"Kak Zee pergi tadi pagi dengan Bang Fairuz?" jawab Hasan ketika Dru datang bertamu dan tak mendapati Nazeela di rumah.Dahi Dru berkerut, ada kilat cemburu di matanya. "Mereka pergi berdua saja?""Iya, eh ... bukan." Hasan menggaruk tengguknya, dia salah tingkah dengan tatapan mengintimidasi dari mata Dru. "Kak Zee ditemani tetangga sebelah. Dia mana mau pergi berdua dengan laki-laki, bukan mahrom kata Kak Zee," imbuhnya menirukan nasihat yang sering diucapkan Nazeela kepadanya.Dru menggangguk paham. Ada terbersit lega di dadanya mendengar ada yang menemani Nazeela. Bukan tak percaya pada gadis itu, Fairuzlah yang dia cemaskan. Dia tidak bisa menangkap apa maksud dari pria tersebut memaksakan pernikahan pada Nazeela dan dia juga tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak menanggapi permintaan si pria, mengapa Nazeela seolah tak mampu mengatakan tidak padanya?Dru yakin ada sesuatu yang salah dan dia harus mencari tahu. Dia sadar Nazeela gadis yan
Hening menyelimuti kedua insan berlainan jenis, yang duduk di ruang tamu. Secangkir kopi yang dihidangkan Nazeela, dingin tak tersentuh, sedingin raut Dru yang menatapnya lekat. Gadis itu tak tahu harus mulai dari mana setelah tadi sebelum pamit, Fairuz mengingatkan tentang pernikahan mereka yang digelar satu minggu lagi. Terlihat sorot terkejut di mata Dru dan sekarang pria itu pasti menuntut sebuah penjelasan padanya.Andira yang paham situasi segera meminta ijin pulang ke rumah. Pun Hasan, remaja pria itu memilih masuk ke kamarnya dan membiarkan sang kakak menyelesaikan masalahnya sendiri. Hasan tidak mengerti apa alasan saudarinya itu menikah dengan Fairuz, padahal dia sangat tahu perasaan Nazeela terhadap Dru. Mengapa dia memilih pria yang sangat jauh di atasnya untuk menjadi suami? Lagipula mantan istri Fairuz baru saja meninggal. Semua pertanyaan itu mendesak untuk mendapat jawaban. Dan Hasan tahu pada siapa dia harus bertanya, karena sang kakak tidak akan menjawab pertanyaanny
Kedua remaja itu terlihat berbincang serius di toko di mana Andira bekerja separuh hari, karena paginya gadis itu harus bersekolah. Toko tempat dia bekerja adalah milik sang paman. Perkenalan Hasan dan Andira terjadi, saat kedunya pulang menaiki angkutan umum yang sama. Rumah mereka yang berdekatan pun membuat pertemanan keduanya semakin erat, ditambah lagi, Hasan membuka bengkel motor kecil di seberang toko tempat Andira bekerja."Kamu mau 'kan?"Andira tampak berpikir sejenak. Dia ragu apakah bisa memenuhi permintaan lelaki itu. Hasan memintanya mengorek alasan sebenarnya Nazeela menerima pernikahan itu."Kamu tau 'kan, Kak Zee itu agak tertutup untuk masalah pribadi. Mana mau dia cerita, apalagi sama aku."Hasan tersenyum. "Ya, jangan terlalu kentara. Pura-pura nanya aja. Apa kek, aku yakin kamu pasti bisa."Andira pun mengangguk. "Aku coba, tapi ngga janji juga.""Oke, makasih, ya. Kamu emang temen terbaiklah," puji Hasan membuat mata gadis itu menyipit dengan sudut bibir berkedut
Dru meremas rambutnya yang mulai memanjang. Setelah perdebatan di rumah Nazeela, pria itu memilih menenangkan diri ke villa yang berada di daerah pegunungan. Dia berharap udara segar sekitar bisa menjernihkan pikirannya yang kacau balau.Tak pernah pria itu merasa sehancur itu. Setiap perkataan Nazeela selalu terngiang menghantam gendang telinganya. Gadis itu tanpa tendeng aling membandingkan dirinya dengan Fairuz. Menganggap pria itu lebih baik darinya. Tak kuat menahan sesak di dada, Dru meraih sarung tinju yang tergantung di dinding kamar. Amarahnya perlu pelampiasan dan.pria itu memilih menyalurkan emosinya lewat olah raga. Setidaknya, hal itu bisa membantu melupakan masalahnya sejenak.Lima belas menit menghajar samsak yang tergantung di kamar, tubuh pria yang sangat atletis itu bercucuran peluh, napasnya pun terengah-engah. Hanya dering ponsel yang mampu menjeda aktifitasnya itu. Dahi Dru berkerut ketika membaca nama pemanggil yang tampil di layar benda canggih tersebut.Dru mel
Fairuz tak memedulikan Kinaya yang terus mengoceh di depannya. Wanita itu mencecarnya dengan pertanyaan. Sejak Kinaya tahu bahwa dia akan menikahi Nazeela, wanita itu tak berhenti mengganggu. Membujuk Fairuz untuk membatalkan niatnya. Sempat kedua orang itu berdebat yang diakhiri deraian air mata dari wanita tersebut. Akan tetapi, tak sejengkal pun pria itu mundur. Bagi Fairuz, menikahi Nazeela adalah lambang kemenangannya atas Dru. Dia akan membuat pria itu kehilangan untuk yang kedua kali dan dia pastikan akan lebih sakit. Caranya? Tentu saja menciptakan neraka pernikahan untuk gadis itu. Melihat orang yang kita cintai hidup menderita, tetapi tak bisa menolongnya, adalah siksaan yang paling berat. Apalagi Nazeela tipe gadis yang memegang janji. Dia tidak akan berkhianat pada janji pernikahan, meski tersakiti. "Fai, lihat aku ...."Suara Kinaya yang lirih membuyarkan lamunan Fairuz tentang Nazeela dan Dru. Wajah wanita itu terlihat kuyu dengan lingkar hitam di bawah matanya. Sejak
Dru menimbang flashdisk yang ada di tangannya. Jantung pria itu berdegup dua kali lebih cepat dari seharusnya. Harapan besar tersemat pada benda kecil tersebut. Dia berharap semua tuduhan yang dilayangkan Fairuz bisa terbantahkan, sekaligus menjawab rasa penasarannya tentang sesuatu. Penjelasan Fairuz beberapa waktu yang lalu, mau tidak mau memantik rasa ingin tahunya. Jika benar keadaan Farah baik-baik saja beberapa jam sebelum dia tinggalkan, tidak mungkin wanita itu sesak napas secara tiba-tiba. Dru memejamkan mata, mencoba menggali ingatannya di hari terakhir menemui Farah. Masih teringat jelas di ruang mata bagaimana wanita tersebut menggapai sesuatu. Dru yang cemas gegas mendekat. Alih-alih Farah malah mencengkeram tangan sang pria dengan bibir komat-kamit ingin mengatakan sesuatu. Jika, memang murni karena komplikasi, tidak mungkin ekspresi Farah seperti orang ketakutan. Dru yang saat itu tak bisa berpikir jernih, tak menaruh curiga pada kata-kata terakhir Farah. Hempasan dau
Seorang gadis menatap pantulan diri di dalam cermin. Dengan tinggi semampai, sedang mengenakan baju pengantin berwarna putih tulang, terlihat sangat indah melekat di tubuhnya. Hijab yang dia kenakan pun menambah anggunnya pesona seorang Nazeela Sahara.Harusnya hari ini adalah momentum di mana seorang gadis akan menangis bahagia. Karena purna sudah menempuh perjalanan sendirian. Seorang pria akan mengambil tanggung jawab atas dirinya. Menuntun dan menjadi pelindung hingga ajal menjemput. Nyatanya, malah kesedihan menusuk dada yang dirasakan Nazeela. Air matanya tak berhenti berderai sejak tadi. Pria gemulai yang menjadi penata riasnya berkali-kali berdecak kesal karena harus memperbaiki riasan gadis tersebut. Namun, Nazeela tak memedulikan. Biar saja bulir bening itu keluar. Bukankah dia sendiri yang telah memutuskan jalan ini? Bukankah dia telah mengikhlaskan hati menerima garis takdir yang tak sesuai dengan kehendaknya? Dan dia tidak akan pernah menyesali keputusannya. Tangis itu
Para tamu undangan memenuhi ballroom hotel yang telah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan Fairuz. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha, sosialita, dan para selebriti yang memang berada dalam naungan perusahaan pria tersebut.Aneka bunga warna-warni yang sengaja dipesan dari luar negeri terlihat mendominasi sudut ruangan. Alunan musik dari grup terkenal turut menyemarakkan resepsi itu. Tampak di atas pelaminan dua orang yang baru saja menikah menerima ucapan selamat dari para tamu. Wajah yang pengantin wanita terlihat sangat ceria. Seolah purnama telah pindah cahayanya ke sana. Berbanding terbalik dengan raut sang pengantin pria. Ekspresinya begitu datar, sesekali senyum palsu dia ukir di bibir saat bersalam dengan tamu undangan.Mata pria itu liar menyapu sesisi ruangan. Akan tetapi, manik matanya tak menangkap sosok yang dia cari. Entah mengapa ada resah yang tiba-tiba menusuk dadanya. Semacam perasaan bersalah yang teramat dalam. Mungkin saat ini almarhum Farah tengah mengu
"Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa
Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi
Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar
Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris
"Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na
Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat
Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun
Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K
Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l