Nazeela tertegun melihat Dru berdiri di depan kamar rawat Hasan. Pria itu menatapnya dengan sorot lekat dan lama. Seolah ingin menggali apa yang tersimpan di sorot teduh milik sang gadis. "Kenapa?"Dahi Nazeela berkerut mendengar pertanyaan Dru. "Maksud Kakak?""Kenapa kamu simpan kesedihanmu sendiri, Zee ...? Kenapa kamu ngga cerita kalau Ibumu meninggal dunia?"Nazeela tersenyum getir. Melarikan pandangan ke arah lain. "Kakak baru pulang beberapa hari yang lalu dan selalu bertanya tentang Farah." Dia menjeda kalimatnya sesaat, seraya menghela napas perlahan. "Lagipula kita tidak sedekat itu untuk aku bercerita.""Kamu masih anggap aku orang lain?""Bukannya memang begitu? Kak Dru mantan majikan Ibu, saudara Bang Fairuz, majikanku." Mati-matian Nazeela menahan getar di nada suaranya. Mendengar kalimatnya sendiri, seolah menyadarkan siapa dirinya dan itu semakin membuat ngilu kembali bertandang ke dada.Dru maju selangkah. Melipat jarak yang dibentangkan Nazeela. "Jangan bicara seper
Tangan Fairuz meremas kepalan tanah dari gundukan makam Farah yang ditaburi bunga. Tatapannya nanar ke arah nisan yang bertuliskan nama sang istri tercinta. Siluet kebersamaan mereka satu per satu datang menghantamnya. Senyum manis dan tulus selalu terukir di bibir sang wanita. Kemanjaan, canda, dan semua lelucon yang selalu menghidupkan rumah tangga mereka. Tidak pernah dia merasa jatuh cinta setiap hari kepada lawan jenis, tetapi sejak mengenal Farah, mata Fairuz tertutup untuk wanita lain.Berkali-kali Fairuz meyakinkan diri kalau semua yang terjadi hanya mimpi buruk dan Farah akan membangunkan, seraya menyodorkan segelas air mineral, lalu membaringkan kepala sang pria ke atas pangkuan. Wanita itu akan melantunkan sholawat hingga sang suami kembali tertidur.Rinai yang berderai dari mega membuyarkan kenangan tersebut. Ingatan Fairuz dipaksa kembali pada kenyataan di.hadapan, bahwa yang kini ada di depannya adalah makam Farah, tempat peristirahatan abadi sang terkasih. Ngilu berulan
Fairuz bersidekap dengan wajah datar, sementara matanya sibuk memindai ruang tamu yang berukuran 4 × 3 m persegi. Tidak ada yang spesial dari rumah tersebut, kecuali potret Dru kecil yang sedang duduk di atas kuda poni. Sepertinya foto itu diambil di luar negeri. Fairuz menebak umur pria itu sekitar sepuluh tahun. Dru memang beruntung, besar dengan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Kepergian mereka pun tidak setragis dirinya. Kedua orang tua Dru meninggal saat pria itu telah menginjak dewasa. Mungkin itulah yang membuat hidupnya begitu terlihat begitu menyenangkan, seolah tak ada beban yang mampu membuatnya terpuruk. Tentu saja, harta warisan cukup untuk tujuh turunan, bisnis keluarga otomotis jatuh kepadanya sebagai anak tunggal. Berbeda dengan Fairuz yang harus kehilangan kedua orang tua sejak kecil, untuk bertahan pun harus dengan kemampuan dia sendiri. Akan tetapi, pria itu bangga dengan apa yang sudah dicapainya selama ini. Namun, semua keberhasilan itu terasa si
Apa?!" Fairuz menggosok telinga pelan ketika seruan histeris Ratmi menusuk indera pendengarannya. Wanita itu syok ketika sang anak menceritakan niatnya untuk menikahi Nazeela."Bu, ngga usah berlebihan gitu. Aku nikah sama orang, bukan sama monster sampai harus sehisteris itu," tegur Fairuz, sambil meneguk air mineralnya.Ratmi menggeleng dengan raut tak percaya pada keputusan Fairuz. Mengapa pria itu memilih gadis yatim-piatu itu? Padahal ada Kinaya yang lebih segala-galanya dari gadis miskin tersebut. Untuk keturunan, wanita itu jelas berasal dari keluarga terhormat. Ratmi dan Ibu Kinaya bersahabat sejak kecil, soal status sosial jangan ditanya, wanita itu satu-satunya pewaris kekayaan keluarganya, meski umurnya memang tak muda lagi, tetapi bukankah dia masih berstatus gadis. Lagipula cinta wanita itu tak diragukan lagi pada Fairuz. Dia rela menggadis demi menunggu si pria kembali dan membuka hati. Alih-alih Fairuz malah menikahi Farah."Pokoknya Ibu ngga setuju! Apa kurangnya Kin
"Silakan diminum, Kak." Nazeela meletakkan secangkir kopi di atas meja. Dru tidak mendengar ucapan si gadis karena sedang asyik memerhatikan aneka macam tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Banyak tanaman yang dia kenal sebagai apotik hidup, sepertinya Nazeela lebih suka tumbuhan bermanfaat untuk kesehatan tubuh daripada sekadar tanaman hias. Terdapat tanaman kumis kucing, sambiloto, temulawak, dan lidah buaya."Aku lebih suka memanfaatkan lahan untuk hal yang penting saja, Kak." Nazeela ikut berdiri di samping Dru ketika menyadari arah pandangan pria tersebut.Dru tersenyum seraya menelengkan kepala menatap Nazeela. "Lalu aku bagaimana?"Nazeela menatap bingung, "Ha!"Dru terkekeh melihat raut gadis itu. Mungkin Nazeela tidak menyadari mulutnya sedang menganga dengan mata mengerjap beberapa kali. Pria itu sudah mengulurkan tangannya hendak mengusap kepala si gadis yang tertutup hijab instan berwarna hitam. Akan tetapi, tangannya tertahan di udara mengingat Nazeela tak nyaman,
Mobil terios hitam milik Dru #melaju dengan mulus ketika berbelok dan terparkir anggun di sebelah pos security. Dua orang pria berseragam putih-hitam lengkap dengan atribut keamanan berdiri dengan posisi hormat ketika pria berkaca mata minus itu keluar dari mobilnya."Selamat pagi Pak Dru," sapa salah seorang security seraya tersenyum.Dru mengangguk. "Pak Fairuz sudah datang?""Baru saja, Pak.""Terima kasih," ujar Dru seraya melangkah meninggalkan pelataran parkir perusahaan milik Fairuz.Beberapa staff yang berpapasan dengan Dru juga bersikap sama seperti kedua security tadi. Siapa yang tidak mengenal Dru Syailendra. Dia adalah salah satu pemegang saham terbesar setelah Fairuz. Dia juga ikut membantu suami almarhum Farah tersebut memulihkan kondisi perusahaannya yang sedang pailit. Dru menyuntikkan beberapa milyar rupiah dan sebagai kompensasi, Fairuz memberikan saham 25 persen untuk pria penyuka warna biru tersebut."Hai, Dru." Kinaya yang baru saja keluar dari lift terkejut melih
Mendung masih menggelayuti langit, meski jam telah menunjukkan pukul delapan pagi. Matahari pun diselimuti awan kelabu pertanda sang mega masih ingin menumpahkan kandungan airnya ke bumi. Sepagi ini, mobil Fairuz sudah membelah jalanan yang tidak terlalu padat. Tujuannya adalah rumah Nazeela. Entah mengapa pikirannya terganggu dengan kedatangan Dru ke kantornya. Pria itu begitu ngotot memintanya melepaskan gadis tersebut. Fairuz tersenyum sinis. Alih-alih memikirkan permintaan Dru, dia berencana mempercepat pernikahannya dengan Nazeela. Dia ingin lihat apa yang akan dilakukan pria itu untuk mencegah rencananya. Dendam begitu dalam merasuk ke dadanya, kala mengingat Drulah orang yang terakhir menemani Farah sebelum wanita itu meninggal dunia. Ada terbersit curiga di hatinya jika pria tersebut melakukan hal yang tidak baik terhadap sang istri. Rasanya sungguh aneh, kesehatan wanita itu memang tidak stabil, tetapi dia baik-baik saja ketika Fairuz meninggalkan sebentar menemui dokter.
"Kak Zee pergi tadi pagi dengan Bang Fairuz?" jawab Hasan ketika Dru datang bertamu dan tak mendapati Nazeela di rumah.Dahi Dru berkerut, ada kilat cemburu di matanya. "Mereka pergi berdua saja?""Iya, eh ... bukan." Hasan menggaruk tengguknya, dia salah tingkah dengan tatapan mengintimidasi dari mata Dru. "Kak Zee ditemani tetangga sebelah. Dia mana mau pergi berdua dengan laki-laki, bukan mahrom kata Kak Zee," imbuhnya menirukan nasihat yang sering diucapkan Nazeela kepadanya.Dru menggangguk paham. Ada terbersit lega di dadanya mendengar ada yang menemani Nazeela. Bukan tak percaya pada gadis itu, Fairuzlah yang dia cemaskan. Dia tidak bisa menangkap apa maksud dari pria tersebut memaksakan pernikahan pada Nazeela dan dia juga tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak menanggapi permintaan si pria, mengapa Nazeela seolah tak mampu mengatakan tidak padanya?Dru yakin ada sesuatu yang salah dan dia harus mencari tahu. Dia sadar Nazeela gadis yan