Mega kembali mencurahkan rinai, langit pun masih mendung dinaungi awan kelabu, meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Di depan sebuah rumah berlantai dua, dipasang bendera hitam tanda sang pemilik tengah berduka. Para wanita sibuk menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah yang terbujur kaki di atas dipan kayu di ruang tamu, sedangkan para lelaki memasang tenda dan menyusun kursi untuk para pelayat.
Nazeela terlihat bersandar di dinding rumah seraya menatap nanar ke arah jenazah sang ibu yang tertutup kain panjang. Mata gadis tersebut sembab karena tak berhenti mengeluarkan air mata sejak pagi. Kebakaran yang melahap habis rumahnya menewaskan sang ibu yang berusaha keluar dari kepungan api. Beberapa tetangga sempat menyelamatkan Ibu Nazeela, tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Wanita tersebut mengembuskan napas di rumah sakit setelah terlalu banyak menghirup asap dan terkena serangan jantung tiba-tiba."Zee, waktunya memandikan Ibu." Farah menyentuh lembut bahu Nazeela, sambil mengutus senyum prihatin, berharap gadis itu tegar menghadapi musibah.Nazeela hanya mengangguk lemah. Dia seolah tak punya daya lagi, meski untuk tersenyum. Kehilangan sang ibu, turut merobohkan kekuatannya. Wanita itulah pelecut semangatnya untuk terus berjuang, melihat senyum di bibirnya sudah cukup membuat gadis itu bahagia. Sekarang, rasanya dia tidak punya motivasi lagi untuk hidup. Dunia gadis itu seolah gelap karena sang cahaya telah hilang kembali pada Sang Pemilik.đź’•Para pelayat meninggalkan areal pemakaman satu per satu, setelah mengucapkan bela sungkawa kepada Nazeela yang kini menatap gundukan tanah yang ditaburi bunga. Wajah gadis itu terlihat kuyu dan tidak bersinar, seolah tiada semangat lagi."Kita pulang, Zee ...," ajak Farah yang berdiri di sampingnya."Pulang ke mana, Kak. Aku ngga punya keluarga lagi."Farah memeluk gadis itu dan mengelus punggungnya lembut. "Aku dan Bang Fairuz adalah keluargamu. Jangan lupakan itu."Tangis Nazeela kembali pecah, membuat pelukan Farah mengetat, seolah dengan pelukan itu dia ingin menguatkan gadis yang baru saja kehilangan orang terkasih. Perlahan wanita itu melerai pelukannya dan menuntun Nazeela meninggalkan areal pemakaman, seiring rinai yang kembali turun.đź’•"Bagaimana keadaan Hasan?"Nazeela mengangkat pandangannya dan melihat Farah mengulurkan cangkir berisi teh hangat yang masih mengeluarkan uap."Tadi masih di ICU, Kak. Menurut keterangan polisi, Hasan menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga tubuhnya terpelanting jauh dan kepalaya membentur trotoar."Farah memperhatikan tangan Nazeela yang bergetar saat meneguk teh buatannya."Semoga dia baik-baik saja."Nazeela mengangguk lemah. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan, apalagi mengingat keadaan sang adik yang harus dioperasi. Tadi pagi, saat mendengar musibah yang menimpa rumah dan ibunya, Nazeela meninggalkan Hasan begitu saja. Entah bagaimana kabar adiknya itu sekarang."Kak Farah, terima atas kesediaan Kakak mengurus jenazah Ibu. Aku ngga tau bagaimana membalas kebaikan Kakak dan Bang Fairuz," lirih Nazeela menatap cangkir di tangannya.Farah menggigit bibir bawahnya. Sesekali mencuri pandangan ke arah Nazeela. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Benak wanita itu masih menimbang patut atau tidakkah membahas tentang permintaannya waktu itu. Sebagian hatinya berkata, untuk menunda sampai gadis itu tenang. Akan tetapi, sisi hati yang lain menghasut untuk mendesak Nazeela. Bukankah gadis itu sedang labil? Apalagi melihat keadaan sang adik yang terluka parah. Tadi siangFarah mengangkat ponsel si gadis yang terus berdering. Penelpon berasal dari rumah sakit yang mengabarkan jika Hasan harus segera dioperasi karena pendarahan di kepala yang menbuat pemuda itu koma. Tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengusahakan pengobatan bagi Hasan."Kalau kamu ingin membalas semua kebaikanku, maka penuhi permintaanku."Akhirnya kalimat itu meluncur juga dari bibir Farah. Hatinya mencelos melihat sorot tak berdaya Nazeela. Rasanya, dia menjadi wanita jahat yang memanfaatkan situasi. Namun, wanita itu tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan pernikahannya dari rongrongan keluarga sang suami."Kak, sampai kapan pun aku ngga mau menikah dengan Bang Fairuz. Dia sudah seperti Abangku sendiri. Lagipula, aku tau pasti Kakak sangat mencintai dia, apa nanti tidak cemburu seandainya aku menjadi istri kedua beliau?" tanya Nazeela dengan suara bergetar. Gadis itu seolah tak punya daya untuk berdebat.Farah terdiam. Jika ingin jujur, jauh di relungnya, dia tak ingin berbagi suami. Apalagi jika sampai Fairuz benar-benar jatuh cinta pada Nazeela. Gadis itu masih muda, cantik, dan sholeh. Siapa saja pasti akan jatuh cinta padanya. Akan tetapi, dia tak punya pilihan lain. Dia merasa waktunya tak akan lama lagi. Sesuatu di dalam tubuhnya semakin lama makin mengganas. Dia takut tak mampu terus-terusan menyembunyikan dari sang suami. Farah takut, jika saatnya tiba, Fairuz didampingi sosok yang tidak tepat. Dia tak ingin sang suami menderita dan terpuruk setelah kepergiannya, lalu memilih wanita yang salah. Farah amat sangat mencintai pria tersebut, hingga tak rela melihat kekasih halalnya bersedih, meski dari dunia lain."Aku pasti cemburu, Zee, karena aku sangat mencintai Abang. Namun, aku akan lebih sedih jika nanti tidak ada yang mengurusnya," tutur Farah dengan tatapan menerawang.Dahi Nazeela berkerut. "Maksud Kakak apa?"Farah menganjur napas perlahan, lalu menatap Nazeela lama. "Aku akan menceritakan sebuah rahasia padamu, tapi aku minta kamu berjanji ngga akan cerita pada siapa pun, termasuk Bang Fairuz."Nazeela semakin bingung mencerna kalimat Farah. Hatinya membisikkan ada sesuatu yang tidak beres, entah apa."Apa Kakak menyembunyikan sesuatu dari kami?" Pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Nazeela."Aku, aku divonis kanker rahim stadium empat," aku Farah setelah hening menjeda sejenak.Mata Nazeela melebar mendengar pengakuan yang tidak dia kira. "Kakak bercanda 'kan?" Dia bertanya lagi, mencoba meyakinkan telinganya tak salah mendengar. Dia berharap Farah hanya bercanda, tetapi harapan gadis itu gugur melihat gelengan lemah dari wanita tersebut."Kenapa Kakak ngga jujur sama Bang Fairuz? Aku yakin beliau akan mengusahakan pengobatan untuk Kakak." Serak suara Nazeela berucap. Sekarang dia mengerti mengapa Farah begitu getol meminta Fairuz menikah lagi.Farah tersenyum getir. "Aku tak mau menanam harapan palsu. Sel kanker sudah menjangkiti rahim dan organ penting lainnya dan aku tau belum ada obat yang bisa menyembuhkannya. Kematian sewaktu-waktu bisa menjemputku. Aku ngga mau saat aku pergi, Bang Fairuz sendirian."Nazeela menggeser duduknya lebih rapat pada Farah, meletakkan cangkirnya ke atas meja kaca berbentuk elips yang ada di hadapan."Kak, jangan mendahului takdir Tuhan. Dia yang menentukan hidup dan mati kita. Bukankah sebagai manusia kita wajib berikhtiar? Jadi, jangan patah semangat, ya ..." pinta Nazeela sembari mengutus senyum di bibirnya.Mata Farah mengembun mendengar ucapan gadis tersebut. Dia menggenggam tangan tangan Nazeela erat. "Kenapa, Zee, saat banyak wanita berlomba ingin menjadi istri Abang, kamu justru menolak?"Nazeela diam sejenak, dia memikirkan jawaban yang tepat. "Karena aku sudah menganggap Kak Farah sebagai kakak kandungku dan aku tak ingin menyakiti kakakku sendiri dengan menikahi orang yang dia cintai.""Katakan padaku, tak pernahkah hatimu tertarik pada Bang Fairuz, meski secuil?"Nazeela menggeleng. "Aku mengagumi Bang Fairuz. Cara dia memperlakukan Kakak membuatku bercita-cita punya suami seperti itu."Farah terkekeh pelan. "Maka wujudkan cita-cita itu sekarang," godanya sambil mengerlingkan sebelah mata.Nazeela menunduk sesaat menyembunyikan tawanya. "Aku ngga pernah bercita-cita menjadi istri kedua, Kak. Lagipula aku ..."Dahi Farah berkerut, dia menatap si gadis dengan mata memicing. "Apa? Jangan bikin aku penasaran," desaknya ingin tahu."Aku menyukai orang lain, Kak."Farah terdiam mendengar jawaban singkat Nazeela. Tak dipungkiri ada lega yang berembus di dada. Tadinya dia sempat mengira gadis tersebut menaruh hati pada sang suami, meski memang berniat menjodohkan dengan Fairuz, tetapi dia tak ingin ada benih-benih cinta itu tumbuh di belakangnya.Farah menatap lekat jauh ke dalam manik mata Nazeela, seraya menumpukkan tangannya di atas gengaman tangan keduanya."Boleh aku tau siapa?" Farah bertanya dengan tatapan menyelidik.Nazeela menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Bukan siapa-siapa, Kak. Hanya seorang pemuda sederhana, yang bahkan aku tak tahu namanya. Aku tak berani terlalu jauh. Tak elok rasanya jika seorang gadis terlalu agresif pada lawan jenis," jawabnya dengan tatapan menerawang jauh.Mendengar itu Farah semakin mengeeratkan tautan tangan mereka. Dia semakin yakin menitipkan sang suami pada gadis tersebut."Zee, berjanjilah padaku. Jika, suatu hari sesuatu terjadi padaku, menikahlah dengan Bang Fairuz." Farah menahan dagu Nazeela yang hendak bergerak menolak permintaannya dengan telapak tangan. "Aku tidak menerima penolakan. Kumohon ... hanya kamu yang aku percaya untuk menjaga orang yang aku cintai."Nazeela mengembuskan napas perlahan. "Aku berjanji, tapi aku juga akan memastikan itu tak akan terjadi. Kakak pasti sembuh."Tanpa keduanya sadari seseorang mendengar pembicaraan mereka dari balik daun pintu kamar yang terbuka. Senyum sinis terukir di wajahnya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok itu beranjak dari kamar tamu yang ditempati NazeelaMalam semakin menua. Semesta terdengar amat sunyi. Sepertinya air yang tercurah dari mega tadi sore menciptakan udara dingin yang lelapkan semua makhluk. Terkecuali Nazeela. Dari tadi mata gadis itu tak mau terpejam. Pikirannya menerawang memikirkan keadaan Hasan. Ingin ke rumah sakit, tetapi ditahan oleh Farah. Wanita itu mengatakan, telah mengutus salah satu pegawainya untuk melihat keadaan sang adik. Namun, sampai dini hari belum ada kabar terdengar. Nazeela bergerak membuka ransel berwarna coklat yang sudah terlihat lusuh. Gadis itu mengeluarkan beberapa lembaran #kertas dan foto hitam putih. Bergetar jemarinya meraih kertas yang sudah menguning. Membaca kata per kata yang tertulis di sana. Haru menyulut panas di matanya, mendorong bulir bening jatuh di pipinya. Pikirannya melayang pada kebiasaan almarhum sang ibu. Setiap gadis itu berulang tahun, beliau menuliskan harapan dan doa di secarik kertas, kemudian meletakkan di bawah bantal Nazeela, agar saat pagi menjelang sang putri
Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut."Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit."Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.
Nazeela setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dia baru saja mendapat kabar dari Fairuz jika Farah kolaps. Akhirnya, apa yang ditakutkan gadis itu terjadi juga. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa harus secepat itu. Siang, Farah masih baik-baik saja, meski tadi sore ponsel wanita itu tidak aktif saat dia mengabarkan keadaan Hasan."Bang ..."Gadis itu memanggil lirih Fairuz yang menatap kosong ke arah pintu ICU, di mana Farah dirawat. Wajah pria itu terlihat kusut dan kacau. Dia bahkan tak menyadari keberadaan Nazeela di sampingnya, seolah larut dengan kesedihannya.Nazeela tak tahu harus bagaimana membesarkan hati pria tersebut. Jauh di relung, dia juga terpukul mendengar keadaan Farah. Terbayang hari-hari bersama wanita itu. Betapa Farah tak pernah memperlihatkan sakitnya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum tulus, yang mampu menularkan bahagia kepada orang-orang di sekitar. Juga semua celotehnya yang memancing tawa. Dada gadis itu dibekap rasa penyesalan, mengapa dia
Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa
Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang
Nazeela menatap sepasang ibu dan anak di hadapan. Kedua orang itu terlihat saling menyayangi. Anak perempuan--yang sepantaran dengannya--begitu telaten menyuapi sang ibu yang duduk di atas kursi roda. Sesekali dia membersihkan sudut bibir ibunya dengan saputangan. Senyum merekah di bibir keduanya. Sorot teduh sang ibu mengingatkan Nazeela pada sosok ibunya.Makam sang ibu masih merah, tetapi cobaan tak jemu bertandang mempermainkan takdirnya. Sejak kepergian wanita itu, air mata seolah betah jatuh di pipinya. Andai saja gadis itu tidak memiliki iman yang kuat, mungkin saja saat ini dia sudah masuk dalam deretan gadis frustasi. Namun, dia selalu menegarkan diri, berpegang teguh pada keyakinan jika Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."Jangan ngelamun, ngga baik." Suara Dru membuyarkan lamunan Nazeela tentang sang ibu. Gadis itu memalingkan wajah hendak menyembunyikan air yang tergenang di kelopak matanya."Aku boleh duduk di sini?" Nazeela meng
"Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Hasan yang mulai membaik. Remaja itu sudah sepenuhnya bisa bicara satu minggu pasca operasi, dia tengah bersandar ke tumpukan bantal yang disusun di kepala brankar.Nazeela menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengupas apel. "Tungguin perintah dokter dulu. Kakak takut kalau ada apa-apa nanti."Hasan menggangguk pelan. "Kak, aku minta maaf udah nyusahin. Pasti biayanya gede buat operasi aku."Nazeela menganjur napas perlahan, tangannya kembali lincah mengupas kulit apel merah. "Udah, jangan mikir yang berat-berat. Itu urusan Kakak.""Tapi, Kak. Ibu pasti marah banget sama aku. Sampai sekarang ngga mau jenguk aku di sini," keluh Hasan dengan suara bergetar."Aduh!"Mendengar ucapan Hasan, membuat konsentrasi Nazeela pecah, hingga pisau yang seharusnya membelah buah malah mengiris tangannya. Mata gadis itu seketika memanas, perih segera menjalari dinding hati, sesuatu tak kasat mata seolah menikam jantungnya. "Kakak, ngga papa?" tanya Hasan deng
Fairuz baru saja menempelkan ponsel ke telinga ketika mendengar langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Nazeela berdiri tiga langkah di belakangnya. Gadis itu mengenakan pakaian steril khusus untuk ruang ICU. Sejak Farah anfal dua hari yang lalu, keduanya belum bertemu. Nazeela yang terlalu sibuk mengurusi Hasan dan Fairuz menemani Farah.Fairuz memalingkan wajah kembali menatap Farah yang masih terbaring diam di atas brankar. "Aku baru ingin menelponmu." Suaranya terdengar dingin."A-ada apa, Bang?" Nazeela berjalan lebih dekat ke arah brankar Farah, menggulung sedikit jarak yang terbentang antara mereka."Tolong temani Farah. Aku pulang sebentar," jawab Fairuz dengan raut datar, tanpa melihat lawan bicaranya. Nazeela menganjur napas pelan. Sepertinya pria itu masih kesal padanya. Gadis itu paham dan tak berkecil hati. Fairuz mungkin tak bermaksud kasar, dia hanya ketakutan jika terjadi sesuatu pada orang yang dia cintai."Iya, Abang pulang saja. Istirahat. Biar aku yang jagain K
"Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa
Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi
Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar
Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris
"Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na
Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat
Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun
Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K
Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l