"Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Hasan yang mulai membaik. Remaja itu sudah sepenuhnya bisa bicara satu minggu pasca operasi, dia tengah bersandar ke tumpukan bantal yang disusun di kepala brankar.Nazeela menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengupas apel. "Tungguin perintah dokter dulu. Kakak takut kalau ada apa-apa nanti."Hasan menggangguk pelan. "Kak, aku minta maaf udah nyusahin. Pasti biayanya gede buat operasi aku."Nazeela menganjur napas perlahan, tangannya kembali lincah mengupas kulit apel merah. "Udah, jangan mikir yang berat-berat. Itu urusan Kakak.""Tapi, Kak. Ibu pasti marah banget sama aku. Sampai sekarang ngga mau jenguk aku di sini," keluh Hasan dengan suara bergetar."Aduh!"Mendengar ucapan Hasan, membuat konsentrasi Nazeela pecah, hingga pisau yang seharusnya membelah buah malah mengiris tangannya. Mata gadis itu seketika memanas, perih segera menjalari dinding hati, sesuatu tak kasat mata seolah menikam jantungnya. "Kakak, ngga papa?" tanya Hasan deng
Fairuz baru saja menempelkan ponsel ke telinga ketika mendengar langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Nazeela berdiri tiga langkah di belakangnya. Gadis itu mengenakan pakaian steril khusus untuk ruang ICU. Sejak Farah anfal dua hari yang lalu, keduanya belum bertemu. Nazeela yang terlalu sibuk mengurusi Hasan dan Fairuz menemani Farah.Fairuz memalingkan wajah kembali menatap Farah yang masih terbaring diam di atas brankar. "Aku baru ingin menelponmu." Suaranya terdengar dingin."A-ada apa, Bang?" Nazeela berjalan lebih dekat ke arah brankar Farah, menggulung sedikit jarak yang terbentang antara mereka."Tolong temani Farah. Aku pulang sebentar," jawab Fairuz dengan raut datar, tanpa melihat lawan bicaranya. Nazeela menganjur napas pelan. Sepertinya pria itu masih kesal padanya. Gadis itu paham dan tak berkecil hati. Fairuz mungkin tak bermaksud kasar, dia hanya ketakutan jika terjadi sesuatu pada orang yang dia cintai."Iya, Abang pulang saja. Istirahat. Biar aku yang jagain K
Maaf, aku menyusahkanmu ...."Lirih suara Farah mengucapkan kalimat pendek itu. Nazeela hanya mengangguk, lidah gadis itu kelu. Bahagia membuncah di dadanya. Dia tidak mengira bisa mendengar suara wanita berlesung pipit itu lagi, meski masih terlihat lemah, setidaknya dokter meyakinkan jika Farah mampu bertahan. Siang ini wanita tersebut telah dipindahkan ke kamar VVIP sesuai permintaan Fairuz via telpon. Setelah Nazeela mengabarkan kondisi sang istri. Haru menyelimuti hati si gadis. Tak dipungkiri pikiran buruk berkali-kali melintas dibenaknya. Namun, selalu dia tepis dan menumbuhkan keyakinan jika Farah pasti akan baik-baik saja."Kakak harus sembuh. Aku ngga mau lihat Kak Farah sakit kayak gini.""Aku juga ngga mau, Zee, tapi ....""Ngga ada tapi-tapian." Nazeela menggenggam tangan Farah yang dipasangi infus, "dokter bilang, udah enam bulan Kakak ngga pernah kemo lagi."Farah terdiam mendengar Nazeela menyela kalimatnya. Memang tidak ada yang bisa ditutupi lagi. Tiba-tiba wanita t
Kinaya mengetuk-ngetuk gelas yang berisi ice lemon tea yang tinggal separuh. Dia memilih mengamati pemandangan jalan raya dari jendela restoran. Matahari bersinar amat terik di.luar sana,.meski jam sudah menunjukkan pukul empat sore.Pedagang kaki lima dan asongan mendominasi trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Kamacetan tak terelakkan ketika para pedagang juga memakai bahu jalan untuk menggelar dagangannya. Mata wanita itu juga sibuk mengamati pejalan kaki yang mondar-mandir turun-naik.dari jembatan penyebrangan. Apa saja dia perhatikan asal bukan pria di hadapan yang kini sedang menatapnya lekat."Puas matamu jalan-jalan?"Kinaya mendengkus. Sindiran pria itu membuatnya kesal. "Apa urusanmu dengan mataku. Kalau ngga suka jangan liat," ketusnya sembari menyorot lawan bicaranya.Pria itu terkekeh. "Masih saja judes."Kinaya memutar matanya malas. Dia menyeruput minumannya cepat, lalu bersiap berdiri. "Kalau ngga ada yang mau diomongin aku pergi, Dru.""Wait!" Dru menahan
Nazeela tersenyum melihat Farah makan dengan lahap. Tidak berapa lama Fairuz meninggalkan kamar, wanita itu membuka kelopak mata perlahan. Yang pertama dia lihat adalah sosok sang gadis sedang menatapnya dengan mata yang diselimuti embun. Farah mengangkat tangan, sebagai isyarat dia telah kenyang. "Udah, segini aja.""Satu suap lagi, Kak," pinta Nazeela dengan sendok teracung di depan mulut Farah.Namun, Farah menggeleng. "Perutku ngga sanggup lagi. Ntar malah begah, kekenyangan. 'Kan ngga lucu," balasnya terkekeh pelan.Nazeela meletakkan mangkuk yang berisi bubur yang tinggal separuh ke atas meja yang ada di sebelah brankar Farah. Dia menelisik raut wanita tersebut. Masih terlihat pucat dengan pipi yang semakin menirus, ada cekungan di kelopak mata bawahnya, dan kulit bibir yang mengelupas. Meski seperti itu kecantikan Farah tak berkurang sedikit pun. Benar sekali, jika kecantikan itu berasal dari hati, bukan rupa. Dia pernah mendengar sebuah hadis yang berbunyi. "Ingatlah bahwa
Gerimis tak menyurutkan pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Tumpukan kendaraan di jam-jam sibuk tak bisa dielakkan, sebab para pedagang tersebut juga memakai bahu jalan, hingga kemacetan mengular sampai puluhan kilo meter.Dru memutar tape musik yang terpasang di mobilnya. Suara Mahen mengalun merdu Melantunkan lagu anyarnya.Pernah aku jatuh hatiPadamu sepenuh cintaHidup pun akan kuberiApa pun akan kulaluiTapi tak pernah kubermimpiKau tinggalkan aku pergiTanpa tahu rasa iniIngin rasaku membenciTiba-tiba kamu datangSaat kau telah dengannyaSemakin hancur hatikuJangan datang lagi cintaBagaimana aku bisa lupaPadahal kau tahu keadaaannyaKau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cintaKutak mau ada yang terlukaBahagiakan diaAku tak apaBiar aku yang pura-pura lupaTiba-tiba kamu datangSaat kau telah dengannyaSemakin hancur hatikuJangan datang lagi cintaBagaimana aku bisa lupaPadahal kau tahu keadaaannyaKau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cintaKutak mau ada yang
Tak semua yang kita inginkan bisa didapat. Adakalanya merancang masa depan dengan perhitungan seteliti mungkin, merasa tidak akan ada celah kegagalan mengambil tempat. Nyatanya, manusia hanya bisa berusaha, takdir seorang hamba Tuhanlah yang menggariskan dan kita hanya bisa menjalankan sebaik mungkin. Seperti skenario sebuah filem, telah terancang rapi dari awal hingga akhir.Pun dua insan yang pernah menulis kisah di masa lalu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bergelut dengan perasaan gelisah. Dua hati yang pernah saling mengisi, mencoba mengais rasa yang dulu pernah ada. Mati-matian Farah menekan memori kala merajut kasih dengan Dru, dia tak ingin mengotori hati yang telah berpemilik. Tak mau terjebak pada romansa silam.Pun Dru. Pria itu memilih diam, seraya memandang rinai yang mulai tercurah deras. Sepertinya sang mega tak sanggup lagi menahan keinginan kandungan langit itu untuk segera mencumbu tanah. Dada pria itu seperti tertusuk duri-duri bunga mawar yang sedang mek
Nazeela tertegun melihat Dru berdiri di depan kamar rawat Hasan. Pria itu menatapnya dengan sorot lekat dan lama. Seolah ingin menggali apa yang tersimpan di sorot teduh milik sang gadis. "Kenapa?"Dahi Nazeela berkerut mendengar pertanyaan Dru. "Maksud Kakak?""Kenapa kamu simpan kesedihanmu sendiri, Zee ...? Kenapa kamu ngga cerita kalau Ibumu meninggal dunia?"Nazeela tersenyum getir. Melarikan pandangan ke arah lain. "Kakak baru pulang beberapa hari yang lalu dan selalu bertanya tentang Farah." Dia menjeda kalimatnya sesaat, seraya menghela napas perlahan. "Lagipula kita tidak sedekat itu untuk aku bercerita.""Kamu masih anggap aku orang lain?""Bukannya memang begitu? Kak Dru mantan majikan Ibu, saudara Bang Fairuz, majikanku." Mati-matian Nazeela menahan getar di nada suaranya. Mendengar kalimatnya sendiri, seolah menyadarkan siapa dirinya dan itu semakin membuat ngilu kembali bertandang ke dada.Dru maju selangkah. Melipat jarak yang dibentangkan Nazeela. "Jangan bicara seper
"Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa
Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi
Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar
Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris
"Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na
Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat
Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun
Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K
Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l