dia dengan baik hatinya membantu Dina menyiapkan adik-adiknya. Bahkan dengan semangatnya anak itu menceritakan pada adik-adiknya apa yang nanti akan dia tampilkan .“Nanti Mas Aksa akan menyanyi?” tanya Ara yang belum mengerti kenapa kakaknya bilang akan naik panggung. “Bukan menyanyi, Mas akan bermain drum,” jawab Aksa dengan bangga. Ara mengerutkan keningnya tanda dia sedang berpikir keras. “Tapi Mas Aksa nggak punya drum, mau pinjam punya Ara?” tanya Ara polos, menawarkan mainan drum yang memang dia miliki.“
Dulu Dina selalu berpikir sebagai anak panti asuhan, dia akan menemukan pria baik yang sederhana, yang mencintai dia apa adanya, meski mungkin mereka hanya tinggal di rumah petak, Dina akan tetap bersyukur asal keluarga mereka bisa tetap tertawa bersama.Seperti Tuhan punya rencana sendiri yang sangat jauh dari prediksi, dia harus menikah dengan Angga, laki-laki tampan dengan kekayaan melimpah, bukan rumah petak yang mereka tinggali tapi rumah megah bak istana lengkap dengan pelayan di dalamnya, tapi tanpa rasa cinta di dalamnya.Apa Dina kecewa?Mungkin tidak sepenuhnya, dia akan menjadi manusia yang terlihat tidak bersyukur kalau mengatakan itu, meski menikah tanpa cinta nyatanya Angga tidak pernah berlaku buruk padanya, laki-laki itu memperlakukannya seperti sahabat dekat dan juga pengasuh anak-anaknya, meletakkan semua kepercayaan mengelola rumah pada Dina, Angga tak pernah protes tentang apa yang dilakukan Dina untuk rumahnya, Dina adal
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda