Share

Panik

Penulis: Maheera
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang  di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut.

"Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."

Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."

Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"

Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit.

"Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.

Gadis itu meraih kedua tangan Farah dan menggenggam erat. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Kak."

Farah menunduk menatap genggaman tangan mereka. "Aku udah pasrah. Kankerku sudah stadium akhir. Udah ngga ada harapan," lirihnya dengan suara bergetar.

"Jangan bertindak mendahului Tuhan, Kak," balas Nazeela, membuat Farah mengangkat pandangannya dengan senyum tipis di bibir.

"Aku bukan mendahului Tuhan. Tapi, sel kanker sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Aku sudah pasrah jika Dia mengambil nyawaku. Namun, sebelum itu aku ingin memastikan Bang Fairuz mendapatkan penggantiku."

Mendengar itu, Nazeela melepaskan genggaman tangan mereka. Dia ingat telah menyetujui permintaan Fairuz. Pria itu tidak tahu ada hal yang lebih besar dari sekadar anak. Nyawa Farah sedang dipertaruhkan. Wanita itu seolah sedang menunggu giliran, kapan Tuhan akan menggugurkan daun yang bertuliskan namanya dari pohon kehidupan.

"Ada apa, Zee?" Farah menelengkan kepalanya untuk melihat lebih jelas ekspresi si gadis, "kamu tidak suka?"

Terdengar embusan napas berat dari hidung Nazeela, dia menunduk sambil memainkan jemarinya.

"Ngga adil buat Bang Fairuz kalau Kakak menyembunyikan hal sebesar ini. Setidaknya biarkan dia tahu dan memperjuangkan Kakak. Dia sangat mencintaimu."

"Aku tau, karena itu aku ngga mau melihat dia bersedih," balas Farah sendu.

"Lalu Kakak lebih suka dia menyalahkan dirinya kalau sampai ..." ucapan Nazeela tertahan saat ingat dia sudah kelewatan mencampuri urusan rumah tangga Farah.

"Teruskan, Zee. Sampai apa?"

Nazeela menggeleng pelan. Terlihat gundah dan prihatin di wajahnya melihat wajah kepasrahan Farah. "Andai Kakak ngga mampu bertahan, lalu Bang Fairuz baru mengetahui setelah Kakak drop, bayangkan perasaannya. Dia akan merasa tidak berguna sebagai suami karena tidak tau dengan kondisi istrinya sendiri. Apa Kakak mau Bang Fairuz begitu?"

Farah bergeming. Penuturan Nazeela menohok hatinya. Gadis itu benar. Akan tetapi, wanita itu sama sekali tak mau melihat raut kesedihan di wajah sang suami. Setidaknya sampai dia tak mampu bertahan.

đź’•

Nazeela baru saja melipat mukenanya ketika mendengar rintihan dari mulut Hasan. Gadis itu segera mendekati brankar sang adik. Dia terperangah melihat Hasan telah membuka mata dan berusaha menggerakkan tangannya. Dia meraih tangan remaja tersebut dan mencium punggung tangan itu perlahan. Perasaan bahagia dan lega padu dalam dadanya, menerbitkan air mata haru menetes di pipi.

Nazeela segera memencet tombol darurat yang menempel di dinding kamar. Tak lama seorang perawat datang  dan segera menangani sang adik. Perawat itu kemudian memanggil dokter jaga. Gadis itu mengambil jarak, membiarkan petugas kesehatan tersebut menangani Hasan. Puluhan kali hatinya mengucap rasa syukur atas rahmat Tuhan yang jatuh pada sang adik. Nazeela segera meraih ponselnya, bermaksud memberi tahu kabar bahagia itu pada Farah, tetapi ponsel wanita itu tidak.aktif, hingga dia memutuskan mengetik pesan saja melalui pesan singkat.

đź’•

Farah merasakan mual sejak tadi siang, seolah sesuatu mengaduk perutnya dari dalam. Wanita itu sadar tubuhnya mulai tak bisa mentolerir sel kanker yang terus menjalar di tubuhnya. Tertatih berjalan menuju lemari kaca yang melekat di dinding kamar, lalu membuka sebuah kotak yang dia sembunyikan di antara koleksi #parfum dan novelnya. Dari dalam kotak itu Farah mengambil dua botol yang berwarna gelap dan mengeluarkan isinya.

Namun, belum sempat obat itu masuk ke mulutnya, Farah merasakan kepalanya berputar disertai rasa sakit yang hebat menghantam perut bagian bawah. Sesaat pandangannya mengabur, pegangan pada benda kaca tersebut terlepas, seiring tubuhnya yang luruh ke lantai. Dia jatuh tak sadarkan diri di atas lantai tepat di sebelah botol obat tadi.

đź’•

"Sayang, lihat, aku bawa ...."

kalimat Fairuz menggantung di udara melihat tubuh sang istri tergeletak di atas lantai yang dilapisi karpet tepat di depan lemari. Serta-merta bingkai foto yang dibawa pria itu jatuh menghantam lantai, hingga kacanya pecah. Dia mengejar tubuh sang istri yang terlihat tidak sadarkan diri. Berkali-kali menepuk pipi Farah sambil memanggil namanya, tetapi tak ada reaksi dari wanita tersebut. Fairuz membopong tubuh sang istri, lalu gegas membawa ke dalam mobil. Dirasuki perasaan cemas dan takut, pria itu melarikan mobilnya seperti orang kesetanan. Sesekali dia melirik sang istri yang masih belum sadarkan diri.

"Tolong! Tolong istri saya!"

Fairuz berseru lantang sembari membopong tubuh Farah. Dua orang perawat dan seorang satpam segera mendorong brankar rumah sakit menyongsong pria tersebut. Dengan hati-hati dia meletakkan tubuh sang istri di atas tempat beroda itu. Sigap kedua perawat tadi mendorong brankar menuju ruang ICU untuk menangani Farah, diiringi Fairuz yang masih digelayuti perasaan cemas.

"Bapak tunggu di sini." Seorang perawat menahan tubuh Fairuz yang hendak masuk ke ruangan.

Pria itu hanya pasrah dan melihat pintu ruangan ICU yang perlahan tertutup. Dadanya berdebar sangat kencang mengingat apa yang menimpa sang istri, banyak tanya bergelayut di benaknya. Apa yang terjadi pada Farah? Apa wanita itu sedang sakit? Karena sekilas dia melihat ada botol obat di sebelah sang istri.

Tiga puluh menit Fairuz bergelut dengan cemas dan ketakutan. Ketika pintu ruangan ICU terbuka dan seorang dokter keluar dari sana, gegas dia menyongsong.

"Dok, bagaimana istri saya?"

"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya."

đź’•

"K-kanker?!"

Tubuh Fairuz terasa lemah tak berdaya, seolah tiada tulang yang menopang tubuh tegap itu. Dia bersandar ke sandaran kursi, seraya menatap sang dokter dengan sorot tak percaya.

"Iya, Buk Farah adalah pasien saya. Dia pertama kali memeriksakan diri satu tahun yang lalu. Saya mendeteksi adanya sel kanker di rahimnya. Saat itu dia rajin melakukan kemoterasi dan rutin memeriksakan diri. Akan tetapi, enam bulan yang lalu saya mendapati sel kanker semakin menjalar hampir di seluruh tubuhnya. Sejak saat itu, Buk Farah tak pernah lagi datang berobat maupun berkonsultasi."

Dada Fairuz seperti dihantam godam besi mendengar penjelasan sang dokter. Kilasan keadaan Farah beberapa bulan ke belakang, melintas di benaknya seperti sebuah cuplikan filem. Bagaimana dia mengira hal yang biasa kala mendapati sang istri merintih menahan sakit di perut dan dengan lugunya Fairuz percaya begitu saja saat Farah mengatakan masuk angin, lalu memintanya membalurkan minyak kayu putih ke tubuh wanita itu.

Dia juga menyesali diri yang tak curiga dengan menstruasi Farah yang lebih dari dua minggu setiap bulan. Dia juga abai pada kondisi tubuh Farah yang semakin kurus. Fairuz mengusap wajahnya yang terlihat frustasi. Merutuki ketidakpekaannya.

"Apa masih bisa disembuhkan, Dok?" tanya Fairus dengan harapan sang dokter menjawab iya. Akan tetapi, harapan itu sirna seketika melihat gelengan lemah sang dokter.

"Kanker yang diderita Buk Farah sudah memasuki stadium akhir. saya tidak tau bagaimana sel kankernya bisa berkembang begitu cepat."

Wajah Fairuz menegang dengan kedua telapak tangan mengepal kuat di atas meja. "Jangan bilang kalau istri saya tak punya harapan."

Itu seperti sebuah pernyataan yang tak ingin didengar Fairuz. Pria itu tak bisa membayangkan harus kehilangan Farah. Tidak! Dia terlalu mencintai sang istri, bahkan melebihi dirinya sendiri. Bagaimana dia sanggup kehilangan wanita sebaik itu.

Fairuz semakin panik dan frustasi melihat raut penyesalan sang dokter. Wajah pria berkaca mata itu jelas menyiratkan jika Farah tidak lagi memiliki harapan. Detik itu juga Fairuz merasa Tuhan tak adil padanya.

Bab terkait

  • Wanita Kedua   Tuduhan

    Nazeela setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dia baru saja mendapat kabar dari Fairuz jika Farah kolaps. Akhirnya, apa yang ditakutkan gadis itu terjadi juga. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa harus secepat itu. Siang, Farah masih baik-baik saja, meski tadi sore ponsel wanita itu tidak aktif saat dia mengabarkan keadaan Hasan."Bang ..."Gadis itu memanggil lirih Fairuz yang menatap kosong ke arah pintu ICU, di mana Farah dirawat. Wajah pria itu terlihat kusut dan kacau. Dia bahkan tak menyadari keberadaan Nazeela di sampingnya, seolah larut dengan kesedihannya.Nazeela tak tahu harus bagaimana membesarkan hati pria tersebut. Jauh di relung, dia juga terpukul mendengar keadaan Farah. Terbayang hari-hari bersama wanita itu. Betapa Farah tak pernah memperlihatkan sakitnya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum tulus, yang mampu menularkan bahagia kepada orang-orang di sekitar. Juga semua celotehnya yang memancing tawa. Dada gadis itu dibekap rasa penyesalan, mengapa dia

  • Wanita Kedua   Tentang Ibu

    Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa

  • Wanita Kedua   Bukan Salahku

    Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang

  • Wanita Kedua   Senyum Termanis

    Nazeela menatap sepasang ibu dan anak di hadapan. Kedua orang itu terlihat saling menyayangi. Anak perempuan--yang sepantaran dengannya--begitu telaten menyuapi sang ibu yang duduk di atas kursi roda. Sesekali dia membersihkan sudut bibir ibunya dengan saputangan. Senyum merekah di bibir keduanya. Sorot teduh sang ibu mengingatkan Nazeela pada sosok ibunya.Makam sang ibu masih merah, tetapi cobaan tak jemu bertandang mempermainkan takdirnya. Sejak kepergian wanita itu, air mata seolah betah jatuh di pipinya. Andai saja gadis itu tidak memiliki iman yang kuat, mungkin saja saat ini dia sudah masuk dalam deretan gadis frustasi. Namun, dia selalu menegarkan diri, berpegang teguh pada keyakinan jika Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."Jangan ngelamun, ngga baik." Suara Dru membuyarkan lamunan Nazeela tentang sang ibu. Gadis itu memalingkan wajah hendak menyembunyikan air yang tergenang di kelopak matanya."Aku boleh duduk di sini?" Nazeela meng

  • Wanita Kedua   Dru

    "Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Hasan yang mulai membaik. Remaja itu sudah sepenuhnya bisa bicara satu minggu pasca operasi, dia tengah bersandar ke tumpukan bantal yang disusun di kepala brankar.Nazeela menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengupas apel. "Tungguin perintah dokter dulu. Kakak takut kalau ada apa-apa nanti."Hasan menggangguk pelan. "Kak, aku minta maaf udah nyusahin. Pasti biayanya gede buat operasi aku."Nazeela menganjur napas perlahan, tangannya kembali lincah mengupas kulit apel merah. "Udah, jangan mikir yang berat-berat. Itu urusan Kakak.""Tapi, Kak. Ibu pasti marah banget sama aku. Sampai sekarang ngga mau jenguk aku di sini," keluh Hasan dengan suara bergetar."Aduh!"Mendengar ucapan Hasan, membuat konsentrasi Nazeela pecah, hingga pisau yang seharusnya membelah buah malah mengiris tangannya. Mata gadis itu seketika memanas, perih segera menjalari dinding hati, sesuatu tak kasat mata seolah menikam jantungnya. "Kakak, ngga papa?" tanya Hasan deng

  • Wanita Kedua   Pertemuan

    Fairuz baru saja menempelkan ponsel ke telinga ketika mendengar langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Nazeela berdiri tiga langkah di belakangnya. Gadis itu mengenakan pakaian steril khusus untuk ruang ICU. Sejak Farah anfal dua hari yang lalu, keduanya belum bertemu. Nazeela yang terlalu sibuk mengurusi Hasan dan Fairuz menemani Farah.Fairuz memalingkan wajah kembali menatap Farah yang masih terbaring diam di atas brankar. "Aku baru ingin menelponmu." Suaranya terdengar dingin."A-ada apa, Bang?" Nazeela berjalan lebih dekat ke arah brankar Farah, menggulung sedikit jarak yang terbentang antara mereka."Tolong temani Farah. Aku pulang sebentar," jawab Fairuz dengan raut datar, tanpa melihat lawan bicaranya. Nazeela menganjur napas pelan. Sepertinya pria itu masih kesal padanya. Gadis itu paham dan tak berkecil hati. Fairuz mungkin tak bermaksud kasar, dia hanya ketakutan jika terjadi sesuatu pada orang yang dia cintai."Iya, Abang pulang saja. Istirahat. Biar aku yang jagain K

  • Wanita Kedua   Maaf

    Maaf, aku menyusahkanmu ...."Lirih suara Farah mengucapkan kalimat pendek itu. Nazeela hanya mengangguk, lidah gadis itu kelu. Bahagia membuncah di dadanya. Dia tidak mengira bisa mendengar suara wanita berlesung pipit itu lagi, meski masih terlihat lemah, setidaknya dokter meyakinkan jika Farah mampu bertahan. Siang ini wanita tersebut telah dipindahkan ke kamar VVIP sesuai permintaan Fairuz via telpon. Setelah Nazeela mengabarkan kondisi sang istri. Haru menyelimuti hati si gadis. Tak dipungkiri pikiran buruk berkali-kali melintas dibenaknya. Namun, selalu dia tepis dan menumbuhkan keyakinan jika Farah pasti akan baik-baik saja."Kakak harus sembuh. Aku ngga mau lihat Kak Farah sakit kayak gini.""Aku juga ngga mau, Zee, tapi ....""Ngga ada tapi-tapian." Nazeela menggenggam tangan Farah yang dipasangi infus, "dokter bilang, udah enam bulan Kakak ngga pernah kemo lagi."Farah terdiam mendengar Nazeela menyela kalimatnya. Memang tidak ada yang bisa ditutupi lagi. Tiba-tiba wanita t

  • Wanita Kedua   Kinaya

    Kinaya mengetuk-ngetuk gelas yang berisi ice lemon tea yang tinggal separuh. Dia memilih mengamati pemandangan jalan raya dari jendela restoran. Matahari bersinar amat terik di.luar sana,.meski jam sudah menunjukkan pukul empat sore.Pedagang kaki lima dan asongan mendominasi trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Kamacetan tak terelakkan ketika para pedagang juga memakai bahu jalan untuk menggelar dagangannya. Mata wanita itu juga sibuk mengamati pejalan kaki yang mondar-mandir turun-naik.dari jembatan penyebrangan. Apa saja dia perhatikan asal bukan pria di hadapan yang kini sedang menatapnya lekat."Puas matamu jalan-jalan?"Kinaya mendengkus. Sindiran pria itu membuatnya kesal. "Apa urusanmu dengan mataku. Kalau ngga suka jangan liat," ketusnya sembari menyorot lawan bicaranya.Pria itu terkekeh. "Masih saja judes."Kinaya memutar matanya malas. Dia menyeruput minumannya cepat, lalu bersiap berdiri. "Kalau ngga ada yang mau diomongin aku pergi, Dru.""Wait!" Dru menahan

Bab terbaru

  • Wanita Kedua   Menua Bersama

    "Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa

  • Wanita Kedua   Simfoni Terindah

    Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi

  • Wanita Kedua   Simfoni Merdu Untuk Nazeela

    Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar

  • Wanita Kedua   Bahagialah Kekasihku

    Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris

  • Wanita Kedua   Berkorban Lagi

    "Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na

  • Wanita Kedua   Kalap

    Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat

  • Wanita Kedua   Bertekuk Lutut

    Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun

  • Wanita Kedua   Kesepakatan

    Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K

  • Wanita Kedua   Aku Jatuh Cinta?

    Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l

DMCA.com Protection Status