Fairuz bersidekap dengan wajah datar, sementara matanya sibuk memindai ruang tamu yang berukuran 4 × 3 m persegi. Tidak ada yang spesial dari rumah tersebut, kecuali potret Dru kecil yang sedang duduk di atas kuda poni. Sepertinya foto itu diambil di luar negeri. Fairuz menebak umur pria itu sekitar sepuluh tahun. Dru memang beruntung, besar dengan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Kepergian mereka pun tidak setragis dirinya. Kedua orang tua Dru meninggal saat pria itu telah menginjak dewasa. Mungkin itulah yang membuat hidupnya begitu terlihat begitu menyenangkan, seolah tak ada beban yang mampu membuatnya terpuruk. Tentu saja, harta warisan cukup untuk tujuh turunan, bisnis keluarga otomotis jatuh kepadanya sebagai anak tunggal. Berbeda dengan Fairuz yang harus kehilangan kedua orang tua sejak kecil, untuk bertahan pun harus dengan kemampuan dia sendiri. Akan tetapi, pria itu bangga dengan apa yang sudah dicapainya selama ini. Namun, semua keberhasilan itu terasa si
Apa?!" Fairuz menggosok telinga pelan ketika seruan histeris Ratmi menusuk indera pendengarannya. Wanita itu syok ketika sang anak menceritakan niatnya untuk menikahi Nazeela."Bu, ngga usah berlebihan gitu. Aku nikah sama orang, bukan sama monster sampai harus sehisteris itu," tegur Fairuz, sambil meneguk air mineralnya.Ratmi menggeleng dengan raut tak percaya pada keputusan Fairuz. Mengapa pria itu memilih gadis yatim-piatu itu? Padahal ada Kinaya yang lebih segala-galanya dari gadis miskin tersebut. Untuk keturunan, wanita itu jelas berasal dari keluarga terhormat. Ratmi dan Ibu Kinaya bersahabat sejak kecil, soal status sosial jangan ditanya, wanita itu satu-satunya pewaris kekayaan keluarganya, meski umurnya memang tak muda lagi, tetapi bukankah dia masih berstatus gadis. Lagipula cinta wanita itu tak diragukan lagi pada Fairuz. Dia rela menggadis demi menunggu si pria kembali dan membuka hati. Alih-alih Fairuz malah menikahi Farah."Pokoknya Ibu ngga setuju! Apa kurangnya Kin
"Silakan diminum, Kak." Nazeela meletakkan secangkir kopi di atas meja. Dru tidak mendengar ucapan si gadis karena sedang asyik memerhatikan aneka macam tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Banyak tanaman yang dia kenal sebagai apotik hidup, sepertinya Nazeela lebih suka tumbuhan bermanfaat untuk kesehatan tubuh daripada sekadar tanaman hias. Terdapat tanaman kumis kucing, sambiloto, temulawak, dan lidah buaya."Aku lebih suka memanfaatkan lahan untuk hal yang penting saja, Kak." Nazeela ikut berdiri di samping Dru ketika menyadari arah pandangan pria tersebut.Dru tersenyum seraya menelengkan kepala menatap Nazeela. "Lalu aku bagaimana?"Nazeela menatap bingung, "Ha!"Dru terkekeh melihat raut gadis itu. Mungkin Nazeela tidak menyadari mulutnya sedang menganga dengan mata mengerjap beberapa kali. Pria itu sudah mengulurkan tangannya hendak mengusap kepala si gadis yang tertutup hijab instan berwarna hitam. Akan tetapi, tangannya tertahan di udara mengingat Nazeela tak nyaman,
Mobil terios hitam milik Dru #melaju dengan mulus ketika berbelok dan terparkir anggun di sebelah pos security. Dua orang pria berseragam putih-hitam lengkap dengan atribut keamanan berdiri dengan posisi hormat ketika pria berkaca mata minus itu keluar dari mobilnya."Selamat pagi Pak Dru," sapa salah seorang security seraya tersenyum.Dru mengangguk. "Pak Fairuz sudah datang?""Baru saja, Pak.""Terima kasih," ujar Dru seraya melangkah meninggalkan pelataran parkir perusahaan milik Fairuz.Beberapa staff yang berpapasan dengan Dru juga bersikap sama seperti kedua security tadi. Siapa yang tidak mengenal Dru Syailendra. Dia adalah salah satu pemegang saham terbesar setelah Fairuz. Dia juga ikut membantu suami almarhum Farah tersebut memulihkan kondisi perusahaannya yang sedang pailit. Dru menyuntikkan beberapa milyar rupiah dan sebagai kompensasi, Fairuz memberikan saham 25 persen untuk pria penyuka warna biru tersebut."Hai, Dru." Kinaya yang baru saja keluar dari lift terkejut melih
Mendung masih menggelayuti langit, meski jam telah menunjukkan pukul delapan pagi. Matahari pun diselimuti awan kelabu pertanda sang mega masih ingin menumpahkan kandungan airnya ke bumi. Sepagi ini, mobil Fairuz sudah membelah jalanan yang tidak terlalu padat. Tujuannya adalah rumah Nazeela. Entah mengapa pikirannya terganggu dengan kedatangan Dru ke kantornya. Pria itu begitu ngotot memintanya melepaskan gadis tersebut. Fairuz tersenyum sinis. Alih-alih memikirkan permintaan Dru, dia berencana mempercepat pernikahannya dengan Nazeela. Dia ingin lihat apa yang akan dilakukan pria itu untuk mencegah rencananya. Dendam begitu dalam merasuk ke dadanya, kala mengingat Drulah orang yang terakhir menemani Farah sebelum wanita itu meninggal dunia. Ada terbersit curiga di hatinya jika pria tersebut melakukan hal yang tidak baik terhadap sang istri. Rasanya sungguh aneh, kesehatan wanita itu memang tidak stabil, tetapi dia baik-baik saja ketika Fairuz meninggalkan sebentar menemui dokter.
"Kak Zee pergi tadi pagi dengan Bang Fairuz?" jawab Hasan ketika Dru datang bertamu dan tak mendapati Nazeela di rumah.Dahi Dru berkerut, ada kilat cemburu di matanya. "Mereka pergi berdua saja?""Iya, eh ... bukan." Hasan menggaruk tengguknya, dia salah tingkah dengan tatapan mengintimidasi dari mata Dru. "Kak Zee ditemani tetangga sebelah. Dia mana mau pergi berdua dengan laki-laki, bukan mahrom kata Kak Zee," imbuhnya menirukan nasihat yang sering diucapkan Nazeela kepadanya.Dru menggangguk paham. Ada terbersit lega di dadanya mendengar ada yang menemani Nazeela. Bukan tak percaya pada gadis itu, Fairuzlah yang dia cemaskan. Dia tidak bisa menangkap apa maksud dari pria tersebut memaksakan pernikahan pada Nazeela dan dia juga tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak menanggapi permintaan si pria, mengapa Nazeela seolah tak mampu mengatakan tidak padanya?Dru yakin ada sesuatu yang salah dan dia harus mencari tahu. Dia sadar Nazeela gadis yan
Hening menyelimuti kedua insan berlainan jenis, yang duduk di ruang tamu. Secangkir kopi yang dihidangkan Nazeela, dingin tak tersentuh, sedingin raut Dru yang menatapnya lekat. Gadis itu tak tahu harus mulai dari mana setelah tadi sebelum pamit, Fairuz mengingatkan tentang pernikahan mereka yang digelar satu minggu lagi. Terlihat sorot terkejut di mata Dru dan sekarang pria itu pasti menuntut sebuah penjelasan padanya.Andira yang paham situasi segera meminta ijin pulang ke rumah. Pun Hasan, remaja pria itu memilih masuk ke kamarnya dan membiarkan sang kakak menyelesaikan masalahnya sendiri. Hasan tidak mengerti apa alasan saudarinya itu menikah dengan Fairuz, padahal dia sangat tahu perasaan Nazeela terhadap Dru. Mengapa dia memilih pria yang sangat jauh di atasnya untuk menjadi suami? Lagipula mantan istri Fairuz baru saja meninggal. Semua pertanyaan itu mendesak untuk mendapat jawaban. Dan Hasan tahu pada siapa dia harus bertanya, karena sang kakak tidak akan menjawab pertanyaanny
Kedua remaja itu terlihat berbincang serius di toko di mana Andira bekerja separuh hari, karena paginya gadis itu harus bersekolah. Toko tempat dia bekerja adalah milik sang paman. Perkenalan Hasan dan Andira terjadi, saat kedunya pulang menaiki angkutan umum yang sama. Rumah mereka yang berdekatan pun membuat pertemanan keduanya semakin erat, ditambah lagi, Hasan membuka bengkel motor kecil di seberang toko tempat Andira bekerja."Kamu mau 'kan?"Andira tampak berpikir sejenak. Dia ragu apakah bisa memenuhi permintaan lelaki itu. Hasan memintanya mengorek alasan sebenarnya Nazeela menerima pernikahan itu."Kamu tau 'kan, Kak Zee itu agak tertutup untuk masalah pribadi. Mana mau dia cerita, apalagi sama aku."Hasan tersenyum. "Ya, jangan terlalu kentara. Pura-pura nanya aja. Apa kek, aku yakin kamu pasti bisa."Andira pun mengangguk. "Aku coba, tapi ngga janji juga.""Oke, makasih, ya. Kamu emang temen terbaiklah," puji Hasan membuat mata gadis itu menyipit dengan sudut bibir berkedut
"Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa
Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi
Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar
Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris
"Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na
Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat
Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun
Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K
Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l